Danendra dan Alena sudah hampir lima tahun berumah tangga, akan tetapi sampai detik ini pasangan tersebut belum juga dikaruniai keturunan. Awalnya mereka mengira memang belum diberi kesempatan namun saat memutuskan memeriksa kesuburan masing-masing, hasil test menyatakan bahwa sang istri tidak memiliki rahim, dia mengalami kelainan genetik.
Putus asa, Alena mengambil langkah yang salah, dia menyarankan agar suaminya melakukan program tanam benih (Inseminasi buatan). Siapa sangka inilah awal kehancuran rumah tangga tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SunflowerDream, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Retak yang tak terlihat
Danendra sosok yang tidak lagi menjadi bagian dari dunia Alena. Dulu pria itu adalah anugerah takdir yang begitu disyukurinya. Dulu setiap langkah dan keputusan ada sosok pria itu menemaninya bahkan dalam keadaan sulit sekali pun. Tapi sekarang seakan tuhan sedang menghukum Alena, memang dia merasa bahagia karena Tuhan memberinya kepercayaan untuk mengurusi dua bayi kembar yang begitu menawan, tapi tetap saja ada yang belum sempurna tidak disangka anak-anak yang begitu ia harapkan saat ini ia rawat sendiri tanpa sosok suami.
“Bu air mandi adik udah siap!” Alena yang sedang sibuk mengajak kedua bayinya bicara menoleh ke arah suara itu.
“Saya titip Danea dulu ya Bu Hanum, kasian dia kurang enak badan jadi gak boleh ikut mandi hari ini.”
Bu Hanum menatap sedih langkah majikannya. Bagaimana mungkin wanita itu tetap tegar setelah hampir mati di tangan suaminya sendiri. Dia tetap tersenyum tetap ramah seperti biasanya walaupun ada luka yang menganga di hatinya, Bu Hanum tahu betul luka wanita itu karena dia melihat sendiri perlakuan kasar Danendra hampir setiap harinya.
Kini genap sudah Danen tidak pernah menginap di rumah ini, dia hanya sesekali pulang cuman untuk melihat bayinya lalu setelah itu dia pergi lagi, tidak perduli sekeras apa usaha Alena untuk menahannya pria itu tetap pergi dengan alasan yang tidak bisa dimengerti.
“Laras!” Panggil Bu Hanum saat melihat teman kerjanya baru saja memasuki kamar untuk menyusun baju bayi yang baru ia cuci.
“Apa bu?”
“Kamu betah kerja di sini?” Laras sempat terkejut dengan pertanyaan tiba-tiba itu.
“Emang kenapa bu? Ibu gak betah kah, jangan berhenti bu saya gak ada teman kalo ibu berenti dari sini.”
“Heh bukan gitu, saya betah disini, Bu Alena itu orang baik dia memperlakukan kita kayak keluarga. Tapi kasian setiap dia bersama suaminya dia tertekan bahkan bisa mati kalo gak ada kita di rumah ini.” Bu Hanum menatap hampa, setiap membayangkan Danendra pulang dengan wajah sendu itu lalu tidak lama ia pasti mendengar rintihan dari Alena, kenapa pria itu selalu menyakiti istrinya Bu Hanum merasa dia harus berbuat sesuatu.
“Ya mau gimana lagi bu, kita cuman kerja di sini kita gak bisa berbuat banyak, yang penting kita jangan lengah aja selalu waspada setiap Pak Danen pulang, saya takut kalo dia ada di rumah ini.”
“Saya itu kasihan liat keadaan Bu Alena, saya sedih dia mengingatkan saya kepada anak perempuan saya dulu. Nasibnya juga malang dapat suami tukang pukul hingga akhirnya anak saya mati di tangan suaminya sendiri.” Mata Bu Hanum mulai memerah, ia kembali ke masa lalu membasahi luka yang telah kering.
“Saya pengen ketemu Pak Dharma, dia harus tau bagaimana anak perempuannya selama ini hidup, amit-amit jangan sampai Pak Dharma harus mengalami hal yang sama kayak saya.”
“Tapi gimana Bu Hanum, Bu Alena sendiri yang menyuruh kita tetap tutup mulut dia tidak ingin masalah keluarganya sampai ke luar. “
“Bu Alena itu terlalu polos, dia percaya suaminya akan berubah padahal itu susah gak mungkin sekali pemarah tetap pemarah. Saya gak sanggup liat ini.”
