Hail Abizar, laki-laki mapan berusia 31 tahun. Belum menikah dan belum punya pacar. Tapi tiba-tiba saja ada anak yang memanggilnya Papa?
"Papa... papa...!" rengek gadis itu sambil mendongak dengan senyum lebar.
Binar penuh rindu dan bahagia menyeruak dari sorot mata kecilnya. Pria itu menatap ke bawah, terpaku.
Siapa gadis ini? pikirnya panik.
Kenapa dia memanggilku, Papa? Aku bahkan belum menikah... kenapa ada anak kecil manggil aku papa?! apa jangan- jangan dia anak dari wanita itu ....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Memaksa
Evelyn duduk bersandar di ranjang rumah sakit. Selimut menutupi tubuhnya sampai pinggang, dan infus masih tertancap di punggung tangan kiri. Sorot matanya menatap kosong ke jendela, tapi jari-jarinya menggenggam ponsel dengan erat. Sesekali matanya bergerak cepat, seolah memastikan tidak ada yang memperhatikan.
Notifikasi pesan yang baru saja masuk ke ponselnya.
📱"Halo adik kesayanganku, Iam Home. Do you miss me dear?"
Wajah Evelyn langsung berubah pucat. Jantungnya berdebar begitu keras hingga terasa di tenggorokan. Ia menyentuh dada, berusaha menenangkan dirinya, tapi tidak bisa. Nafasnya pendek-pendek. Tangannya gemetar. Dan sebelum otaknya sempat menimbang, bibirnya bergetar pelan.
“Gue harus pulang sekarang," gumam Evelyn gelisah.
Hail masuk dengan sebungkus sup ayam hangat. Ia sengaja membeli itu karena takut Evelyn bsan dengan menu dari rumah sakit, padahal Evelyn tidak mengatakan apapun.
“Aku beliin sup ayam buat kamu, cobain. Mau mam sendiri atau aku suapin. Aku suapin aja ya, biar—”
Mata Evelyn menatap pria berambut blonde itu dengan gugup. “Hail.”
Hail yang menarik bangku agar lebih dekat dengan Evelyn seketika menoleh, saat Evelyn memotong ucapanya.
"Hem ... ya." Hail menatap intens wajah Evelyn yang terihat berbeda.
“Aku mau pulang sekarang," Nada bicaranya tegang. Putus asa. Matanya sendu menatap pria itu dengan gelisah.
Hail menatap Evelyn lama. “Baru semalem kamu dirawat, Eve. Kamu belum bisa jalan jauh, ke kamar mandi aja kamu masih butuh bantuan. Mana boleh pulang cepet, kamu—”
“Tolong, Hail.”
Matanya memohon, nyaris berkaca-kaca. “Aku harus pulang. Sekarang.”
Itu pertama kalinya Evelyn menunjukkan wajah segelisah itu. Bukan karena sakit. Tapi... karena takut. Hail menghela napas. Ia tidak bisa berkata ‘tidak’. Bukan ke Evelyn, bukan dengan tatapan seperti itu.
"Kenapa?"
Evelyn memalingkan wajah menghindari tatapan Hail. Pria itu berdiri menakup lembut wajah Evelyn dengan kedua tangan, memaksa untuk menghadap ke arahnya.
"Lihat aku Eve. Kamu bisa pulang dari sini kalau kamu kasih aku alasan yang jelas!" tegas Hail tapi masih dengan nada lembut.
Dia mungkin tahu alasan Evelyn bersikeras untuk pulang. Semua ini pasti ada berhubungan dengan wanita yang Cakra katakan di pesan tadi. Tapi Hail ingin Evelyn mengatakannya sendiri.
Wanita itu tidak menjawab, hanya menatap Hail dalam dengan mata sendunya. Tubuh Hail menegang, saat tangan Evelyn tiba-tiba melingkar di perutnya, menenggelamkan wajah cantik nan pucat itu dalam dadanya, seolah mencari tempat berlindung dari dunia yang sedang tidak baik. Atau memang dunia Evelyn tidak pernah baik. Tak ada kata lagi, hanya pelukan yang semakin erat dan usapan pelan penuh paham di punggung Evelyn.
Tangan Evelyn akhirnya merenggang pelan meski enggan, Hail juga menarik sedikit tubuhnya agar bisa melihat wajah sang kekasih.
"Udah?"
Evelyn mengangguk.
"Mau pelukan lagi?"
Evelyn menggeleng, tapi Hail memeluknya singkat dan erat dan mencium kening wanitanya setelah melepaskan pelukan.
"Aku urus administrasi buat kamu dulu ya." Hail berjalan keluar tanpa mengatakan apapun lagi.
Evelyn tersenyum tipis, melihat punggung pria kesayanganya yang hilang dibalik pintu. Entah perbuatan baik apa yang sudah ia perbuat dikehidupan sebelumnya, sampai Tuhan mempertemukan dia dengan orang sebaik Hail.
Tak berapa lama Hail kembali, dengan beberapa berkas di tangannya. Bukan hanya bukti administrasi, tapi juga surat yang menyatakan bahwa rumah sakit tidak bertanggung jawab jika terjadi sesuatu pada pasien, karena keadaan Evelyn memang belum pulih sepenuhnya. Bahkan seharusnya Evelyn masih harus istirahat total dan menjaga makanan yang dikonsumsi selama dua minggu setelah pulang dari rumah sakit.
