Suaminya tidur dengan mantan istrinya, di ranjang mereka. Dan Rania membalas dengan perbuatan yang sama bersama seorang pria bernama Askara, yang membuat gairah, harga diri, dan kepercayaan dirinya kembali. Saat tangan Askara menyentuh kulitnya, Rania tahu ini bukan tentang cinta.
Ini tentang rasa. Tentang luka yang minta dibayar dengan kenikmatan. Dan balas dendam yang Rania rencanakan membuatnya terseret ke dalam permainan yang lebih gelap dari yang pernah ia bayangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shinta Aryanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tolong Aku, Askara...
Pagi itu Rania sudah berdiri di dapur sejak subuh. Matanya masih sembab, tubuhnya lelah, tapi ia memaksa. Bubur diaduk pelan, supaya lembut untuk Ibra. Tidak ada satu pun yang membantunya. Rumah besar itu sunyi, hanya bunyi sendok beradu dengan panci.
Saat bubur matang, ia menuangkannya ke mangkuk, menaruh sedikit ayam suwir seadanya. Bau harum bubur panas membuat dadanya hangat. Setidaknya, untuk Ibra ada sesuatu yang bisa ia lakukan.
Pelan ia membawa mangkuk itu ke kamar utama. Di dalam kamar, Ibra duduk bersandar, wajahnya pucat. Di sampingnya Wulan duduk anggun dengan daster cantik, rambut sudah tergerai wangi. Wulan menoleh begitu Rania masuk.
“Ibra… makan dulu ya,” ucap Rania lembut, meletakkan mangkuk di meja kecil lalu mengambil sendok. Ia hanya ingin menyuapi anak itu sebentar, sebelum berangkat kerja.
Namun Wulan, mendengus, tak senang. “Taruh saja. Aku yang akan mengurus Ibra,” katanya dingin.
“Aku sekalian suapin, sebentar. Nanti aku langsung pergi,” ucap Rania, bersikeras.
Wulan berdiri. “Aku bilang taruh. Kamu kira aku gak bisa merawat anakku sendiri?” bentaknya.
Rania menghela napas pendek. “Aku cuma mau... "
Belum sempat kalimat itu selesai, tangan Wulan menepis keras mangkuk di tangan. Bubur panas tumpah ke lantai, mangkuk pecah berantakan. Pecahan kecilnya memantul, ada yang mengenai kaki Wulan sendiri.
“Wulan!” Rania spontan membungkuk, hendak membersihkan. Tapi Wulan malah menjerit keras.
“Aduh, sakit! Lihat nih... gara-gara kamu!” Wulan memegang kakinya, memperlihatkan goresan kecil yang segera memerah. “Sakit banget! Kamu tuh kenapa sih, Ran? Cuma disuruh taruh saja gak bisa?”
Niko yang mendengar teriakan langsung masuk, wajahnya tegang. “Ada apa ini?”
Dengan cepat Wulan menunjuk Rania. Suaranya manja, merajuk.
“Aku gak ngomong apa-apa, Nik. Dia marah-marah, banting mangkuk. Lihat nih kakiku sampai berdarah begini!”
“Aku nggak banting...” Rania mencoba menjelaskan. “Aku cuma mau suapin Ibra, mangkuknya ditepis Wulan sampai jatuh.”
“Nik, sumpah aku gak salah,” Rania menatap Niko, tapi tatapan Niko dingin.
“Kamu apaan sih, Ran! Setiap hari ada saja masalah! Bikin ribut di depan anak, sekarang bikin cedera Wulan! Kamu tuh malu-maluin!”
Rania terdiam, berlutut, memunguti pecahan kaca dengan tangan kosong. Jarinya tergores, berdarah, tapi ia tidak peduli. Suara Niko makin meninggi.
“Udah tahu rumah ini lagi banyak masalah, kamu malah bikin tambah runyam. Kamu tuh istri apa beban, hah?!”
“Papa!” Ibra berusaha memanggil, suaranya pelan, tapi Wulan langsung memeluk erat tubuh anak itu, menepuk-nepuk punggungnya. “Ssshh… diam ya, Nak. Jangan ikutan. Biarkan orang dewasa yang menyelesaikan.”
“Apa sih yang kamu bisa sebagai istri?.. masak nggak sempat, beberes rumah enggak.. kerjaannya bikin masalah terus!” Niko masih terus memaki. “Baru kerja di proyek Askara saja sudah belagu. Jangan kira aku gak tahu! Kalau bukan karena Papa, kamu gak bakal ada di sana!”
