Narendra (35) menikah untuk membersihkan nama. Adinda (21) menikah untuk memenuhi kewajiban. Tidak ada yang berencana jatuh cinta.
Dinda tahu pernikahannya dengan Rendra hanya transaksi. Sebuah kesepakatan untuk menyelamatkan reputasi pria konglomerat yang rusak itu dan melunasi hutang budi keluarganya. Rendra adalah pria problematik dengan citra buruk. Dinda adalah boneka yang dipoles untuk pencitraan.
Tapi di balik pintu tertutup, di antara kemewahan yang membius dan keintiman yang memabukkan, batas antara kepentingan dan kedekatan mulai kabur. Dinda perlahan tersesat dalam permainan kuasa Rendra. Menemukan kelembutan di sela sisi kejamnya, dan merasakan sesuatu yang berbahaya dan mulai tumbuh : 'cinta'.
Ketika rahasia masa lalu yang kelam dan kontrak pernikahan yang menghianati terungkap, Dinda harus memilih. Tetap bertahan dalam pelukan pria yang mencintainya dengan cara yang rusak, atau menyelamatkan diri dari bayang-bayang keluarga yang beracun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PrettyDucki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perayaan
Seperti biasa, Dinda terbangun dengan bagian tempat tidur Rendra yang sudah kosong. Dia pasti di gym. Dinda meraih jubah tidurnya kemudian naik ke lantai dua.
Hampir setahun mereka menikah, tapi Dinda tidak pernah benar-benar tahu apa yang dilakukan Rendra di pagi buta seperti ini.
Pria itu sedang berlari di treadmill saat Dinda tiba. Ponsel bersandar di monitor treadmill, layar menyala menampilkan pria berambut pirang.
"Morning, Joe. Ready for the board meeting later?" Suaranya terdengar santai meski dadanya naik-turun cepat.
Dinda mendekat perlahan. Langkahnya nyaris tak bersuara di atas lantai karet, tapi Rendra langsung menyadari kehadirannya dan menoleh.
"Kenapa?" Tanyanya tanpa suara sementara orang di seberang terus bicara.
Dinda mengangkat tangan, mengisyaratkan agar Rendra meneruskan percakapannya. Lalu ia duduk di kursi lat pulldown, melipat kaki sambil menatap suaminya dengan senyum di bibir.
Rendra yang sedang fokus adalah pemandangan favorit Dinda. Garis rahang yang tegas, otot lengan yang mengencang setiap kali mengayun saat berlari. Dia terlihat maskulin dan... sexy.
Dinda nyaris tertawa pada pikirannya sendiri. Ternyata hamil tidak membuatnya lebih bijak.
Rendra bicara di telepon beberapa menit hingga akhirnya ia menutup panggilan. Lalu ia menoleh pada Dinda sepenuhnya.
"Kenapa?" Tanyanya lagi. Masih berlari di mesin treadmill.
"Cuma penasaran, kamu biasa ngapain sepagi ini." Jawab Dinda sambil mengayunkan kakinya seperti anak kecil.
"Olahraga." Jawabnya. Ia menoleh lagi, kali ini tatapannya lebih lama, "Kamu juga butuh olahraga, sayang. Dr. Livia bilang gitu kemarin. Mau panggil pelatih yoga ke sini?"
"Nanti, masih aku pikirin. Mungkin aku akan dateng langsung ke tempatnya."
"Oke, itu juga bagus." Rendra mengangguk.
Dinda masih menatapnya saat Rendra bicara lagi, "Oh ya, untuk lokasi birthday dinner, kamu keberatan kalau aku yang pilih tempatnya? Milla tau tempat fine dining bagus. Dia bisa reservasi untuk kita."
"Fine dinning?"
"Ya, kamu punya ide lain?"
"Enggak. Pilih aja yang kamu anggap bagus. Adik-adik sepupuku pasti suka diajak fine dining." Dinda tersenyum geli membayangkan ekspresi senang Airin dan Noora saat mereka tau akan diajak fancy dinner.
