Kecelakaan yang menimpa kedua orang tua Mala, membuat gadis itu menjadi rebutan para saudara yang ingin menjadi orang tua asuhnya. Apa lagi yang mereka incar selain harta Pak Subagja? Salah satunya Erina, saudara dari ayahnya yang akhirnya berhasil menjadi orang tua asuh gadis itu. Dibalik sikap lembutnya, Erina tentu punya rencana jahat untuk menguasai seluruh harta peninggalan orang tua Mala. Namun keputusannya untuk membawa Mala bersamanya adalah kesalahan besar. Dan pada akhirnya, ia sendiri yang kehilangan harta paling berharga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TERGILA GILA
Langit kelabu menggantung di atas gedung rumah sakit khusus tahanan. Hujan turun gerimis, membasahi halaman kecil berpagar tinggi yang dijaga dua petugas. Di salah satu ruangan dengan dinding putih pucat dan lampu yang temaram, Erina terbaring di ranjang rumah sakit. Wajahnya pucat, rambutnya lepek oleh keringat dingin, dan tubuhnya lemas.
Selang infus tertancap di punggung tangannya, menyalurkan cairan untuk mengatasi dehidrasi parah akibat mual muntah yang ia alami selama dua hari terakhir. Nafasnya masih terengah, dan suara perutnya terus bergemuruh oleh rasa tak nyaman yang datang silih berganti.
Kali ini, ia tidak sedang bersandiwara. Ia benar-benar sakit. Suasana tak enak di penjara, makanannya yang tidak berselera juga tempat tidur yang tidak nyaman, membuat kondisinya yang sedang hamil itu pun akhirnya menurun.
Namun, meski tubuhnya lemah, amarah di matanya masih menyala-nyala.
"Dasar keponakan biadab...!" gumamnya pelan, suaranya parau dan penuh kebencian. "Sudah merebut suamiku, sekarang malah menjebloskanku ke penjara."
Ia memiringkan tubuhnya perlahan, mengerang karena pusing yang masih belum reda. Tatapannya kosong menatap langit-langit ruangan yang dingin dan asing. Tak ada keluarga, tak ada teman, tak ada yang menjenguk.
Dan Yudha...
Ia menarik napas dalam-dalam, wajahnya berubah cemas.
"Yudha... kamu di mana?" bisiknya nyaris tak terdengar. "Tolong bebasin aku."
Tapi ia tahu, sedalam apa pun ia mengharap, Yudha tak akan datang. Pria itu buron. Jika ia muncul sekarang, berarti menyerahkan diri ke polisi. Tidak mungkin Yudha sebodoh itu. Dan jika Yudha memang cerdas, maka ia juga cukup pintar untuk melarikan diri dan meninggalkan Erina sendirian.
Tangannya mengusap pelan perutnya yang masih datar. "Anak ini... anak siapa sebenarnya?" lirihnya. "Anak Tama? Atau anak Yudha?"
Ia menggigit bibir bawahnya. Tak ada kepastian.
Semua serba buram.
Namun satu hal yang pasti: ia tak ingin membesarkan anak ini di balik jeruji besi. Bagaimana pun caranya, ia harus bebas!
Erina berusaha duduk, tubuhnya gemetar. Rasa mual kembali menyerang, membuatnya harus menelan ludah berulang kali untuk menahannya. Namun ia tetap melawan. Karena satu-satunya hal yang terus ia ulang dalam kepalanya adalah: aku harus keluar dari sini.
"Aku gak bersalah... semua ini salah Kemala!"
geramnya, kini lebih keras, seolah ingin meyakinkan dirinya sendiri. "Kalau saja dia tidak ikut campur, semua akan baik-baik saja! Aku yang lebih dulu sama Tama! Aku yang seharusnya jadi istrinya! Tapi dia... dia datang dan
Merebut semuanya dariku! Aku hanya ingin sebagian hartanya, tapi dia merebut semuanya. Wanita licik!!"
