Meminta Jodoh Di Jabal Rahmah?
Bertemu Jodoh Di Kota Jakarta?
Ahtar Fauzan Atmajaya tidak menyangka jika ia akan jatuh cinta pada seorang wanita yang hanya ia temui di dalam mimpinya saja.
“Saya tidak hanya sekedar memberi alasan, melainkan kenyataan. Hati saya merasa yakin jika Anda tak lain adalah jodoh saya.”
“Atas dasar apa hati Anda merasa yakin, Tuan? Sedangkan kita baru saja bertemu. Bahkan kita pun berbeda... jauh berbeda. Islam Agama Anda dan Kristen agama saya.”
Ahtar tersenyum, lalu...
“Biarkan takdir yang menjalankan perannya. Biarkan do'a yang berperang di langit. Dan jika nama saya bersanding dengan nama Anda di lauhul mahfudz-Nya, lantas kita bisa apa?”
Seketika perempuan itu tak menyangka dengan jawaban Ahtar. Tapi, kira-kira apa yang membuat Ahtar benar-benar merasa yakin? Lalu bagaimana kisah mereka selanjutnya? Akankah mereka bisa bersatu?
#1Dokter
#1goodboy
#hijrah
#Religi
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alfianita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Setiap Lorong Ada Cerita
...Ada rasa yang terkadang tidak bisa dijelaskan secara rinci. Dan ada juga rasa yang tidak bisa diungkapkan hanya dengan kata-kata. Perihal rasa... dari hati....
🌹🌹🌹🌹
Tidak lama kemudian sajadah ia terbentang, takbir pun telah diucapkan. Hingga akhirnya bertemu dengan gerakan terakhir, salam.
"Ya Allah... hamba kembali mengadu dan meminta kepada Engkau. Tempat terbaik untuk mengadu itu hanya kepada-Mu, ya Allah. Dan sebaik-baiknya menengadahkan tangan untuk meminta sesuatu itu tetap kepada-Mu... Ya Allah."
Sejenak Akhtar memejamkan mata sambil menghela napas panjang.
"Ada rasa yang terkadang tidak bisa dijelaskan secara rinci. Dan ada juga rasa yang tidak bisa diungkapkan hanya dengan kata-kata. Perihal rasa... dari hati."
Engkau yang paling tahu apa yang hamba rasakan saat ini. Dan hamba tak meminta lebih dari sekedar kata ikhlas. Meskipun sulit ujian yang Engkau berikan, hamba yakin karena Engkau percaya bahwa hamba mampu, mampu menerima dan mampu menjalaninya. Ridhoi lah langkah kecil hamba ya Rabb... Aamiin.
Akhtar mengaminkan doanya. Setelah itu ia mengganti pakaian shalatnya dengan kemeja putih, lengan panjang yang digulung sampai siku dan dipadukan dengan celana levisnya. Tidak lupa ia menyisir rambut yang cepak ala militer, yang menambah kharisma seorang Akhtar semakin melekat. Sebelum keluar dari kamarnya, jangan lupa menambahkan parfum maskulin di bajunya. Dan itu menambah penampilan semakin sempurna.
🌹🌹🌹🌹
"Wiihhh! Wangi bener adek Mbak, mau kemana?" tanya Cahaya saat Akhtar berdiri di dekatnya.
"Tidak usah berlebihan, Mbak. Orang cuma mau ke rumah sakit doang. Pasien yang tadi siang sudah sadar, jadi Akhtar harus memeriksanya lagi." Begitulah kata Akhtar sambil menuangkan air putih ke dalam gelas. "Mbak Cahaya bikin apa sih? Aromanya menguar banget, nusuk hidung."
"Mbak lagi buat opor ayam," jawab Cahaya singkat.
"Buat kok opor ayam kampung. Mana aku tidak boleh makan lagi, cuma buat bang Juna doang." Akhtar mencebik, lalu mengambil duduk dan mulai meneguk segelas air putih.
“Biarin, namanya juga buat suami tercinta.” Cahaya tergelak tawa. "Makanya cepat bawa calonnya, biar bisa masak spesial buat kamu doang." Cahaya melirik Akhtar yang masih minum. Walaupun hanya sebagai kakak ipar, Cahaya juga peduli dengan kehidupan asmara yang dilalui Akhtar, berliku.
"Ish," Akhtar berdesis.
