Mereka melihatnya sebagai Upik Abu. Mereka salah besar. Regina adalah CEO muda yang menyimpan rahasia besar. Di rumah mertua, ia menghadapi musuh yang tak terlihat dan cinta yang diuji. Mampukah ia mengungkap kebenaran sebelum terlambat? Ataukan ia akan kehilangan segalanya? Kisah tentang cinta, keluarga, dan rahasia yang bisa mengubah takdir seseorang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ceriwis07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukan Upik Abu Eps 28
"Sayang," Bima membangunkan istrinya, menduselkan janggutnya yang kini sudah berbentuk brengos. Entah mengapa akhir-akhir ini Regina melarangnya bercukur.
Padahal, biasanya Regina sendiri yang akan mencukur brengos Bima. Regina mengerang, terkekeh geli mendapat perlakuan dari suaminya.
"Geli, ahh..." erang Regina membuat mata Bima membulat sempurna. Suara itu memancing sesuatu di bawah sana, padahal baru semalam mereka menghabiskan sepanjang malam bersama.
Setelah memutuskan untuk kembali ke London usai pemakaman sang ibu di panti, mereka langsung terbang menggunakan jet pribadi milik Bima. Ya, Bima kini menjelma menjadi sosok pria sukses.
Perusahaan yang ia kelola seolah menjadi kerajaan besar, mencapai nomor tiga besar di antara perusahaan raksasa. Nomor dua tentu masih perusahaan milik Regina, karena perusahaannya sudah lebih dulu berdiri.
Meski perusahaan Bima sudah sampai di titik ini, bukan hal mudah untuk mencapai semuanya. Tentu saja, Bima masih memerlukan bantuan istrinya yang notabene adalah perintis sejati.
Regina tak segan memulai usahanya dari nol, hampir semua perusahaannya dibangun dari nol, hingga mencapai nomor dua terbesar di kota London.
Regina selalu menyemangati suaminya, agar apa yang mereka cita-citakan kelak terwujud. Tidak banyak yang mereka minta, hanya umur panjang, sehat selalu, dan anak yang mereka harapkan bisa mewarnai kehidupan mereka.
"Muah..." Bima mengecup bibir Regina. Entah mengapa, Regina merasa perutnya seperti diaduk. Ia mendorong tubuh Bima hingga hampir terjungkal dari tempat tidur.
Jika Bima tidak sigap menahan, Regina segera berlari menuju wastafel. Ia memuntahkan semuanya, tapi hanya cairan bening yang keluar hingga tubuhnya lemas dan keringat dingin membasahi wajahnya.
Bima yang panik langsung menyusul istrinya, memijat tengkuknya. Tubuh Regina hampir limbung, beruntung Bima sudah di sisinya. Pria itu menggendong tubuh istrinya, merebahkannya perlahan di atas tempat tidur.
Menarik selimut hingga ke dada, wajah Regina masih pucat. Bima segera menghubungi dokter yang biasanya menangani dirinya.
Bima membuatkan teh hangat untuk meredakan mual yang dialami Regina. Tak lama, dokter pun tiba. Ia segera mengambil stetoskop untuk memeriksa detak jantung Regina serta memeriksa tekanan darahnya.
"Tuan, nanti setelah nona sadar, tolong berikan ini padanya, juga ini resep yang harus Anda tebus," ucap dokter tersebut sebelum meninggalkan mansion milik Bima.
Bima kini tinggal di mansion miliknya sendiri, dengan beberapa penjaga dan asisten rumah tangga yang membantu pekerjaan rumah.
Bima mengangguk dan mengantarkan dokter keluar dari mansion. Tak lupa, ia juga meminta anak buahnya menebus resep yang ditulis dokter. Bima segera berlari ke lantai atas, tempat kamarnya dan sang istri berada.
Regina terbangun, menatap sekeliling sambil memijat keningnya yang masih terasa pusing. "Kamu nggak papa, sayang?" tanya Bima, telaten menumpuk bantal agar istrinya bisa dengan mudah duduk bersandar pada sandaran ranjang.
Regina melirik ke arah meja, di sana sudah tergeletak tes kehamilan. Ia mengerutkan keningnya. Oh iya, kapan terakhir dirinya datang bulan?
Perlahan Regina bangkit, mengambil bungkusan tersebut dan berjalan ke kamar mandi, dibantu oleh Bima. Bima menunggu di depan pintu dengan harap-harap cemas.
