NovelToon NovelToon
Lily Of Valley: Ratu Mafia Yang Tersembunyi

Lily Of Valley: Ratu Mafia Yang Tersembunyi

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Balas Dendam / Identitas Tersembunyi
Popularitas:5.1k
Nilai: 5
Nama Author: chery red

Dilahirkan dalam keluarga kaya, Alea Lily Armstrong tumbuh dalam penolakan. Dianggap pembawa sial, ia dikucilkan dan dibenci. Luka hati mengubahnya menjadi wanita dingin. Pertemuannya dengan Alexander, ketua mafia terluka, membawanya ke dunia gelap.
Lea menjadi "Ratu Mafia Tersembunyi," menyembunyikan identitasnya. Dendam membara, menuntut pembalasan atas luka lama. Di tengah intrik mafia, Lea mencari keadilan. Akankah ia temukan kebahagiaan, ataukah dendam menghancurkannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chery red, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

29. Interogasi, Gema Ketakutan, dan Gombalan Maut

"KALIAN BERDUA INI BENAR-BENAR YA! PUAS KALIAN MEMBUAT JANTUNG MOMMY HAMPIR COPOT HAH?" Suara Mommy Clarissa menggelegar di ruang perawatan VIP Rumah Sakit Mahardika. Wajahnya merah padam, tangannya berkacak pinggang, menatap Axel dan Alea yang terbaring berdampingan di ranjang rumah sakit dengan tatapan tak percaya. "Sudah berapa kali Mommy bilang, jangan cari masalah! Jangan malam-malam keluyuran tidak jelas! Kalian ini, baru pulang sekolah saja sudah babak belur begini! Apa susahnya sih jadi anak baik-baik di rumah?!"

Rentetan omelan dari para mommy lainnya menyusul tanpa jeda, bagai orkestra keprihatinan yang memekakkan telinga. Mommy Dira menggeleng-gelengkan kepala sambil mengusap air mata yang hampir tumpah. Mommy Lisa menunjuk-nunjuk Axel dengan jari telunjuknya. Mommy Hana menghela napas panjang, raut wajahnya menunjukkan keputusasaan. Mommy Renata dan Mommy Sandra terus mengulang-ulang betapa bahayanya situasi yang mereka hadapi. Mommy Lia hanya bisa memeluk putranya, Michael, yang berdiri di samping ranjang Axel dengan wajah cemas. Mommy Rina, ibunda Jordan, tampak lebih tenang namun sorot matanya penuh kewaspadaan.

Dokter Satria, yang berdiri di dekat pintu sambil berkacak pinggang, ikut menambahkan suaranya yang berat. "Axel, Alea, Daddy tidak habis pikir dengan kalian berdua. Sudah tahu bahaya mengintai, kenapa masih saja ceroboh? Axel, kamu itu laki-laki, seharusnya bisa melindungi Alea dengan lebih baik!"

"Lho, Dad, aku sudah berusaha sekuat tenaga kok! Mereka datang tiba-tiba, jumlahnya banyak sekali, Dad! Lagipula, kami kan baru pulang sekolah, mana tahu bakal ada kejadian begini," Axel membela diri, meskipun suaranya masih terdengar lemah akibat luka-luka di tubuhnya. Ia melirik Alea dengan khawatir, memastikan tunangannya itu tidak terlalu tertekan dengan omelan bertubi-tubi ini.

Alea, yang sudah mendapatkan beberapa jahitan di bahu dan lengannya, hanya bisa menunduk dalam diam. Rasa bersalah dan sedikit malu bercampur aduk di hatinya. Ia tahu mereka berdua memang ceroboh.

"Seharusnya kalian itu lapor kalau ada yang mencurigakan! Jangan main hakim sendiri!" lanjut Mommy Clarissa, nadanya mulai melembut, digantikan oleh kekhawatiran yang mendalam. Ia mendekati Axel, mengusap lembut rambut putranya yang berantakan. "Sayang, Mommy benar-benar takut terjadi sesuatu yang lebih buruk pada kalian."

Indira, ibunda Axel, yang sedari tadi hanya diam mengamati, akhirnya angkat bicara dengan nada lebih tenang namun tegas. "Sudah, Clarissa, Dira, semua. Mereka sudah terluka. Sekarang yang penting adalah mereka beristirahat dan pulih. Tapi, Axel, Alea," Indira menatap keduanya dengan serius. "Setelah ini, kalian harus lebih berhati-hati. Kami semua sayang kalian dan tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi."

Harun, ayah Axel, yang baru tiba bersama beberapa orang berpakaian rapi, ikut menimpali. "Satria, bagaimana kondisi mereka?" tanyanya pada Dokter Satria.

"Sudah ditangani, Harun. Luka Alea cukup dalam, perlu beberapa jahitan. Axel juga memar dan ada beberapa luka gores, tapi tidak ada yang serius. Mereka hanya butuh istirahat," jawab Dokter Satria.

"Baguslah." Harun menghela napas lega. Ia kemudian menatap Axel dan Alea. "Setelah ini, keamanan kalian akan kami tingkatkan. Jangan khawatir. Kami tidak akan membiarkan kejadian seperti ini terulang lagi." Ia mengisyaratkan pada orang-orang yang bersamanya, dan mereka mengangguk patuh.

Tak lama kemudian, pintu ruang perawatan diketuk. Seorang petugas kepolisian berseragam, diikuti oleh Dua orang detektif berpakaian preman, masuk ke dalam ruangan. Mereka mendekati ranjang Alea dan Axel dengan wajah serius.

"Selamat malam, kami dari Kepolisian," kata salah satu detektif, menunjukkan lencananya. "Kami mendapat laporan mengenai penyerangan yang menimpa Anda berdua. Bisakah Anda memberikan keterangan?"