Erina meremas seprai putih dengan erat, matanya menatap nanar ke luar jendela rumah sakit yang dipenuhi jeruji. Bayangan Kemala menghantui pikirannya. Senyum tenang wanita itu terasa seperti ejekan paling menyakitkan.
"Bahkan sekarang pun dia masih menang. Lihat aku...
," katanya pada diri sendiri, suaranya mulai bergetar.
"Lihat aku... aku terkurung, sendirian, dan hamil tanpa tahu siapa ayah dari anakku..."
Tangis akhirnya pecah. Air mata mengalir pelan dari sudut matanya, namun bukan karena penyesalan-melainkan karena dendam.
Ia bukan menyesali kejahatannya. Ia menyesali bahwa dirinya kalah. Bahwa drama yang selama ini ia mainkan tidak mampu membungkam logika Kemala atau menjungkirbalikkan hati Tama. Ia masih menyalahkan semua orang, kecuali dirinya sendiri.
Tak lama kemudian, seorang petugas medis masuk bersama penjaga. Mereka memeriksa tekanan darahnya, mengecek infus, dan bertanya apakah Erina ingin makan.
Ia menggeleng pelan. Perutnya masih belum bisa menerima apapun selain amarah.
"Kalau kondisinya stabil malam ini, besok dibawa kembali ke ruang tahanan," kata perawat itu pada petugas penjaga. "Tapi tetap harus diawasi ketat, karena ini termasuk tahanan prioritas."
Erina mencibir dalam hati. Prioritas? Aku seperti
Binatang sirkus yang diawasi terus-menerus...
Saat semua kembali tenang dan ruangan hening, Erina kembali memandangi jendela.
"Tenang, Rin..." bisiknya pada dirinya sendiri. "Kamu kuat. Kamu akan keluar dari sini. Kamu hanya perlu waktu... dan kesempatan."
Ia tersenyum miris, mengusap perutnya sekali lagi.
"Anak ini, anak ini bisa jadi senjata. Tama harus kembali padaku. Dan Kemala... Dia akan aku buat menderita lebih dari ini."
Dan dalam diam, Erina bersumpah:
Jika ia berhasil keluar... maka satu nama akan jadi sasarannya. Kemala.
Dulu dia hanya berniat untuk membuat Indira celaka tanpa menghabisinya, namun ide konyol Yudha malah membuat Subagja pun kena imbasnya dan tewas bersama istrinya.
Tapi kini, Erina bersumpah untuk membalas pengkhianatan dari keponakannya sendiri. Ia akan menyingkirkan Kemala, bagaimana pun caranya!
Sementara itu, sore di kota tampak biasa bagi orang-orang yang lalu-lalang di jalanan. Tapi bagi Yudha, setiap detik adalah risiko. Dengan kacamata hitam dan masker yang menutupi wajahnya, ia duduk di kursi penumpang mobil hitam berlapis kaca film tebal, menyelusup di antara lalu lintas kota. Wajahnya nyaris tak terlihat, identitasnya disembunyikan dengan sangat rapi.
Di balik kemudi, Angel tampak santai, menyetir dengan satu tangan. Penampilannya seperti wanita eksekutif kelas atas tapi siapa pun yang mengenalnya tahu, di balik senyum liciknya tersembunyi darah dan racun.
"Kita akan ke markas rahasia," ucap Angel dingin, tanpa menoleh. "Sementara tempat itu belum dicium polisi, aku harus rapatkan barisan. Semua jalur distribusi kita terganggu sejak barang-barang itu disita."
Yudha hanya mengangguk pelan. Pikirannya tidak fokus. Sejak pagi tadi, kabar tentang Erina membuat dadanya sesak. Wanita itu kini dirawat di rumah sakit khusus tahanan. Hamil. Dehidrasi. Lemah.
Dan ia-lelaki pengecut itu-tak bisa berbuat apa-apa.
Di satu sisi, ia adalah pria buron. Di sisi lain, ia adalah budak. Budak dari wanita bernama Angel yang mampu membuat nyawanya berada di ujung kuku.