Akhtar beranjak pergi, ditinggalkannya Cahaya yang masih sibuk di dapur. Namun, sampai di halaman depan ia belum menemukan keberadaan Abi Yulian dan Bunda Khadijah, hingga ia kembali masuk.
"Kok baik lagi?" tanya Cahaya saat Akhtar kembali lagi ke dapur.
"Abi sama Bunda kemana? Kok aku nggak lihat di mana pun. Niatnya mau pamit, tapi Akhtar buru-buru. Pamitnya sama mbak Cahaya saja ya, nanti tolong sampaikan sama mereka. Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam," jawab Cahaya. "Nanti pas makan malam ikut tidak? Biar Mbak sekalian masak."
Akhtar kembali berbalik, lalu menatap jam yang melingkari pergelangan tangannya.
"Emm...tak usah repot, nanti aku pulang setelah isya', insyaAllah."
🌹🌹🌹🌹
Pov. Abi Yulian
Setelah makan siang berlangsung Abi Yulian mengajak Bunda Khadijah untuk pergi ke suatu tempat. Tempat di mana keduanya bisa menikmati momen untuk dijadikan kenangan sebelum kembali ke Indonesia, tepatnya kota Denai—Medan.
“Hubby, kenapa mengajak Neng ke Calton Hill?” tanya Bunda Khadijah saat masih berada di bagian bawah Calton hill.
"Hubby mau kita nikmati momen sebelum pergi dari kota Edinburgh... Berdua.”
“Kita lihat matahari terbenam dengan sempurna dari atas. Pendakiannya kan, mudah, Neng pasti bisa kok." Abi Yulian mengulurkan tangan, mengajak bunda Khadijah untuk segera melakukan pendakian.
Bunda Khadijah tersenyum, lalu meraih tangan Abi Yulian dan siap melakukan pendakian.
Abi Yilian dan Bunda Khadijah mulai memasuki lorong dan setiap jalanan kecil di sana terbuat dari batu sangat kuat, bahkan ada banyak bunga kecil di pinggir jalan yang tidak banyak di ketahui.
“Hubby, tunggu! Kita ambil foto di sini yuk! Pemandangannya sangat indah,” ajak Bunda Khadijah sata berada di tempat pemandangan MV.
Di MV “Myeong-Dong” Zhou Dong, tempat lahir J.K Rowin menciptakan Harry Potter. Di sana setiap bangunan adalah papan latar belakang film alami, dan di setiap sudut tampaknya tersembunyi dengan jalur rahasia menuju dunia lain. Tempat menarik bagi setiap pengunjungnya.
Dan sekitar setengah jam akhirnya mereka sampai di puncak bukit. Mereka menikmati panorama kota 360 derajat. Bangunan bergaya Yunani di puncak gunung itu terlihat megah, seperti rak tulang kuil yang dirusak oleh waktu, yang tenang menjaga Edinburgh.
"Saat sudah berada di puncak bukit, apa yang Neng bisa rasakan?" tanya Abi Yulian sambil menatap kota yang indah dari atas bukit.
"Momen yang begitu indah. Neng tidak pernah membayangkan akan melewati gang-gang kecil, menikmati setiap tempat yang kita lewati tadi dan saat ini... Hal yang paling membahagiakan adalah berada di tempat romantis bersama orang yang kita cintai," ungkap Bunda Khadijah dengan pipi yang bersemu merah. Untung saja tertutupi cadar, jika tidak pasti Abi Yulian sudah melihat pipi bak kepiting rebus milik Bunda Khadijah.
"Neng akan mengingat semuanya, termasuk tulisan yang kita lewati tadi. Kastil menjaga rahasia untuk cinta, dan aku menjaga kenangan untuk Anda. Kalimat yang indah, bukan?"
Keduanya menoleh, lalu saling tatap. Dan tatapan itu saling mengunci satu sama lain, tak menghiraukan berapa banyak nya pengunjung yang datang di sana. Namun, beberapa detik kemudian tatapan keduanya berpaling dan kembali menikmati momen di siang hari itu.
"Neng, sebenarnya Hubby mau bertemu dengan seseorang. Tapi sepertinya dia belum datang." Abi Yulian mengedarkan pandangannya ke sekeliling, tapi belum menemukan orang yang ditunggu.
“Memangnya siapa—?”
"Excuse me! Sorry if i'am late.” Dia datang, menghentikan ucapan Bunda Khadijah.