"Kita ajak Papa juga kan?" Tanya Dinda.
Sesungguhnya ia masih menyimpan kesal pada ayah mertuanya karena masalah kontrak. Tapi bagaimanapun ia adalah satu-satunya keluarga Rendra. Ayah dari suami yang ia cintai, dan kakek dari calon bayinya.
"Nggak usah. Nanti orang-orang canggung kalo ada Papa." Katanya enggan.
"Papa keluarga kita juga, Mas."
"Lagian belum tentu dia bisa ikut."
Napasnya Rendra mulai pendek-pendek karena lelah. Kemudian ia turunkan kecepatan treadmill jadi mode berjalan.
"Kalo Papa bisa, nggak masalah kan?"
"Terserah, ini kan acara kamu." Jawab Rendra akhirnya.
"Oke." Dinda tersenyum.
"Kamu yang telepon ya, aku nggak mau."
Dinda mendesah pelan. Tidak percaya pada dinginnya hubungan ayah dan anak itu.
"Oh iya, akan ada Mas Bima nanti. Pastiin kamu nggak buat masalah baru sama dia. Dia keluargaku juga." Dinda memperingatkan.
"Oke." Rendra mengangkat bahu.
Singkat. Datar. Seperti biasa.
Dinda baru melangkah keluar dari pintu saat Rendra memulai percakapan lain di telepon.
"Ya, pagi. Saya baru call dengan Joe Carter, kita dapat lampu hijau asal ROI-nya jelas. Kirim revisi budget ke meja saya ...... Ya. Sebelum jam sepuluh."
Dinda menghela napas berat. Bagaimana bisa Rendra hidup dalam ritme seperti itu setiap hari? Matahari bahkan belum terbit sempurna, tapi dia sudah sangat sibuk.
...***...
"Jam berapa mulai acaranya?" Tanya Bima pada Rasyid, ayahnya.
Saat ini ia sedang mengemudi mobil menuju restoran tempat mereka akan merayakan ulang tahun Dinda.
"Seno bilang jam setengah 8 sampai sana. Tempatnya masih jauh, Bim?"
"Enggak. Sepuluh kilo lagi. Bukan daerah macet kok."
"Apa tadi namanya?" Tanya Rasyid.
"Botanic Hall."
"Tempat mewah kayaknya. Biasanya kan kita saung-saungan aja. Selera istri konglomerat memang beda ya.."
Ekspresi Bima langsung berubah kesal. "Dinda masih sama kayak dulu kok." Jawabnya defensif.
"Perubahan nggak buruk, Bim. Kita memang harus bisa beradaptasi kalau mau bertahan di habitat baru."
Bima tidak menjawab. Jengkel mendengar ayahnya bicara seperti itu tentang Dinda.
Tempat itu memang semewah namanya. Restoran fine dinning berkonsep taman indoor luas yang asri di tengah kota. Begitu masuk mereka disambut dinding kaca tinggi bercahaya lampu kristal. Udara di sana sejuk di tengah pohon-pohon kecil, tanaman merambat, juga berbagai macam bunga.
Ketika mereka sampai, sudah ada beberapa orang keluarga di sana. Dinda dan Rendra di tengah. Seno dan Rani mengapit mereka. Ada beberapa Om-Tante dan sepupu yang sibuk masing-masing.
Juga ada Brata. Mengejutkan. Mereka akan makan malam dengan Presiden RI. Mata Bima segera menangkap beberapa Paspampres yang berdiri tersembunyi di sudut-sudut ruangan. Mereka berpakaian rapi tapi tidak mencolok.
"Eh... ada Bratasena, Bim!" Faisal menyikut lengan Bima.
"Iya Yah, dia kan mertuanya." Jawab Bima pura-pura tidak terkejut.
Seno yang menyadari kehadiran mereka langsung melambai. Mereka mendekat.
