Terlahir dengan sendok emas, layaknya putri raja, kehidupan mewah nan megah serta di hormati menjadikanku tumbuh dalam ketamakan. Nyatanya, roda kehidupan benar-benar berputar dan menggulingkan keluargaku yang semula konglomerat menjadi melarat.
Kedua orang tuaku meninggal, aku terbiasa hidup dalam kemewahan mulai terlilit hutang rentenir. Dalam keputusasaan, aku mencoba mengakhiri hidup. Toh hidup sudah tak bisa memberiku kemewahan lagi.
[Anda telah terpilih oleh Sistem Transmigrasi: Ini bukan hanya misi, dalam setiap langkah, Anda akan menemukan kesempatan untuk menebus dosamu serta meraih imbalan]
Aku bertransmigrasi ke dalam Novel terjemahan "Rahasia yang Terlupakan." Milik Mola-mola, tokoh ini akan mati di penggal suaminya sendiri. Aku tidak akan membiarkan alur cerita murahan ini berlanjut, aku harus mengubah alur ceritanya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nolaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29. Pertengkaran pertama
"Aku akan mendandanimu seperti putri yang turun dari khayangan." Igrid mendudukkanku di meja rias, sementara ia sangat sibuk memilih pakain di lemari. "Kau akan terlihat sangat... Cantik, sampai Grand Duke akan pingsan jika melihatmu."
Aku terdiam, lupa jika malam nanti ada acara dansa. Aku sempat bilang kepada Igrid untuk mendandaniku. Sebenarnya aku minta dandan karena aku pikir akan gampang menangkap penyihir itu, sehingga saat pesta dansa nanti, sekalian aku merayakan kemenangan. Tetapi, siapa sangka penyihir itu tak kunjung muncul, jadilah aku terjebak disini.
"Apa kau suka merah muda?" Dua buah gaun bertengger di tangan Igrid. "Atau biru?"
Tanganku terlempar ke meja rias, aku berdiri dan memegang gaun berwarna biru. "Aku suka yang ini." Aku hanya memilihnya asal, namaku sedikit berteriak kepada Igrid. "Kau harus menunggu diluar, biar aku memakai ini sendiri!"
"Tap—"
Aku tak menunggu jawaban Igrid dan mendorongnya keluar. "Tunggulah di luar sampai aku bilang selesai!" Aku menutup pintu dengan keras.
Pungungku jatuh ke tembok, aku melihat jendela kamar lantai dua. Sepertinya tidak terlalu tinggi. Aku melepas kalung perakku, melemparkan baju ke bawah, berubah menjadi kucing sesaat dan melompat dari lantai dua. Setelahnya aku, kembali memakai baju. Beruntung kamarku berada di belakang, jadi tidak akan ada orang yang melihat.
Aku segera mencari keberadaan Marquis, kemarin aku mendengar percakapannya akan melakukan serangan kepada Ratu. Jadi, aku pergi ke kamar Ratu, tetapi disana penjagaan masih sangat ketat, aku juga sudah bertanya kepada pengawal, dan tidak ada yang mendekati kamar dari tadi.
"Lady," Aku menoleh saat mendengar suara yang aku kenal.
"Boni?" Aku heran melihat Boni berada disini. "Apa yang sedang kau lakukan?"
Boni mengeluarkan sesuatu dari kantung celananya, ia menyerahkannya kepadaku. "Saya menemukan ini di sekitar perpustakaan tanyain satu." Katanya, sorot matanya sedikit berbeda.
Potongan batu. Aku mengeluarkan potongan batu di dalam kantungku, sama persis. Bahkan baunya juga seperti bau belerang.
"Tuan Boni," Tanganku masih mengenggam batu itu, aku melihat Boni dengan mata berkilat-kilat. "Beritahu Tuan Hiro untuk berjaga-jaga, bawa beberapa pengawal juga. Jangan lupakan busurku, aku akan pergi memeriksanya dulu."
Aku menepuk pundak Boni dua kali, lalu bergegas berlari menuju perpustakaan lantai satu.
"Ya Lady,"
Langkahku semakin cepat menuruni anak tangga. Aku mengabaikan orang-orang yang melihatku dan terus fokus pada tujuanku. Setelah sampai di pintu perpustakaan, keringat dingin muncul di balik tanganku. Ada keraguan besar dalam hatiku, tetapi semangat mengebu-gebu lebih besar. Ketika aku menyentuh gagang pintunya, seolah ada aliran listrik menyengat.
Aku melihat sekeliling, pintu itu sekilas seperti pintu biasa, tetapi ada partikel kecil yang bahkan hampir tak bisa di lihat mata biasa, seperti serbuk sari berwarna ungu. Saat aku mencoba menghirupnya, ada bau belerang samar.
Aku mencoba menyentuhnya lagi, tetapi desiran panas menjalar dari jemariku. Teringat pemberian Dominic, bross pin permata segi lima. Ketika aku menyentuh pintu itu menggunakan brossnya, tubuhku tersentak ke belakang, seolah ada angin menabrakku, pintu itu bersinar ungu untuk sesaat. Aku menyentuh gagang pintu itu lagi dengan tangan kosong, seolah pintu itu menjadi normal kembali.