“Kita harus menghubungi Pak Dharma, Ras.”
Kedua wanita itu terlihat sendu, mereka juga merasakan kesedihan yang di alami Alena, “jangan!” kehadiran suara pelan itu membuat kedua wanita paruh baya langsung menutup mulutnya rapat dengan kepala tertunduk.
“Bu saya mohon jangan ceritakan ke siapa pun masalah saya, apalagi ke papa.” Alena yang menggendong bayi di tangannya berjalan mendekat, “ini masalah rumah tangga saya, maaf jika membuat kalian tidak nyaman tapi tolong saya, tolong jangan bilang kepada siapa pun.”
“Tapi sampai kapan Bu. Ibu gak bisa terus-terusan diam menghadapi suami Ibu, dia itu berbahaya.” Lama sudah Bu Hanum memendam kalimat ini.
“Tapi saya juga gak bisa harus berpisah dengan dia Bu. Jika papa tahu saya bisa di seret pulang saya gak mau, saya gak bisa ninggalin anak-anak.”
Saat Alena sibuk memohon kepada dua asistennya tiba-tiba sosok yang sedang mereka bicarakan muncul, dengan penampilan yang sudah rapi seperti siap untuk pergi bekerja. Alena langsung terdiam begitu juga dua wanita yang berada di belakangnya, dua wanita itu tertunduk tidak berani menatap majikan laki-lakinya.
“Kamu pulang Danen?” tanya Alena hanya dibalas anggukan datar oleh pria itu,
“Aku mau ke rumah sakit tapi masih ada waktu aku mau lihat Danea dan Daniel dulu.”
Alena menghindar pelan saat Danen berjalan menghampirinya, pria itu tadi berniat ingin mencium putranya yang terlihat segar karena habis mandi berada dalam gendongan sang ibu, pria itu mengernyit bingung.
“Kenapa aku mau cium Daniel.”
Alena hanya diam karena putranya sudah berpindah ke dalam gendongan sang ayah. Ada banyak sekali pertanyaan yang ingin dia tanyakan, tapi ragu karena khawatir akan membuat pria itu marah lagi. Padahal dia hanya ingin bertanya apakah suaminya malam ini menginap di rumahnya atau di rumah sakit lagi.
Danen selalu beralasan memiliki jadwal operasi malam jadi mau tidak mau ia terpaksa menginap di rumah sakit karena terlalu lelah untuk pulang. Awalnya Alena percaya alasan itu, tapi karena berhasil menggunakan alasan tersebut Danen mengulanginya setiap hari. Lama-lama wanita itu juga curiga, apa benar suaminya setiap malam menginap di rumah sakit seperti yang dikatakannya. Tapi itu semua tidak masuk akal, selama lima tahun ini suaminya jarang menginap di rumah sakit lalu kenapa dia sekarang malah sibuk menginap.
Tatapan Danendra setiap berinteraksi dengan anak-anaknya terlihat hangat dan tulus sekali, berbeda ketika ia menatap Alena yang ada dia menatap wanita itu dengan penuh tekanan dan intimidasi tidak lagi penuh cinta seperti dulu. Danendra benar-benar telah berubah mungkin memang benar dia tidak lagi menaruh rasa terhadap Alena.
Karena yang Danen rasakan Alena tidak seperti dulu lagi, dalam pandangannya wanita itu terlihat redup dan tidak menarik sama sekali, bahkan aroma tubuhnya pun bisa membuat Danen gelisah tanpa sebab sehingga dengan keadaan seperti itu Danen akan terus menjauhi Alena ia tidak nyaman jika bersama Alena.
Guna-guna atau pelet cinta yang Mei lakukan berhasil menutup pintu hati Danendra bahkan juga mampu mematikan perasaan pria itu terhadap Alena.
Danendra yang sibuk menimang-nimang putranya menatap heran kenapa dua asisten pribadi Alena tidak beranjak dari kamar ini, mereka hanya diam di tempat tanpa melakukan apa pun.
“Alena suruh mereka keluar.” Titah Danendra, dia tidak nyaman saat menyadari kedua wanita yang umurnya hampir sama dengan ibu kandungnya tersebut menatap dirinya tajam.
“Mereka habis bantuin aku ngurusin kembar.”
“Ya udah kalo udah selesai urusannya suruh mereka keluar, gak sopan banget.” Gerutu Danendra kesal.