Abi Yulian dan Bunda Khadijah seketika menoleh. Mereka menatap orang yang baru datang itu dengan lekat. Pakaian serba hitam dan kacamata hitam telah bertengger di hidung mancungnya.
“Saya... Ada hal penting yang ingin di sampaikan pada Abi dan Bunda. Maaf, jika saya meminta bertemu di sini, tempat yang lebih efisien tanpa ada seseorang yang menaruh curiga. Meskipun... saya sendiri tak yakin jika tempat ini aman.”
“Kamu... Bukannya—?”
“Iya, Bunda. Ini saya.” Orang itu melepas kacamatanya, lalu mengulas senyum ramah.
Dalam hati kecilnya, orang itu bahagia bisa bertemu kembali dengan Abi Yulian dan Bunda Khadijah. Sosok yang sangat di rindukannya.
“Ya Allah, Nak. Bagaimana kabar kamu? Kamu...” Bunda Khadijah menghentikan ucapannya, dan detik berikutnya pelukan itu dilayangkan.
Deg.
Dibiarkannya Bunda Khadijah memeluk tubuhnya erat, menumpahkan rindu seperti sosok ibu yang sudah tak bertemu lama dengan anaknya.
“Please! Don't cry... Bun.”
“Maaf, Bunda hanya rindu sama kamu, Nak.” Bunda Khadijah melerai pelukannya.
Orang itu menatap Abi Yulian dan Bunda Khadijah secara bergantian, tatapan yang sulit diartikan.
“Saya hanya ingin meminta tolong. Tolong... berikan ini kepada Akhtar. Dan... Saya ingin... Abi dan Bunda membantu saya masuk Islam.”
Deg.
Hati Bunda Khadijah seakan berhenti berdetak, tatapan nya terus memidai wajah perempuan itu. Wajah yang menyiratkan keseriusan, tanpa ada suatu paksaan dalam setiap tindakan dan ucapan yang sudah dilontarkan.
“Apa itu berarti kalian nanti bisa—”
“Maaf. Tapi saya tidak bisa mengatakan apa pun tentang hubungan itu. Karena setelah saya masuk Islam, saya sendiri tidak yakin jika saya akan tetap hidup atau... Tiada.”
“M-maksud kamu?” tanya Bunda Khadijah memperjelas.
“Anggap saja suatu saat saya memasuki lorong. Dan setiap lorong pasti ada cerita yang bisa di publish atau membuat saya stuck di dalam lorong itu. Dan sebelum waktu itu tiba, saya ingin Abi dan Bunda membantu saya.” Orang itu menatap penuh harap.
“Tenang saja, Nak. Kami akan membantu mu. Besok temui Abi dan Bunda di Masjid Raja Fahd. Masalah waktu kami akan hubungi kamu besok,” kata Abi Yulian setelah mengambil keputusan.
Abi Yulian cukup paham lorong apa yang di maksud orang itu. Setelah matahari terbenam sempurna, dan malam mulai muncul pertemuan itu pun diakhiri.
🌹🌹🌹🌹🌹
“Mohon maaf sekali, Kek. Tapi saya sebagai Dokter yang menangani Anda, saya tidak akan mengijinkan Anda bepergian untuk sementara. Dan sebaiknya Kakek itu istirahat di rumah sakit sampai beberapa hari, jika itu diperlukan.” Begitu ucap Akhtar setelah tahu Tuan Arman ingin kembali ke Indonesia segera.
“Saya tahu dengan kondisi saya yang tidak baik-baik saja ini, Dokter. Tapi, saat ini keluarga saya butuh kehadiran saya, banyak kekacauan yang terjadi di sana. Dan saya tidak mau jika dua cucu saya menjadi korban.”
Akhtar menghela napas berat. “Apa yang bisa saya bantu untuk sementara? Sampai kondisi Anda memungkinkan untuk melakukan penerbangan jauh.” Akhtar menatap Tuan Arman dengan tatapan tulus.
Tuan Arman menghela napas panjang, biar mana pun ia harus menurut apa yang dikatakan Akhtar.
“Baiklah. Tolong hubungi cucu saya, ini nomornya. Dan tolong bilang padanya jika ini rahasia.” Tuan Arman menyodorkan ponselnya.
Akhtar mengernyitkan kening, antara yakin dan tidak. Tapi keputusan sudah diambilnya, dan ia harus bisa menepati ucapannya.
Bersambung...