Rencana Angel yang ingin menghancurkan Erina membuat Yudha harus terjebak dalam cinta buta. Ia benar-benar jatuh hati pada Erina. Wanita itu selalu memperlakukannya bagai raja, beda dengan Angel yang memperlakukannya bagai budak.
Rasa itu terlalu dalam untuk disangkal. Ia tak bisa berhenti memikirkan Erina. Tentang wajah pucatnya. Tentang caranya tersenyum, menangis, tertawa, dan menggenggam tangan Yudha seperti dia satu-satunya orang yang bisa dipercaya.
Dan satu hal yang membuat Yudha gelisah. Erina hamil, dan bisa jadi anak itu adalah darah dagingnya.
'Dia percaya padaku... dan aku malah menyeretnya ke dalam lumpur. Entah masalah apa Angel dan Erina di masalalu, namun aku tidak bisa membohongi diri ini bahwa aku tidak bisa hidup tanpa Erina."
Mobil mereka berbelok ke sebuah gedung tua empat lantai yang tampak mati dari luar. Tak ada papan nama. Tak ada kehidupan. Tapi di dalamnya, puluhan orang bersenjata dan sistem keamanan tersembunyi bekerja dengan disiplin. Ini adalah markas rahasia Angel yang belum diketahui pihak berwenang.
Setelah melewati tiga lapisan keamanan dan pintu logam, mereka masuk ke dalam ruangan utama. Ruangan itu dipenuhi oleh layar monitor, catatan distribusi, serta anak buah Angel yang sedang menunggu.
Angel langsung mengambil posisi di kursi pemimpin. Wajahnya tenang, suaranya tegas. Ia mulai memberikan perintah tentang strategi distribusi baru, sistem pengamanan, dan penempatan uang hasil transaksi.
Yudha hanya diam, duduk di pojok ruangan dengan kepala tertunduk. Seolah hanya tubuhnya yang di sana, sementara pikirannya melayang ke tempat lain.
Selesai meeting, Angel berjalan ke arahnya. "Kamu kenapa diam aja? Biasanya kamu yang paling ribut soal logistik."
Yudha menoleh perlahan. Senyum tipis ia bentuk dengan susah payah. "Maaf. Aku kurang enak badan."
Angel menyipitkan mata, menatapnya tajam. Tapi kemudian ia tertawa kecil, meraih dagu Yudha dan mengangkatnya. "Kamu jangan bikin aku curiga, sayang.
Kau tahu kan, aku paling benci kalau anak buahku menyembunyikan sesuatu."
Yudha menahan desa-han. "Aku gak nyembunyiin apa-apa. Tapi... aku mau minta izin."
Angel menaikkan alis. "Izin? Ke mana?"
"Aku mau tetap di markas ini," ucap Yudha. Ia berusaha terdengar tenang. "Aku mau coba bicara dengan Vino. Anak itu keras kepala. Tapi kalau aku bisa bikin dia ngomong, mungkin kita bisa pakai dia buat alibi atau umpan untuk pengalihan. Polisi belum tahu hubungan kita."
Angel menyilangkan tangan. "Vino?" gumamnya. "Anak itu... merepotkan. Bukankah dia yang membocorkan semua ini?"
"Belum terbukti, Angel. Dia adik aku. Dia masih punya loyalitas. Kalau aku tinggal di sini, aku bisa urus dia, bisa pantau pergerakan aparat juga. Dan aku yakin, Vino bisa diajak kerjasama," Yudha menambahkan cepat. "Kalau aku ikut ke pulau, siapa yang jaga markas ini? Kalau tempat ini jatuh ke tangan polisi, semua kontak kita di kota bisa runtuh."
Angel menimbang-nimbang. Ia berjalan memutar, mengelilingi Yudha seakan sedang mencium aroma pengkhianatan.
Tapi Yudha lihai. Tatapannya jujur, nadanya meyakinkan. Ia bukan hanya kaki tangan Angel-ia telah belajar bersandiwara sejak lama.
