Dia terjerat dalam sebatas ingatan dimana sebuah rantai membelenggunya, perlakuan manis yang perlahan menjeratnya semakin dalam dan menyiksa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nenah adja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cemburu?
Valeri membuka matanya dan melihat dia berada di rumah sakit. Valeri menghela nafasnya saat melihat jarum infus di tangannya. "Bagus sekali, Valeri. Kau benar-benar tidak takut mati." tahu dia alergi minuman beralkohol tapi justru minum dua gelas sekaligus. Gilanya lagi dia justru tertawa menantang Mario seolah merasa senang melihat pria itu panik.
Tapi, tunggu.
Apa yang Valeri lihat semalam benar-benar terjadi? Pria itu nampak panik dan khawatir.
"Tidak mungkin aku pasti sedang berhalusinasi." Mario mana ada khawatir. Melihatnya menderita pria itu akan senang dan tertawa. Sedangkan perawatannya hanya karena pria itu tak rela dia mati dengan cepat, dan belum puas menyiksanya. "Sial sekali kau Valeri. Jatuh hati pada pria yang salah." Valeri mengutuk dirinya sendiri, saat mengingat perlakuan manis Mario yang ternyata hanya kepalsuan semata.
Melihat suster yang baru saja masuk Valeri segera berkata. "Aku sudah boleh pulang?"
Suster memeriksa kantung infus yang masih tersisa. "Kamu harus menghabiskannya lebih dulu."
"Kemana Mario?"
Suster menghentikan gerakkannya. "Tuan Mario baru saja pulang setelah memastikan kondisi anda baik- baik saja." Valeri menurunkan kakinya, namun suster mencegah. "Kau akan kemana?"
"Aku mau keluar."
"Tuan berpesan agar anda istirahat." Valeri mencebik tak peduli. Jelas sekali peringatan Mario adalah agar dia tak kabur. "Nona." Valeri berdiri tak memperdulikan suster yang mencegahnya, dan membawa tiang infus berjalan bersamanya. Saat membuka pintu dan melihat dua orang pengawal berdiri di depannya Valeri mendengus sebal.
"Aku tidak akan lari." Lagi pula dia tidak bisa pergi sebelum taruhannya dengan Hilda terlaksana. Perasaannya di pertaruhkan. Entah Mario akan jatuh cinta padanya atau bahkan membunuhnya. Valeri akan lakukan. Tak peduli apa kata Hilda yang katanya Mario memiliki rasa padanya, Valeri hanya akan melakukannya agar bisa lepas dari Mario. Valeri melewati kedua pengawal yang masih tertegun menyusuri lorong rumah sakit yang sepi sebab ini adalah lantai VVIP, tak banyak orang di lantai ini, hanya beberapa orang saja yang berlalu lalang, sebab mahalnya biaya permalam disana. Setelah beberapa saat berjalan, Valeri memutuskan duduk di sebuah kursi lalu melamun, hingga seseorang muncul dan menyodorkan minuman kotak padanya.
"Kau mau?" Valeri mendongak dan melihat pria berpakaian sama sepertinya yang merupakan pakaian pasien.
"Terimakasih." Valeri menerima minuman tersebut lalu menggenggamnya.
"Aku melihat saat kau masuk kesini, semalam," ucap pria itu dengan mendudukkan dirinya di sebelah Valeri.
"Pria itu, Mario, kekasihmu terlihat sangat khawatir. Dia bahkan membentak semua dokter agar menyelamatkanmu." Valeri menoleh dengan tertegun, namun setelahnya dia tertawa.
"Sungguh?" tanyanya dengan tak percaya. "Tunggu, kau mengenal Mario?"
"Siapa yang tidak mengenalnya."
"Ya, dia cukup terkenal. Tapi, tidak mungkin dia khawatir padaku." Valeri kembali tertawa saat merasa itu tak masuk akal.
Pria itu mengangguk. "Aku benar. Kau tahu aku rasa dia akan mengeluarkan laser dari matanya yang tajam itu."
Valeri semakin tertawa, saat melihat pria itu merinding dengan mengusap lengannya.
"Kau sakit apa?" tanya Valeri dengan membuka minuman kotak di tangannya.
"Penyakit orang kaya." Valeri mengeryit.
"Apa itu?"
"Aku hanya malas bekerja, jadi aku beralasan sakit." Valeri kembali tertawa.
"Astaga, aku melihatnya. Kau memang orang kaya. Karena orang miskin tidak akan diam di lantai VVIP hanya agar tidak bekerja."
Pria itu mengangguk. "Benar bukan?"
"Oh, iya. Aku Carlos." Pria itu mengulurkan tangannya.