Tubuhku condon kedepan. Mencoba mengintip apa yang terjadi di dalam. Angin-angin yang menyentuh kulit wajahku membuat nyaliku ciut. Aku mengangkat tangan, "Ya, tunggu saja Hiro dan Boni. Aku takut kalau tidak ada yang bisa menyaksikan aksi hebatku."
Saat hendak berbalik, telingaku menjadi sejuk. "Winola.... " Seseorang memangil namaku, dari dalam perpustakaan.
Aku menelan ludah dengan kasar, tubuhku terasa kaku dan tidak bisa bergerak. "Y—ya?" Saat aku mencoba menoleh perlahan ke belakang, sebuah tangan menyeretku masuk dengan cepat sehingga aku tak mampu membuat perlawanan apapun, dan jatuh tersungkur.
Dengan alat yang diberikan Dominic, aku mengangkat bross permata itu setinggi kepalaku. "Enyahlah setan! Abracadabra—oh? Expelliarmus!" nadaku tinggi, berteriak. "Eh? Apa ya mantranya?"
Mataku masih terpejam, tetapi aku mendengar suara seseorang tertawa terbahak-bahak, tawa keras dan menghina. "Kau serius dengan itu?" Ia mencibir, suaranya di penuhi ejekan terang-terangan. "Apa kau ini kebanyakan makan buku? Bocah sekali!"
Aku mendongak, membenarkan posisiku dan berdiri. Ada yang aneh sehingga aku mengaruk kepalaku yang tidak gatal. Aku menunjuk wajahnya. "Kenapa hidungmu tidak besar? Dimana jerawat batu?" Aku memandangi sekitar, memastikan. "Dimana sapu terbangnya? Oh, apa kau naik naga?"
Wanita itu mendesis, geram. "Dasar bocah, apa kau pikir aku penyihir dari buku dongeng anak-anak?!"
Aku berjalan memutarinya. Wanita ini menggunakan dress selutut, pakaiannya warna hitam, dan memakai tudung. Aku menyentuh punggungnya. "Kau punya sayap?" Dia menepis tanganku. "Dimana topi kerucutmu, oh tandukmu tidak ada? Telingamu seperti manusia, ya? Bukan seperti rubah? Bibirmu merah sekali! Apa kau vampir?!"
"Winola," Aku mendengarnya menggeram. "Jangan membuang waktuku!" Desisnya, matanya melotot tajam. Diikuti gelengan kepala, tak percaya betapa konyolnya orang di depannya.
"Oke," Aku bergerak cepat, menggunakan jurus mengunci ala karate.
Aku menyeret kerah wanita itu kebawa sambil mendorong pinggul kedepan, mengirim lawan terjerembab ke tanah. Ketika ia jatuh, segera aku memutar tubuhnya, menindih lawan, mengunci pergelangan tangannya dengan satu tangan, lalu menekan siku lawan ke arah rusuknya, memastikan wanita ini tidak bisa melawan.
"Apa yang kau lakukan sialan!" Ia mengumpat.
Aku mendesis, "Hey, peraturannya disini yang boleh mengumpat itu hanya aku, tau!" Aku menahannya dengan kuat, namun wanita ini juga memberontak sangat kuat.
"Lepaskan aku! Lepaskan aku, bocah!"
Aku menyentil dahinya, "Diamlah bodoh, kau itu sudah tertangkap! Kau membuat ku tidak bisa tidur selama ini! Aku akan mencabuti bulu kakimu—ah," Tubuhku tersentak ke belakang, badanku sakit ketika wanita itu mengeluarkan cahaya dari tubuhnya. "Kau ini suka sekali menyengat seperti lebah." Gumanku.
"Winola, kali ini aku tidak akan main-main lagi." Ia menyilangkan tangannya di dada, posisinya angkuh dan dominan. "Kau sudah bermain-main denganku, dan tak menjalankan tugasmu sama sekali. Apa kau ingin ibumu mati?"
Aku mengibaskan bajuku yang kotor dan berdiri, menatapnya dengan jengah. "Bahkan winola saja sudah mati, siapa yang akan peduli dengan ibunya."
"Apa?" Wanita itu sangat terkejut, mulutnya bahkan terjatuh ke bawah ketika menatapku. "Siapa kau?"
Tanganku melambai santai. "Tenang, aku juga winola—winola Grace." Sudut bibirku terangkat sedikit, kaki ku melangkah mendekatinya dan ingin mengajak bersalaman. "Karena kita tidak punya masalah, bisakah kita berteman dan kau mengembalikan diriku?"
Ia meludah di samping kakiku, sebuah penghinaan yang ekstrem, diikuti tatapan mata yang mengatakan bahwa aku tak sepadan dengan kecoa betina. "Minggir," Perintahnya, suaranya di penuhi arogansi dan permusuhan terang-terangan.
"Hah," Aku tercengang. Tawaku meluncur begitu saja dan membuatnya berhenti. "Kau serius dengan itu?!" Nadaku meninggi, tidak Terima. Aku mengulurkan tanganku dan menjambak rambutnya.
"Waaa, ngajak berantem!"
jelek
/Curse//Curse/ngambil kesempatan dalam kesempitan