"Pak Brata, kenalkan ini Rasyid, adik ipar kami. Dia Dekan di FEB UI. Ini anaknya, Bima. Dia dosen FISIP, di UI juga."
"Wah hebat! Ayah dan anak akademisi ya? Ayo, silahkan duduk." Brata mempersilahkan.
Mereka secara mengejutkan berbaur. Makan sambil mengobrol dan bercanda sesekali. Brata orang yang cukup santai, atau mungkin ia berusaha terlihat begitu. Auranya cukup kuat sebenarnya, tapi entah bagaimana dia bisa membuat semua orang nyaman di sana.
Tanpa sadar, Bima terus melirik ke arah Dinda. Dia terlihat lebih tenang dan ceria dibanding saat terakhir kali mereka bertemu. Di sampingnya, Rendra duduk dengan penuh perhatian. Mengelap sudut bibirnya, membelai rambutnya.
Dan Bima bisa merasakan nyeri itu datang lagi. Pelan tapi tajam.
Sampai tiba-tiba Seno berdiri, semua percakapan terhenti.
"Malam ini kita kumpul di sini untuk silaturahmi sekalian merayakan ulang tahun Dinda yang ke 22 tahun. Mas Rendra minta saya menyampaikan rasa terima kasihnya untuk keluarga yang sudah hadir." Ia berhenti sebentar, kemudian melanjutkan, "Saya juga mau kasih kabar bahagia. Kami akan segera punya cucu." Lanjutnya.
Dinda hamil?
Bima merasa dadanya sesak. Ia tau Dinda pasti akan jadi ibu yang hebat. Bima tahu betul betapa Dinda menyukai anak-anak. Ia masih ingat bagaimana mata Dinda selalu berbinar setiap kali melihat seorang ibu menggendong bayi, dan bagaimana Dinda selalu berkata, “Suatu hari aku juga mau punya bayi.”
Hari itu ternyata datang lebih cepat dari yang Bima bayangkan.
Semua orang bersorak memberi selamat.
Lalu Seno melanjutkan dengan suara yang sedikit bergetar. Kali ini matanya menatap pada Rendra.
"Untuk Mas Rendra, saya titip Dinda. Dia kadang cengeng dan keras kepala, tapi hatinya baik, jadi jangan terlalu keras menghadapinya."
Lalu ia juga menoleh pada Dinda. "Untuk Dinda, kamu harus patuh apa kata suamimu. Sekarang peran Ayah sudah digantikan oleh olehnya."
Dinda menahan air mata. Rendra merangkul bahunya, mengusap pelan.
Kemudian Brata berdiri. Ruangan seperti mengecil saat ia bicara.
"Sebelumnya, saya mau mengucapkan selamat ulang tahun untuk Dinda. Dan Seno tidak perlu khawatir. Rendra tidak pernah sepeduli ini pada siapapun. Saya yakin dia akan jaga Dinda sebaik yang dia bisa."
Kemudian ia menoleh pada Dinda, "Saya juga berterima kasih pada Dinda. Rendra jadi lebih manusiawi setelah mereka menikah. Sesuatu yang tidak pernah bisa saya ajarkan karena saya juga tidak punya sisi itu." Tawa kecil lolos dari bibirnya.
Beberapa orang tersenyum canggung, tidak yakin harus bereaksi bagaimana.
"Anak ini seperti gunung es dulu, tapi Dinda berhasil mengubahnya." Brata berhenti, menatap Seno, "Dan jika ada kesalahan di masa lalu, saya yakin itu karena khilaf. Dengan tulus hati saya minta maaf pada keluarga Seno. Terutama pada Dinda."
Ada jeda panjang. Tidak ada yang tau kesalahan apa yang dimaksud tapi semua tetap bertepuk tangan, seolah baru mendengar pidato kenegaraan.
Tiba-tiba Airin datang membawa kue tart, diiringi Noora yang merekam sambil menyanyikan lagu selamat ulang tahun. Mereka semua ikut bernyanyi.