Axel dan Alea bergantian menceritakan kronologi kejadian, mulai dari saat mereka dicegat hingga kedatangan sosok bertopeng misterius. Mereka menggambarkan ciri-ciri fisik para penyerang yang mereka ingat, jenis senjata yang digunakan, dan perkiraan jumlah mereka. Jordan, yang berdiri di samping Axel bersama teman-temannya, sesekali mengangguk, menunjukkan bahwa ia sudah menyampaikan informasi awal kepada pihak berwenang.

"Apakah kalian mengenali salah satu dari mereka?" tanya detektif.

Axel menggeleng. "Tidak, wajah mereka tertutup semua."

"Bagaimana dengan ciri-ciri lain? Tato, bekas luka, atau suara?" tanya detektif lainnya.

Alea mencoba mengingat dengan saksama. "Salah satu dari mereka ada yang membawa katana, tingginya sekitar 175 cm, badannya cukup kekar. Dia sempat berbicara dengan logat yang agak kasar."

"Logat seperti apa?" desak detektif itu.

"Seperti... bukan orang sini. Agak berbeda," jawab Alea, mencoba mencari padanan kata yang tepat.

Mereka juga menceritakan tentang sosok bertopeng yang tiba-tiba datang menolong mereka.

"Dia mengenakan topeng hitam yang menutupi seluruh wajahnya, tapi rambutnya ikal seperti rambut Om Alexander," kata Axel.

"Logat bicaranya asing, tapi anehnya, ada kelembutan di suaranya saat berbicara padaku," tambah Alea, mengerutkan kening. "Kami tidak tahu siapa dia, atau apa motifnya."

Para detektif mencatat semua informasi dengan teliti. "Terima kasih atas keterangan Anda. Kami akan melakukan penyelidikan lebih lanjut berdasarkan informasi ini. Jika ada perkembangan baru, kami akan segera memberitahu," kata detektif itu, lalu berpamitan.

Setelah interogasi selesai dan para petugas kepolisian pergi, suasana di ruang perawatan kembali lebih tenang. Para mommy dan sahabat-sahabat Axel masih setia menemani, sesekali melontarkan tatapan khawatir pada Alea dan Axel.

Malam semakin larut, dan satu per satu para mommy dan sahabat Axel mulai berpamitan, memberikan kesempatan bagi Alea dan Axel untuk beristirahat. Hanya Indira dan Harun yang tetap tinggal, duduk di sofa di sudut ruangan, siap siaga jika terjadi sesuatu.

Axel menoleh ke arah Alea, meraih tangannya yang bebas dari infus dengan lembut. "Boo, kau takut?" bisiknya pelan.

Alea menatap mata Axel, mencari ketenangan di sana. "Sedikit. Aku tidak menyangka akan ada yang berani menyerang kita seperti tadi. Apalagi saat kita baru pulang sekolah." Gema ketakutan masih terasa dalam suaranya.

"Aku di sini, Boo. Mereka tidak akan bisa menyakitimu lagi. Aku janji," ucap Axel, menggenggam erat tangan Alea. "Aku menyesal tidak bisa melindungimu dengan lebih baik tadi."

"Hei," Alea membalas genggaman Axel, tersenyum tipis. "Kau sudah melakukan yang terbaik, Yang. Kalau tidak ada kau, mungkin aku sudah..." Ia tidak sanggup melanjutkan kalimatnya.

"Jangan bicara seperti itu," Axel memotong, matanya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam. "Kau itu kuat, Boo. Sangat kuat. Aku bangga padamu."

"Terima kasih, Yang," bisik Alea, merasakan kehangatan cinta Axel yang menenangkan rasa takutnya.

"Boo," panggil Axel lagi, tatapannya melembut. "Aku semakin yakin kalau aku tidak bisa hidup tanpamu. Kau itu... segalanya bagiku. Cahayaku, kekuatanku, duniaku."

Alea merona mendengar ucapan Axel yang begitu tulus. "Kau juga segalanya bagiku, Yang. Jangan pernah berubah, ya?"

"Tidak akan pernah, Boo. Cintaku padamu abadi, seperti bintang di langit."

Dari sudut ruangan, Indira dan Harun saling bertukar pandang sambil tersenyum kecil. Mereka sudah terbiasa dengan "kebucinan" Axel, namun kali ini terasa lebih mengharukan karena mereka tahu apa yang baru saja terjadi.

Tak lama kemudian, Dion, yang kembali setelah mengantar orang tuanya, masuk ke ruang perawatan sambil membawa nampan berisi makanan ringan dan minuman hangat. "Kalian berdua ini... sudah babak belur begitu masih sempat-sempatnya saling gombal," celetuk Dion sambil terkekeh pelan. "Para mommy sampai geleng-geleng kepala di luar tadi."

Axel hanya nyengir lebar, tidak merasa malu sedikit pun. "Cinta itu butuh diungkapkan setiap saat, Dion. Apalagi setelah nyaris kehilangan orang yang kita cintai."

Alea tersenyum mendengar pembelaan Axel, hatinya menghangat meskipun tubuhnya masih terasa lemah. Di tengah gema ketakutan akan kejadian malam itu, cinta Axel adalah jangkar yang membuatnya tetap kuat. Misteri sosok bertopeng dan pertanyaan tentang siapa yang sebenarnya ingin menculiknya masih menggantung di udara, namun untuk saat ini, yang terpenting adalah ia aman di sisi orang yang dicintainya, dikelilingi oleh keluarga dan teman-teman yang menyayanginya. Alea pun memejamkan matanya dan perlahan memasuki alam mimpi.

1
Naruto Uzumaki family
Lanjut thor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!