"Valeri," ucap Valeri dengan menjabat tangan Carlos.
"Jadi kenapa kau sampai dilarikan ke rumah sakit?"
"Hanya alergi."
"Tapi, alergi juga bisa berbahaya, kau tahu?"
Valeri mengangguk. Dia bahkan sampai kesulitan bernafas karenanya.
"Jadi sebaiknya kau berhati-hati."
Valeri tersenyum saat Carlos terlihat khawatir padanya. Lalu tiba-tiba dia jadi teringat Mario. Mario benar-benar kejam. Orang lain saja bisa khawatir pada orang yang baru di kenalnya. Tapi pria itu, tiga tahun bersamanya juga tidak memiliki perasaan lain selain menganggapnya sarana balas dendam dan pengganti tentu saja.
Lagi pula tiga tahun ini juga dia hanya disiksa.
"Oh, Valeri aku akan makan di kantin kau akan ikut. Disana makanannya enak, kau tahu berbeda dengan makanan untuk pasien."
Valeri baru saja akan menjawab, namun dia justru mendengar suara berat di belakangnya. "Apa yang kau lakukan?” Suara itu sangat tajam hingga membuat Valeri bergidik.
Valeri menoleh dan menemukan Mario. Pria itu menatapnya tajam dengan wajah yang datar.
Valeri kembali melihat pada Carlos. "Baiklah, Carlos, aku harus kembali. Terimakasih jusnya." Valeri menaikan minuman kotak di tangannya lalu berdiri untuk kembali ke kamarnya.
Dia berjalan mendorong tiang infus di tangannya melewati Mario. Pria itu masih menatap datar Carlos yang berdiri dari duduknya lalu mengangguk hormat pada Mario.
"Kenapa keluar dari kamarmu?" Valeri melihat dari sudut matanya Mario sudah mengikutinya dan berjalan tepat di belakangnya.
"Aku hanya keluar kamar, bukan lari darimu." Valeri menghentikan langkahnya saat merasakan cengkraman di tengkuknya.
"Apa yang aku bilang aku tak suka milikku di sentuh pria lain?" Valeri mendongak menatap ke belakang dimana Mario berdiri dengan menatapnya.
Mario melihatnya berjabat tangan dengan Carlos? Sejak kapan pria itu ada disana?
"Aku tidak-" Valeri meringis saat cengkraman Mario terasa mengencang, rambutnya pun terasa tertarik hingga dia merasa perih dan sakit bersamaan.
"Kau sedang cemburu?" Valeri tersenyum mengejek menahan sakitnya.
"Cemburu?" Mario terkekeh. "Apa kamu pantas?"
"Lalu?"
"Aku hanya tidak suka milikku di sentuh pria lain. Kau mengerti, kata milik yang aku ungkapkan?" Valeri mengerjapkan matanya dengan tertegun. Tentu saja dia hanyalah barang bagi Mario.
"Aku bahkan belum menghukummu untuk pemberontakanmu semalam. Dan kau sudah menambah masalahmu?" Mario mendorong Valeri masuk ke dalam ruang rawatnya, lalu menutup pintu.
Valeri berjalan mundur masih dengan tiang infus di tangannya, saat Mario melangkah maju semakin dekat.
"Apa yang kau mau?"
Mario melepas jasnya lalu melemparnya sembarang. "Kita sedang bicara tentang hukumanmu. Menurutmu apa yang akan aku lakukan?"
Beralih pada vest-nya, Mario masih berjalan mendekat dengan melepasnya, hingga dia melepas satu persatu kancing kemejanya dan menampilkan otot tubuh yang kekar.
Valeri menelan ludahnya kasar, hingga tubuhnya terjatuh di ranjang, dan Mario menaikan dirinya. "Kau tidak bisa melakukan ini, Mario."
"Kenapa?"
"I-ni di rumah sakit." Mario menyeringai.
"Tidak perlu khawatir, kamu hanya perlu meredam suaramu."
"Kau gila-" Tak menunggu lama Mario mendaratkan ciuman pada Valeri. Seperti biasa ciuman itu sangat kasar. Berbeda dengan perlakuan Mario saat dia kehilangan ingatannya.
Inilah Mario yang sebenarnya. Kasar dan pemaksa.
Valeri berontak saat Mario menarik pakaiannya hingga robek dan terbuka sepenuhnya.
"Lepaskan aku!" Valeri terus berontak hingga tak menyadari jika jarum infus di tangannya tertarik dan terlepas hingga darah mengucur dan menetes- netes di lantai.
apa Dy orang yg sama dengan yg ngawasin Mario di pesta?? 🤔
semangat Up thor
nyari2 kelemahan Mario...