"Sini tiup lilin, Dinda." Tutik memanggil.
Untuk beberapa detik, Bima terpukau. Dinda sangat cantik malam ini. Dress merah muda, rambut panjang yang tergerai indah. Dia memang cocok jadi istri pria kaya.
"Mas Rendra temenin dong." Tutik menarik Rendra mendekat.
"Make a wish, Mbak Dinda." Kata Noora.
"Dalem hati aja ya." Jawab Dinda pelan.
Setelah berdoa Dinda meniup lilinnya.
Kemudian Mario mulai bernyanyi. "Potong kuenya, potong kuenya, .... "
Dan yang lain langsung mengikuti. Suasana menjadi riuh seketika.
Rani membawa pisau dan piring, kemudian Dinda memotong kue diiringi tepuk tangan.
"Potongan pertama untuk siapa?" Tanya Rasyid.
"Ibu." Jawab Dinda.
Dinda menyuapi Rani. Kemudian Rani mencium kedua pipinya.
"Kedua?" Tanya Faisal.
"Ayah."
Dinda menyuapi Seno, kemudian Seno pun mencium kedua pipi Dinda.
"Ketiga.. Ketiga..." Kali ini Johan ikut bersuara.
"Papa?" Dinda menoleh pada Brata.
"Lanjut aja. Papa nggak makan gula." Jawab Brata sambil memberi isyarat tangan.
"Jadi siapa lagi?" Tutik tersenyum jahil.
"Nah... ini yang ditunggu-tunggu." Goda Rasyid.
"Mas Rendra." Jawabnya Dinda pelan, pipinya bersemu.
"Mas Rendra sini Mas." Tutik menarik Rendra mendekat.
Dinda menyuapinya, lalu Rendra mengecup keningnya. Kemudian bibirnya.
Semua bersorak. Wajah Dinda merah padam. Ia terlihat agak terkejut, tapi tidak menolak.
"Airin, Noora, dan Mario, ini cuma boleh kalau kalian sudah menikah ya." Desti, mengingatkan, disambut tawa geli yang lainnya.
"Kalo Bima kayaknya malah harus dimotivasi. Masa udah 28 tahun belom pernah kenalin pacar ke kita." Timpal Tutik.
Semua tertawa lebih keras. Bima hanya menggeleng pelan sambil tersenyum.
----
Mereka sedang makan hidangan penutup saat Bima pergi ke toilet untuk buang air kecil. Saat keluar, ia melihat Rendra sedang mencuci tangan di wastafel.
Rendra menoleh, tatapan mereka bertemu.
Kemudian pria itu mengeringkan tangannya dan berkata pelan. "Sorry, kemarin gue kalut sampe nggak bisa kontrol emosi. Nggak seharusnya gue lampiasin ke lo."
"Nggak masalah. Gue juga salah karena kepancing dan ngebales. Harusnya gue bisa lebih berkepala dingin." Jawab Bima, ia sambil mencuci tangannya.
Kemudian ia melanjutkan, "Tapi satu hal yang gue minta. Tolong jaga Dinda, jangan bikin dia sedih. Gue sayang dia, dia adik yang gue jaga dari kecil."
"Jangan pakai drama adik-kakak lagi di depan gue. I can read you." Rendra mengangkat sebelah alisnya. "Tapi nggak penting, gue nggak peduli. Dia milih gue anyway." Kali ini tangannya menyilang di depan dada.
"Dan nggak lo minta-pun, dia pasti gue jaga. Dinda istri gue, dia lebih penting dari apapun yang gue punya." Lanjutnya.
Bima tidak menjawab lagi. Dia hanya menghela napas pelan.
Si brengsek ini memang arogan dan menjengkelkan. Tapi setidaknya dia mencintai Dinda. Bima akan membiarkannya selama Dinda bahagia dan tidak disakiti.
...***...
dalam hati maksudnya☺️☺️