"Baiklah," ucap Angel akhirnya. "Tapi kau harus lapor setiap jam. Jangan bikin aku menyesal, Honey. Karena
Kalau aku curiga sedikit saja, kamu tahu apa yang bisa kulakukan."
Yudha menunduk. "Aku tahu. Kau ratunya, Sayang," ucap Yudha dengan senyum penuh kepalsuan.
Angel mengusap pipinya dengan jemarinya yang berlapis cat kuku merah darah. "Jangan macam-macam, Yud. Aku sayang kamu... tapi rasa sayangku mudah hilang kalau dikhianati."
Yudha mengangguk, meski hatinya menolak. Cinta?
Sayang? Semua hanya topengmu, Angel.
Malam menelan markas itu dalam sunyi yang mencurigakan. Di luar, para penjaga berjaga-jaga, mata tajam mereka mengawasi setiap pergerakan. Namun di dalam ruangan utama, atmosfernya jauh berbeda-pengap oleh ketegangan yang tak kasat mata.
Angel berdiri di depan jendela besar yang menghadap ke halaman. Siluet tubuhnya disinari lampu temaram dari luar, menciptakan bayangan elegan namun mengancam. Gaun hitam beludrunya membalut tubuh semampainya, menyisakan punggung yang terbuka lebar.
"Yudha," panggilnya, tanpa menoleh.
Yudha, yang semula duduk di sofa panjang dengan segelas kopi yang tak disentuh, segera berdiri. Langkahnya pelan, seolah tahu ke mana arah percakapan ini akan mengalir.
"Kau masih menghindar dariku?" tanya Angel dengan suara rendah, nyaris seperti bisikan angin malam. Ia menoleh perlahan, mata tajamnya mengunci milik Yudha.
"Tidak," jawab Yudha pendek. Ia berdiri tegak, tapi matanya menyiratkan lelah yang tak bisa disembunyikan.
Angel melangkah mendekat. Setiap hentakan sepatunya di lantai terdengar jelas di antara keheningan.
Ia berdiri tepat di depan Yudha, lalu menyentuh dada pria itu, mengelus pelan melalui kemejanya yang sedikit terbuka.
"Kalau begitu, buktikan." Suaranya dalam dan dingin. "Aku butuh kau malam ini."
Yudha menelan ludahnya. Dalam pikirannya, ia ingin menolak. Ingin berkata jujur bahwa tubuh dan hatinya sudah tidak di tempat ini. Tapi ia tahu, satu penolakan dari mulutnya bisa jadi peluru yang meledakkan semuanya.
Angel mendekat, menghapus jarak di antara mereka.
Jemarinya yang dingin menelusuri garis rahang Yudha, lalu turun ke leher. "Kau milikku, Yudha. Jangan pernah lupa itu," ucapnya sembari menatap matanya dalam-dalam.
Dan Yudha pun menyerah. Bukan karena cinta, bukan karena gairah-melainkan karena rasa takut dan strategi. Ia mencium bibir Angel, pelan, penuh kehati-hatian. Angel membalas dengan liar, mendominasi. Ia mendorong Yudha ke sofa, menindih tubuh pria itu dengan penuh kendali.
Malam itu, bukan sekadar tubuh yang saling menyentuh. Tapi permainan kekuasaan. Angel mencintai rasa memiliki. Yudha menyerahkan diri, tapi dalam hatinya, setiap pelukan terasa seperti rantai.
Di tengah desa-han dan gerakan yang menggema di ruang itu, Yudha hanya bisa memejamkan mata dan menenggelamkan pikirannya ke tempat lain. Tempat yang lebih tenang, tempat di mana ia bebas dari semua ini.
Angel tidak menyadari, bahwa pelukan yang ia pikir erat itu hanyalah sandiwara. Dan Yudha, sekali lagi, memainkan peran budak yang sempurna.