Jika memang belum diberi momongan, ia tidak masalah. Tapi, bagaimana caranya agar perasaan istrinya baik-baik saja? Terakhir kali berurusan dengan benda itu, Regina kehilangan selera makan, juga tak ingin melakukan aktivitas di luar rumah. Hanya ingin mengurung diri di kamar, itu yang membuat hati Bima sakit saat melihat istrinya seperti itu.
"Akhh......." Bima tersentak mendengar jeritan istrinya dari kamar mandi. Ia dengan cepat menggedor pintu, "Sayang, ada apa? Buka pintunya!" teriak Bima, merasa frustrasi karena tidak ada jawaban dari istrinya.
Ia memilih duduk di pinggiran ranjang. Suara pintu kamar mandi terbuka menyita perhatiannya. Dari balik pintu, tampak istrinya memegang benda kecil sambil mengusap air matanya.
Bima menghampiri Regina, memeluk tubuh istrinya yang terasa dingin, mengecupnya berkali-kali hingga Regina tenang.
"Sayang," panggil Regina ragu. Bima menangkup wajah istrinya yang terlihat pucat seperti tidak dialiri darah. Regina menyodorkan benda kecil itu pada Bima.
Bima tersenyum, air mata berderai. Akhirnya, apa yang mereka pinta dalam setiap doa, didengar oleh Sang Maha Pemberi Kehidupan.
"Kita akan punya anak," ucap Bima, langsung menggendong tubuh Regina dan mengajaknya berputar, sebagai bentuk kegembiraan yang menyelimuti mereka berdua. Regina pun tersenyum bahagia sambil menghapus air mata.
Di tempat lain
"Di mana Dio? Kenapa dia tidak mengangkat teleponnya?" ucap Ahmed dengan wajah panik, Aisyah pun ikut merasakannya.
"Ya Allah, lindungi putraku di mana pun ia berada," ucap Aisyah di tengah kegelisahan yang melanda. Tanpa mereka sadari, ada sepasang mata yang memperhatikan keduanya.
Dio baru saja keluar dari perusahaan menuju tempat parkir. Ia memang lebih suka berkendara sendiri daripada menggunakan sopir.
Ia membuka pintu mobilnya yang kebetulan diparkir di sisi jalan, karena akan meninjau proyek lain. Dio merasa ada yang kurang saat meraba kantong celananya. Benar saja, ponselnya tertinggal di meja kantor.
Ia segera kembali berniat mengambil ponselnya. Dari sisi berlawanan, sebuah mobil Terios hitam melaju kencang menuju arah Dio berdiri.
Sreeeet.... Tangan mungil menarik Dio ke pinggir jalan, tubuh keduanya menabrak bodi mobil Dio.
"Sayang? Kamu nggak papa?" tanya Dio, dengan tangan gemetar dan jantung berdebar kencang, ia meraba perut Meghan.
Ya, Meghan yang menolong Dio. Ia juga yang tak sengaja mendengar percakapan kedua mertuanya.
Meghan langsung mengambil jaket tebal milik Dio dan bergegas menyusul. Ia memang tidak tahu di mana Dio berada, jadi ia memutuskan untuk meminta bantuan Morgan, sang kakak.
Berbekal alamat yang diberikan kakaknya, Meghan pergi menggunakan taksi.
Beruntungnya, saat Meghan baru saja turun dari taksi, ia sudah melihat Dio yang akan berjalan meninggalkan mobilnya. Saat itu pula, ia melihat mobil yang sepertinya tengah mengincar ayah dari anak yang dikandungnya.
Meghan memejamkan mata sambil meringis merasakan kram di bagian bawah perutnya, "Sssst... Sa..kit," ucap Meghan terbata.
Dio langsung menggendongnya, masuk ke dalam mobil melupakan ponsel miliknya, dan memacu mobilnya menuju pusat kesehatan terdekat.
Usia kandungan Meghan yang sudah menginjak delapan bulan, membuat semua orang, tak terkecuali Dio sendiri, menjadi sangat protektif pada Meghan. Bayi yang akan menjadi penerusnya kelak, bayi yang akan mengubah segalanya.
Sesampainya di pusat kesehatan, Meghan langsung diarahkan ke ruangan dokter obgyn. Di sana, dokter langsung mengecek kandungan Meghan.
Terpampang di layar, kondisi bayi baik-baik saja, dan memang mendekati hari kelahiran. Mendengar penjelasan dari dokter membuat Dio bisa bernapas lega.
Ia menciumi kening Meghan sebagai bentuk syukur dan rasa terima kasihnya pada kekasihnya Meghan, mau melahirkan penerusnya dan memberikan kebahagiaan untuk keluarga nya.
Mohon kritik dan Sarannya