"Ayo." Hail melangkah mendekat brankar, setelah mengemas barang-barang Evelyn yang tidak seberapa.
Evelyn menatap Hail, lalu menunduk diam. "Aku mau ganti baju dulu."
Mata Hail melebar, dia terlalu buru-buru, pikirannya penuh. Sampai ia melupakan hal terpenting, Evelyn. Suter bahkan belum datang untuk melepaskan infus dan membantunya berganti pakaian. Hail melangkah kearah sofa, membuka kembali tas yang berisi barang-barang wanitanya. Mengambil dress warna cream dengan motif bunga-bunga kecil yang ia belikan. Langkah ringan Hail membawanya kembali ke ranjang Evelyn. Ia meletakkan dress yang ia bawa di pangkuannya.
"Aku pangil suster buat bantu kamu." Evelyn mengangguk.
Setelah Hail keluar, dua orang suster masuk. Membantu Evelyn melepaskan selang infus, juga membantunya untuk berganti baju.
Beberapa saat kemudian, semua pun selesai dan kini keduanya sudah berada dalam mobil milik Hail. Mesin mobil menderu pelan. Udara siang cukup panas, tapi dalam mobil tetap dingin. Evelyn duduk diam di kursi penumpang, tangannya mencengkeram sabuk pengaman seolah itu satu-satunya hal yang bisa menahannya dari runtuh, ada rasa kecewa dan amarah yang menggantung dalam dirinya. Mata wanita itu menatap lurus ke depan, tapi sesekali berkedip cepat, seperti menahan air mata.
Hail melirik sekilas.
“Eve…”
Evelyn tidak menjawab.
“Kamu kenapa?”
Masih diam. Nafasnya sedikit tercekat, jari-jarinya kini menggenggam ponsel erat-erat, dan lututnya bergoyang tanpa sadar. Gelisah. Sangat gelisah.
Hail menggigit bibir bawahnya, tidak menekan, hanya mengamati.
“Kamu bisa berbagi semua denganku. Ada yang menganggu pikiran kamu?”
Evelyn menoleh cepat. “Enggak.”
'Enggak sekarang Hail, aku belum siap.'
Suara itu terlalu cepat. Terlalu defensif. Menyiratkan penyangkalan untuk menutupi sesuatu.
Tentu Hail tidak percaya begitu saja, tapi ia tidak menekan atau memaksa Evelyn untuk bercerita. Hanya mengangguk kecil dan kembali fokus ke jalan, meskipun hatinya mendidih oleh rasa curiga dan... khawatir. Dia hanya diam, bertindak dalam tenang, memberi untuk ruang Evelyn. Sampai wanita itu siap bercerita dengan sendirinya.
Butuh waktu tiga puluh menit sampai akhirnya, mobil berhenti di depan rumah Evelyn. Evelyn langsung membuka pintu sebelum Hail sempat mematikkan mesin. Ia berdiri, sedikit goyah, tapi tetap memaksa melangkah cepat. Hail dengan cepat menyusu langkah Evelyn yang masih limbung
“Evelyn, aku bantu—" Hail memegang lengan Evelyn yang hampir jatuh.
“Enggak usah ikut masuk.” Pelan Evelyn melepaskan tangan kekar Hail dari lengannya.
Hail terdiam. Evelyn berdiri di depan pintu rumahnya, tubuhnya membelakangi pria itu. Bahunya naik turun, seperti sedang mencoba menahan panik. Langkah lebar Hail menggema mendekat dengan tergesa, dia khawatir melihat bahu wanitanya yang gemetar.
“Please, Hail. Jangan ikut masuk. Aku cuma... ada sesuatu yang harus aku lakukan sendiri.” Tangan pucat wanita itu meremas udara kosong dalam genggamannya, satu tangan mencengkram kuat handel pintu menahan kaki yang masih gemetar lemah.
langkah Hail terhenti, tapi dia tidak ingin pergi.
“Aku nunggu di mobil—”
“Enggak!”
Suara itu pecah. Dan setelahnya, senyap.
Evelyn menunduk, lalu pelan-pelan menoleh. Matanya berkaca, tapi ia tersenyum paksa.
“Kalau kamu sayang aku, tapi tolong pergi dulu. Tolong percaya sama aku."
Hail ingin menolak. Ingin memeluk wanita itu dan bilang bahwa ia tidak perlu takut apa pun, bukan saat ia ada di sini. Tapi tatapan Evelyn—itu bukan sekadar takut. Itu rasa bersalah yang dalam. Seolah-olah ia menyembunyikan sesuatu yang akan menyakiti Hail.
Dengan berat hati, Hail mundur satu langkah, lalu satu lagi. “Nant malam aku ke sini lagi ya.”
Evelyn tidak menjawab. Ia hanya menunggu sampai suara mobil menjauh, lalu masuk ke dalam rumah. Begitu pintu tertutup...Nafasnya pecah. Ia bersandar ke pada daun pintu, menutupi mulutnya dengan tangan gemetar.
"Halo .. adik kecil."
yuk bisa bersihkan nama ayahnya eve..