Namun dalam batinnya, Yudha bersumpah-ia tidak akan jadi milik Angel selamanya. Akan tiba waktunya, ketika semua permainan ini ia balikkan.
Dan pada saat itu, bukan hanya hatinya yang bebas... tapi semua rahasia Angel akan terbakar bersama cinta palsunya.
Yudha benar-benar bagai seorang budak. Ia harus tunduk. Sekali menolak, maka dipastikan peluru akan bersarang di kepalanya.
"Kau luar biasa. Kau tahu cara memuaskanku," ucap Angel sambil menyeringai. Ia memakai kembali pakaiannya dan pergi dari ruangan itu begitu saja, memperlakukan Yudha seperti seorang gi g o Lo yang tak berharga.
Tak lama, Angel pergi dengan konvoi kecil menuju pelabuhan. Yudha menatap punggung wanita itu hingga menghilang di balik lift bawah tanah.
Baru setelah markas benar-benar tenang, Yudha beranjak dan memakai kembali pakaiannya. Ia berjalan ke salah satu ruang kecil di lantai dua. Di sana, di balik jeruji baja, seorang pemuda terbaring di sudut ruangan.
"Vino," bisik Yudha, mendekat.
Pemuda itu membuka mata. Wajahnya lebam, bibir pecah, dan tubuhnya kurus. Tapi matanya tetap tajam.
Pria itu tersenyum sinis. "Buat apa kau datang, Bang? Mau bunuh aku sekarang? Atau mau pamer karena sudah memuaskan wanita itu? Bau tubuhmu sungguh menjijikan!" ucap Vino, meskipun wajahnya sudah lebam, namun ia tersenyum miring menatap kakaknya itu.
Yudha berjongkok. "Nyawamu diujung tanduk, Vino. Jangan banyak bacot! Aku kemari karena aku peduli. Aku akan keluarkan kamu dari sini. Aku tidak percaya jika kamu yang melakukannya, Vin! Gak mungkin kamu membocorkan rahasia besar kita."
Vino tersenyum miring. "Kau masih bisa bicara seperti itu? Kau sendiri nyaris gak bisa keluar dari neraka ini. Tapi kalau aku bilang memang aku yang membocorkan rahasia ini, bagaimana?"
Yudha menarik napas dalam-dalam. Tatapannya berubah tajam. "Jadi benar... Ka_kamu? Aargghh, siall!!"
Vino menatapnya lama. Senyumnya masih sinis. Tak ada rasa takut di wajahnya. "Bunuh aku, Bang. Sekarang!"
Yudha menggeleng. Meskipun geram, marah dan kecewa, namun ia tak mungkin melakukan hal itu.
Melihat adiknya babak belur saja rasanya hatinya sakit.
Biar bagaimanapun, vino adalah adik kandungnya. Orang tuanya menitipkan vino saat mereka menghembuskan nafas terakhir.
"Ke-kenapa kau melakukan ini? Kenapa kau berkhianat? Aku membawamu kemana-mana bahkan mengajakmu untuk mencari uang dengan cara cepat,
Bukan untuk membuatmu menjadi penghianat hingga nyawamu di ujung tanduk! Apa kau sadar dengan apa yang telah kau lakukan, Vino!"
Yudha mengatakannya pelan, khawatir terdengar oleh pengawal. Gawat jika mereka sampai mendengar obrolan ini.
"Cinta. Cinta yang membuat aku begini. Aku tergila-gila pada Kemala, seperti halnya kau tergila-gila pada Erina. Bedanya aku ingin melindunginya, bukan malah merusaknya seperti yang kau lakukan!" ucap Vino pada akhirnya. Ia tak menyesal meskipun harus mati di tangan anak-anak buah Angel bahkan di tangan kakaknya sendiri, yang penting Kemala saat ini aman.
Yudha bangkit, kemudian menyugar rambutnya dengan kasar. Ia mengusap wajahnya, frustasi pada sang adik yang menjadi lemah hanya karena cinta.
"Aargghh... Perse tan dengan cinta!!!
***