Shanaya Sanjaya percaya bahwa cinta adalah tentang kesetiaan dan pengorbanan. Ia rela menjadi istri rahasia, menelan hinaan, dan berdiri di balik layar demi Reno Alhadi, pria yang dicintainya sepenuh hati.
Tapi ketika janji-janji manis tersisa tujuh kartu dan pengkhianatan terus mengiris, Shanaya sadar, mencintai tak harus kehilangan harga diri. Ia memilih pergi.
Namun hidup justru mempertemukannya dengan Sadewa Mahardika, pria dingin dan penuh teka-teki yang kini menjadi atasannya.
Akankah luka lama membatasi langkahnya, atau justru membawanya pada cinta yang tak terduga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Reno baru saja tiba di kantornya. Wajahnya terlihat tegang, langkahnya cepat. Di balik ketegasan itu, ia tengah menyusun rencana baru, bukan lagi untuk mempertahankan pernikahan, karena surat cerai sudah diproses, melainkan agar Shanaya kembali ke perusahaan. Setidaknya, sebagai sekretaris pribadinya seperti dulu.
"Aku nggak peduli caranya bagaimana. Shanaya harus kembali kerja di sini," perintah Reno pada Sonya, pengacara yang selama ini menangani urusan legal perusahaannya—termasuk masalah pribadinya.
Sonya tampak ragu. “Pak Reno... mungkin ini tidak semudah itu. Bu Shanaya tidak pernah melanggar kontrak. Justru keputusan sepihak Bapak saat itu sangat merugikan beliau. Tapi Bu Shanaya tidak menuntut apa pun.”
Reno mengernyit. “Apa maksudmu?”
“Bapak memecat beliau tanpa alasan, tanpa prosedur. Padahal, sesuai kontrak awal, Bu Shanaya berhak atas pesangon serta lima persen saham perusahaan. Tapi beliau memilih pergi tanpa menuntut satu rupiah pun. Termasuk soal harta gono-gini—padahal selama tujuh tahun pernikahan, seharusnya beliau mendapatkan lima puluh persen dari total aset bersama.”
Reno terdiam. Rasanya seperti ditampar kenyataan.
Shanaya benar-benar tidak menginginkan hartanya. Cinta wanita itu padanya... tulus. Tapi kenapa dulu ia begitu congkak, merasa paling benar, mempermainkan perasaan Shanaya seolah dia tidak layak dihargai?
“Aku harus dapatkan dia kembali, Sonya. Apa pun caranya. Temukan celah. Aku nggak bisa kehilangan dia sepenuhnya.”
Baru saja Sonya hendak menjawab, pintu ruangan terbuka tiba-tiba. Malika masuk begitu saja dengan wajah kesal setelah menguping pembicaraan dari balik pintu.
"Reno! Kamu nggak bisa balik lagi ke Shanaya!" teriak Malika tajam.
Reno menghela napas berat. “Ini bukan urusanmu, Malika.”
Malika merogoh tasnya, mengeluarkan selembar kertas kecil, lalu menyodorkannya ke Reno. “Aku hamil. Anakmu. Jadi kamu harus bertanggung jawab.”
Langkah Reno mundur tanpa sadar. Matanya terpaku pada hasil USG yang kini tergenggam di tangannya. Gambar hitam putih itu seolah berteriak lebih keras daripada kata-kata. Nafasnya tercekat.
Baru saja ia menyusun rencana untuk mengejar Shanaya—berharap masih ada secercah harapan, meski tipis. Tapi kini, kesalahan masa lalu datang mengetuk tanpa ampun.
Mengikatnya. Memaku langkahnya.
“Reno…” suara Malika terdengar lirih, tapi cukup menusuk. “Kamu gak bisa pura-pura ini gak ada. Kamu ayah dari anakku.”
Reno memejamkan mata sejenak, berusaha meredam kekacauan dalam kepalanya. Ia menengadah, menarik napas panjang, lalu menatap Malika dalam-dalam. Tatapannya kosong, tapi juga penuh tekanan.
“Kenapa baru sekarang?” tanyanya pelan, tapi terdengar getir.
“Aku takut kehilangan kamu,” jawab Malika cepat. “Aku tahu kamu masih cinta sama Shanaya... tapi sekarang kita punya anak. Kamu harus tanggung jawab.”
Reno mengalihkan pandangannya ke hasil USG itu lagi. Tangannya sedikit gemetar. Ia tak siap. Tidak untuk ini. Tidak saat hatinya baru menyadari betapa besar kesalahannya pada Shanaya.
“Anak ini... memang pantas hidup. Tapi jangan paksa aku mencintaimu, Malika.”
Wajah Malika menegang. “Jadi kamu tetap mau kembali ke Shanaya?!”
Reno menggeleng lemah. “Aku gak tahu. Tapi satu hal yang pasti... aku gak bisa abaikan anak ini.”
Ia melangkah perlahan ke kursi kerjanya dan duduk dengan tubuh limbung. Seakan seluruh beban dunia jatuh menimpa pundaknya. Rencana-rencananya tentang Shanaya hancur perlahan, digantikan oleh kenyataan pahit yang datang tanpa ia minta.
Namun, dalam keputusasaan itu, muncul ide gila.