Alena mengisyaratkan kepada dua wanita itu untuk keluar, tapi mereka terlihat ragu. Mereka ingin berada di sini menjaga Alena khawatir Danen tiba-tiba mengamuk lagi dan menghancurkan semua barang.
“Aku gak papa.” Kalimat tenang yang Alena keluarkan berhasil membuat kedua asistennya melangkah keluar.
“Danea kenapa bisa demam gini sih, kamu gak becus banget.” Danen mulai mengomel saat menyadari hanya tinggal dirinya bersama Alena.
“Namanya juga anak-anak, mereka memang gampang sakit. Tapi kamu tenang aja dia udah di kasih resep sama Via, mungkin besok Danea udah bisa sehat lagi.”
“Alena aku kerja di luar sibuk banget, jadi kamu jangan terlalu bergantung ke aku, kalo anak-anak memang butuh sesuatu kamu bisa kan usaha sendiri? Jangan hubungi aku atau tunggu aku pulang.”
Alena tidak menjawab, ia hanya menatap kesal. Bagaimana mungkin suaminya itu mau lepas tanggung jawab dan hanya terima beres, tapi sekali lagi Alena tahan semua kalimatnya. Dia takut salah bicara dan malah memancing kemarahan Danendra.
Suara ketukan pintu menghentikan omelan Danen, dengan raut kesal ia segera membuka pintu kamarnya.
“Apalagi sih Bu Hanum saya lagi ngobrol sama Alena, bisa gak jangan ganggu.”
“Kamu itu saya perhatikan semakin kurang ajar ya, mentang-mentang saya jarang pulang kamu jadi bisa seenaknya. Ini rumah saya, saya punya hak kamu jangan seenaknya saya terganggu tau!”
Bu Hanum belum sempat bersuara tapi majikan laki-lakinya terus mengomel.
“Jarang pulang?” Suara berat yang khas itu menghentikan omelan Danendra, ia menatap panik saat menyadari ayah mertuanya mendekat
“Maaf Pak saya cuman mau ngasih tau ada Tuan Dharma berkunjung. Permisi saya tinggal.” Bu Hanum dengan cepat mengundurkan diri, dia tidak mau menjadi alasan jika Danendra tertangkap basah oleh Dharma.
“Papa?” Danen bergumam pelan,
“Papa?” Alena juga ikut bergumam saat melihat wajah gagah sang ayah, wanita itu tersenyum berbeda dengan suaminya yang penuh dengan rasa cemas.
“Siapa yang jarang pulang?” Dharma mengulangi ucapannya, ia tatap bergantian anak dan menantunya.
Hening beberapa detik, kedua pasangan itu saling tatap sama lain. Alena menyadari raut cemas pada suaminya, ia bisa membaca keadaan jadi selama ini papanya tidak tahu kalau Danendra sering menginap di rumah sakit, wajar saja papa tidak pernah turun langsung mengurusi rumah sakit mereka hanya Aleon yang menjadi andalan.
Belum sempat bersuara tangisan Danea yang di tinggal sendiri memecah keheningan. Ketiga orang tersebut seketika berlari menghampiri Danea yang meraung.
Keadaan Danea semakin parah, wajahnya pucat dengan bola mata yang sayup penuh air mata menjadi sorotan Dharma.
“Sayang cucu kakek, mana yang sakit nak?” Dharma segera menggendong cucunya. Lelaki paruh baya tersebut semakin panik saat menyadari suhu tubuh cucunya begitu tinggi, ia dengan cekatan membuka baju tebal yang Danea kenakan lalu berusaha melakukan pertolongan pertama dengan memeluk tubuh cucunya erat, berusaha memberikan kehangatan. Entah sejak kapan Dharma sudah melepaskan pakaiannya ia hanya bertelanjang dada.
Sejak Alena bayi dia sering melakukan ini saat putrinya tiba-tiba demam tinggi, sebelum di larikan kerumah sakit Dharma dengan cekatan menyalurkan panas tubuhnya kepada tubuh kecil putrinya, setidaknya cara ini berhasil membuat putrinya tenang tidak lagi menjerit. Dan kali ini berhasil dengan cara yang sama ia lakukan kepada cucunya.
“Ayo ke rumah sakit, Danea harus diperiksa.” Tanpa membantah pasangan tersebut ikut berlari menyusul langkah ayah mereka.
Bersambung.