Satu-satu kata itu menghantam dada Rania. Ia menunduk, memunguti pecahan kaca sambil menggigit bibir. Air matanya jatuh begitu saja, bercampur dengan darah di ujung jarinya.
Di belakang Niko, Wulan pura-pura meringis, memainkan perannya dengan sempurna. Mata berkaca-kaca, mulut gemetar. Tapi sesaat ketika Niko berbalik memeriksa kakinya, Wulan sempat melemparkan satu senyum tipis penuh kemenangan.
Rania membeku. Melihat senyum itu, ada sesuatu di dalam dirinya yang retak. Ia ingin membalas, tapi suara Ibra yang serak menahan semua amarahnya.
“Ran, bersihin! Jangan bengong!” bentak Niko.
Rania memungut pecahan terakhir, berdiri dengan tangan penuh luka. “Ibra, cepat sembuh ya, Nak,” ucapnya pelan. Ia lalu berbalik tanpa menatap siapa pun, berjalan ke dapur. Tubuhnya bergetar, bukan karena takut, tapi karena ia menahan marah.
Di ambang pintu, ia berhenti. Mendengar suara Wulan manja berkata, “Nik, jangan terlalu keras pada Rania. Aku kasihan juga, dia kan memang nggak bisa apa-apa…”
Ucapan itu terdengar lembut, tapi menusuk seperti belati.
Rania berdiri lama di dapur. Tangannya yang berdarah ia basuh cepat di bawah keran, tapi rasa perih itu tak ada apa-apanya dibandingkan panas di dadanya. Napasnya pendek-pendek. Mata berair, tapi ia paksa tidak menangis di depan mereka.
Ia duduk sebentar di kursi dapur, menatap kosong meja kayu. Di luar, terdengar suara Wulan tertawa kecil, disusul suara Niko menenangkan. Suara Niko yang tadinya berarti dunia baginya, kini justru membuat telinganya berdenging.
Ia bangkit, mengambil tas kerjanya. Menyambar kunci mobil operasional yang baru semalam dibawa pulang. Langkahnya berat, tapi ia tahu, di luar sana ada satu tempat nyaman untuknya, tempat dimana ia di hargai dan dianggap. Meskipun penuh debu dan sarat suara bising mesin.
Begitu keluar rumah, udara pagi yang biasanya segar justru terasa menyesakkan. Jari-jarinya bergetar saat membuka pintu mobil. Begitu duduk di balik kemudi, ia menutup pintu keras-keras.
Baru saja mesin dinyalakan, air mata yang sejak tadi ditahan akhirnya jatuh. Tapi kali ini tidak ada isak. Tangisnya dingin.
Sepanjang jalan menuju proyek, matanya merah.
Rania menatap jalan di depan, setengah sadar pikirannya berputar-putar.
“Kenapa aku masih di rumah itu? Untuk apa aku disana?” bisiknya lirih.
Ingatan pagi ini berputar ulang, Wulan menepis mangkuk, tatapan dingin Niko, kata-kata menyakitkan yang tidak akan pernah ia lupakan. Semua bercampur jadi satu, membuat dadanya sesak.
Lalu, tanpa bisa ia cegah, wajah Askara muncul di sela pikirannya. Tatapan tajam itu. Sentuhan hangat di kulitnya.
Suara rendah yang selalu terdengar tenang saat dunia Rania terasa runtuh. Ada rasa sakit, tapi juga ada rasa rindu yang menggila.
“Tolong aku…,” Rania berbisik sendiri, sambil mengencangkan genggaman di setir.
Mobil melaju, meninggalkan rumah yang dingin. Dan Rania tahu, ia sudah ketergantungan pada Askara.
(Bersambung)....
rugi klo kmu ,patah hati ...
patah tumbuh hilang bergati
yg lebih baik banyak di luar sna ...
biar tau rasa lelaki bodoh yg ,
sdh mendustai mu...
liat kmu bahagia dan sukses..
biar askara belajar menghargai seorang wanita...dah tau Rania ngga punya siapa", tdk dianggap mertua dan suaminya, diselingkuhi lagi...ni malah menambah luka...
monipasi untuk maju ,biarkan berlalu
jangan jd kn untuk penghalang untuk maju .
buktikan kesuksesan walau tampa mereka ..jangan putus asa ...
klo cari pasangan ,selexi dulu sebelum.
rania berikan hati..jangan patah hati rugi...
masih banyak yg lebih baik dri sebelum x
next thor
secepat x rania mencium x .dan pergi sejauh mungkin ,dan menemukan orang tulus ingin bersamamu mu rania
dan setia siap menjadi frisai mu..rania..