“Kamu boleh pertahankan anak itu,” ucap Reno pelan, tapi tajam. “Tapi setelah lahir... dia akan jadi anakku dan Shanaya.”
Malika menatapnya tak percaya. Napasnya tercekat sejenak, lalu dadanya naik turun oleh amarah yang meledak.
Apa-apaan ini? Dari segala kemungkinan, ia tidak pernah membayangkan dijadikan sekadar "wadah"—ibu pengganti bagi anak yang bahkan belum pernah dicintai ayahnya. Shanaya, wanita yang sudah ia kalahkan, menurutnya—justru kembali menjadi bayangan yang menguasai segalanya.
“Reno!” Malika menjerit. “Sepertinya pelajaran yang dulu kuberikan belum cukup, ya? Kalau begitu, kali ini aku akan hancurkan Shanaya. Tanpa ampun. Dan tidak akan ada yang bisa menyelamatkannya!”
Reno bangkit, matanya menyipit. “Kamu berani?”
Malika tersenyum miring, tatapannya penuh racun. “Kenapa tidak? Semua kesalahan yang dibebankan pada Shanaya... bersumber dari kamu. Jadi jangan salahkan aku kalau dia harus menanggung akibatnya.”
Diam. Tegang.
Keduanya saling menatap seperti dua kutub yang siap meledak dalam peperangan yang jauh lebih besar dari sebelumnya. Dan jauh di lubuk hati Reno, satu perasaan muncul dengan jelas—penyesalan yang telat... dan ketakutan bahwa Shanaya akan menjadi korban lagi, kali ini karena pilihan yang ia buat sendiri.
***
Pukul sembilan lewat lima menit. Seisi ruangan sudah terisi suara keyboard, dering telepon, dan yang paling kentara, desas-desus tak mengenakkan. Semua berawal dari meja Shanaya. Meja kerja yang terlalu "mewah" untuk seorang sekretaris baru.
“Dekat jendela, laptop baru, ada pot bunga pula, warnanya pink semua. Dia kerja atau healing, sih?” bisik Rani sambil menahan tawa yang sengaja dikeraskan.
Winda menimpali cepat, “Pantes aja. Jangan-jangan dia manjat ranjang bos besar. Ingat gak, kemarin dia satu-satunya yang berani naik lift CEO? Hampir jadi asisten pribadi, eh ujung-ujungnya tetap sekretaris juga. Mungkin dia tipe ‘dibuang sayang, dipelihara dulu’.”
Tawa kecil pun terdengar, meskipun tak semua ikut tertawa. Beberapa hanya melirik Shanaya, menunggu reaksinya.
Shanaya yang sedari tadi diam, perlahan berdiri. Ia tak meninggikan suara, hanya melangkah ringan menghampiri Rani dan Winda yang duduk berdampingan. Senyumnya tipis, tapi pandangannya tenang dan tajam.
“Bu Rani, Bu Winda,” ucapnya dengan nada sopan. “Saya baru tahu meja kerja bisa menentukan nilai kerja seseorang. Tapi kalau memang ada ketidaknyamanan, saya bisa ajukan pindah ke meja mana pun, asal tidak mengganggu performa saya.”
Rani mengerjap. Tidak menyangka Shanaya akan menanggapi. Apalagi dengan nada seanggun itu.
Shanaya menambahkan, masih tersenyum. “Soal posisi dan fasilitas, itu semua wewenang atasan. Tapi kalau keberatan, saya yakin kita cukup profesional untuk menyampaikannya langsung ke Pak Sadewa... bukan lewat gosip.”
Ruangan mendadak senyap. Tawa padam. Beberapa orang mulai kembali menunduk ke layar komputer masing-masing.
Shanaya memandangi mereka sebentar, lalu kembali ke tempat duduknya dan mulai bekerja seolah tak ada yang terjadi.
Namun Rani belum selesai. Ia melirik Winda, memberi isyarat halus. Tanpa suara, Winda mengambil segelas air di mejanya—rencana kotor itu sederhana berpura-pura terpeleset dan menyiram Shanaya.
Tangan Winda baru saja terangkat saat pintu utama terbuka.
Langkah tegap dan dentingan sepatu kulit pria menyapu lantai marmer, menghentikan waktu. Semua kepala menoleh serempak.
Sosok Sadewa muncul. Ia tak banyak bicara, hanya berjalan cepat dan berdiri tepat di depan Shanaya, menghadang gelas air yang hampir mengenai Shanaya dan kini kemejanya yang mahal justru basah karena air itu.
“Berani sekali kalian,” suaranya dalam, rendah, dan menggetarkan ruangan lebih dari teriakan mana pun. Tatapannya menusuk tajam ke arah Winda dan Rani.
Winda membeku. Rani pucat. Tak ada yang berani bergerak, bahkan menarik napas pun terasa berisiko.
Sementara itu, Shanaya masih duduk terpaku. Matanya membulat, napasnya tertahan.
“Pak... Dewa...” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar.
Sadewa tak langsung menjawab. Ia perlahan menoleh padanya.
Dan untuk sesaat, dunia seperti ikut diam.
Mata mereka bertemu. Lama. Dalam. Seolah hanya mereka berdua yang tersisa di ruangan itu.
knp update nya Arsen buk bgt y🫢🫢🫢
Sadewa JD anak tiri 🤔