Arwah sekarat Raveena bergentayangan di dalam sebuah novel yang pernah ia kutuk karena baginya memiliki ending yang paling buruk. Di novel itu, menjadi sosok Elira Maeven, tokoh utama yang memiliki sifat lugu dan feminin yang menyukai sosok Arsen Vaelric, si pria manipulatif yang berbahaya.
Sialnya, Raveena memasuki tubuhnya usai Elira mengalami adegan mati konyol akibat bunuh diri di bagian ending cerita. Seolah semesta menuntut pertanggungjawaban dari caciannya, ia dipaksa melanjutkan cerita hidup Elira yang mestinya berakhir setelah mati bunuh diri.
Raveena tak bisa keluar dari dunia itu sebelum menyelesaikan skenario takdir Elira yang tak pernah ditulis dan direncanakan oleh penulis novel itu sendiri.
Sampai tiba hari di mana Arsen mulai menyadari, bahwa sikap membosankan Elira yang selalu ia abaikan, kini bukanlah sosok yang sama lagi.
Namun, Arsen justru sangat menyukainya.
Apakah Raveena mampu kembali ke dunia nyatanya?
Atau justru terkurung selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dandelions_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
"Apakah kau baik-baik saja?"
Di perjalanan malam, Axel yang sedang menyetir menoleh sebentar pada Elira. Rasa khawatirnya kian menjadi, karena sejak Elira melihat berita tentangnya di ponsel miliknya, ia jadi banyak diam.
Kepekaan Axel tepat, karena perasaan Elira seketika semerawut saat membaca lengkap berita tentangnya dan tayangan Cedric saat muncul di hadapan para wartawan.
"Sial! Kenapa masalah ini jadi merembet ke segala arah?" Elira meremas sisi kepala, membuat Axel cemas melihatnya. "Si brengsek itu ..." geramnya.
Namun, tiba-tiba ...
Cekiit!
Elira maupun Axel sama-sama tersentak ke depan.
Ban mobil Axel berhenti mendadak ketika segerombolan pria berbadan besar mengadang gerbang kediaman keluarga Maeven. Semuanya berseragam hitam, dengan tubuh tegap seolah tak takut pada apa pun, sekali pun hal itu dapat menghantam mereka.
"Astaga! Apa-apaan ini?" desis Elira dengan tatapan tajam.
Melihat dari penampilan dan posturnya, Axel menebak jika mereka yang berjejer itu adalah para bodyguard suruhan Cedric.
"Elira, sepertinya mereka orang-orang suruhan Paman," kata Axel sambil mematikan mesin mobil.
Elira hanya terkekeh sinis. "Sudah berapa banyak dia memangkas kesabaranku hari ini?"
Sebenarnya secara normal, ini tak terlalu masalah. Namun, kondisi hati Elira yang sedang buruk membuatnya cepat memanas akibat rasa amarah.
Entahlah, hari ini semuanya tampak menjengkelkan.
"Menyingkir dari jalanku!" teriak Elira usai menurunkan kaca mobil.
"Maaf, Nona. Tidak bisa," tolak salah satu dari mereka yang lekas menghampiri Elira lebih dekat. "Kami bisa menggendong Anda jika kau merasa tak kuat untuk berjalan."
"Sinting," caci Elira dalam hati.
Setelahnya, Elira kembali menutup kaca mobil dengan kesal.
Kali ini Axel yang mencoba berbicara. Namun, ia hanya dihadiahi telapak tangan lebar yang menahan kaca mobilnya.
"Maaf, Tuan. Instruksi dari dalam. Mobil ini tidak boleh masuk." Axel pun mau tak mau harus patuh. Ini adalah aturan dari pemilik rumah. Ia tak bisa jika terus memaksa.
"Elira. Maaf, aku tak bisa mengantarmu sampai teras rumah." Axel melepas jaketnya, lalu menyelimuti bahu Elira dengan itu. "Pakailah ini. Di dalam saku jaket ini, aku menyimpan sebuah ponsel yang mungkin akan bermanfaat untukmu."
Mestinya Elira antusias, namun bukankah ini terlalu mencurigakan?
"Untuk apa kau memberiku ponsel?" curiganya dengan tatapan memicing.
"Paman Cedric tak memberikan ponselmu, bukan?"
Elira menggeleng. "Alasan lain."
Axel menatapnya serius. "Supaya kau waspada. Kau bisa menghubungi orang-orang yang kau percaya jika sedang terjebak. Atau, kau bisa memantau berita-berita untuk jaga diri."
Elira merapatkan jaket yang membalut tubuhnya dengan hangat. Meski ucapan Axel masuk akal, tetapi prasangka buruknya tidak bisa langsung dihilangkan.
"Jangan macam-macam denganku," peringat Elira.
Axel tersenyum kecil. "Terima kasih untuk hari ini." Kali ini tangan besar itu lebih leluasa mengusap lembut rambut Elira.
"Hah. Sepertinya lelaki ini terlalu cinta padaku."
"Dan maaf untuk kekacauan yang sempat terjadi," sambung Axel saat mengingat Cedric yang marah besar di markas.
Elira tersenyum kecil. "Kau terlalu naif, Axel. Kau membuat kata 'terima kasih' dan 'maaf' menjadi tak ada harganya."
Axel tersenyum sambil mengangguk-angguk samar. Setelahnya mereka berpandangan satu sama lain.
"Kenapa aku terus curiga padanya?" gumam Elira.
Tuk tuk!
Keduanya terkesiap. Sang bodyguard mengetuk-ngetuk kaca mobil, seolah mengingatkan agar tak berlama-lama di dalam.
"Pulanglah dan istirahat." Axel membantu Elira melepas sabuk pengaman dari tubuhnya.
"Axel."
"Hm?" sahut Axel lembut sambil menatapnya.
"Terlalu cinta itu menyakitkan."
