NovelToon NovelToon
Dihina Camer, Dirajakan Kekasih

Dihina Camer, Dirajakan Kekasih

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / Beda Usia
Popularitas:4.6k
Nilai: 5
Nama Author: fania Mikaila AzZahrah

Ganendra pernah hampir menikah. Hubungannya dengan Rania kandas bukan karena cinta yang pudar, tapi karena ia dihina dan ditolak mentah-mentah oleh calon mertuanya yang menganggapnya tak pantas karena hanya pegawai toko dengan gaji pas-pasan. Harga dirinya diinjak, cintanya ditertawakan, dan ia ditinggalkan tanpa penjelasan. Luka itu masih membekas sampai takdir mempertemukannya kembali dengan Rania masa lalunya tetapi dia yang sudah menjalin hubungan dengan Livia dibuat dilema.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab. 28

Ganendra meraih segelas air di meja, lalu meneguknya perlahan sambil melirik ke arah dua perempuan yang sama-sama ia cintai dengan cara berbeda.

“Bu, liat nggak? Livia bisa bikin suasana kayak gini. Hangat. Damai. Padahal biasanya dia galaknya ngalahin alarm pagi,” ucapnya sambil terkekeh.

Livia menoleh cepat, pura-pura memasang wajah ketus. “Hei, aku denger itu.”

“Bagus kalau denger,” celetuk Ganendra, lalu menyengir jahil. “Supaya kamu sadar kamu tuh bukan cuma hebat ngatur perusahaan, tapi juga hebat bikin hati orang betah.”

Bu Siti hanya mengangguk, senyum di wajahnya belum juga pudar sejak tadi. Tatapannya berpindah dari Ganendra ke Livia, lalu kembali menatap ke dinding penuh bingkai keluarga.

“Dulu, saya pikir anak saya bakal nikah sama gadis kampung, yang biasa-biasa aja. Tapi Tuhan kasih kejutan, malah perempuan luar biasa yang datang,” katanya dengan nada tenang.

Livia menunduk. Suara Bu Siti begitu tulus, membuatnya merasa kecil tapi hangat di waktu bersamaan.

“Saya juga nggak nyangka, Bu. Dunia saya penuh angka, deadline, dan rapat. Tapi di rumah ini saya belajar napas bisa lebih lambat. Belajar makna kata pulang,” ucap Livia, lirih.

Ganendra menaruh gelasnya kembali ke meja, lalu duduk bersila di depan ibunya dan calon istrinya. Pandangannya serius, tidak seperti biasanya yang suka melucu.

“Saya nggak bisa janji bawa Livia hidup mewah, Bu. Tapi saya janji jaga dia, nggak bakal lepasin tangannya walau nanti dunia nyoba pisahin,” imbuhnya mantap.

Livia memandang Ganendra lama, ada gurat ragu tapi juga keyakinan yang mengendap di matanya. Ia tak menjawab, hanya mengulurkan tangan, menggenggam tangan lelaki itu dengan erat.

“Mas Gane yang saya cari bukan hidup enak. Tapi hidup yang tenang. Dan kamu kamu bikin saya percaya ketenangan itu nyata,” katanya tulus.

Bu Siti menyeka air mata dengan ujung kerudung. Ia bangkit, lalu berdiri di tengah mereka.

“Kalau begitu, kalian tinggal buktikan. Nggak usah janji yang tinggi-tinggi, yang penting setia, sabar, dan saling ngerti. Itu udah cukup,” serunya lembut.

Suara ayam tetangga bersahutan dari kejauhan. Sinar matahari menembus jendela kayu, menyinari wajah mereka bertiga. Tidak ada hiasan mewah, tidak ada karpet mahal. Tapi di ruangan itu, cinta terasa begitu nyata.

Ganendra menatap ibunya, lalu menatap Livia. “Kita siap, Bu,” ucapnya yakin.

Livia mengangguk, masih menggenggam tangan Ganendra. “Iya. Kita siap.”

Dan pagi itu, tanpa seremoni, tanpa saksi dari kamera, hanya dengan kehangatan sederhana dan restu dari seorang ibu, dua hati memilih untuk melangkah. Bersama.

Matahari siang mulai condong, menandakan waktu sudah cukup lama mereka duduk bersenda gurau dalam suasana yang penuh kehangatan. Burung-burung di pepohonan sekitar rumah bersiul pelan, seolah ikut menyanyikan perpisahan kecil siang itu.

Ganendra berdiri perlahan, lalu menatap ibunya yang masih duduk di sofa dengan senyum sabar.

“Bu, kita pamit, ya. Nanti sore aku ada jadwal jemput Pak Dirut lagi,” ujarnya lembut sambil membenarkan posisi tas kecil di bahunya.

Bu Siti ikut berdiri, meraih tangan anak lelakinya, menggenggam erat dengan doa yang tak pernah putus dalam hati.

“Hati-hati di jalan, Nak. Jangan kebut-kebutan. Ibu tunggu kalian mampir lagi minggu depan,” katanya penuh harap.

Livia bangkit menyusul, masih membawa tas tangannya yang rapi dan sederhana. Wajahnya terlihat tenang, tapi dalam hati ada sesuatu yang sudah ia siapkan. Ia menunggu saat yang pas.

Setelah pamit dan bersalaman, mereka menuju halaman depan. Mobil hitam sederhana sudah terparkir di bawah pohon mangga, teduh dan berdebu sedikit. Ganendra membuka pintu mobil untuk Livia.

Namun sebelum masuk, Livia berpaling ke arah Bu Siti. Ia menghampiri pelan, lalu menggenggam tangan wanita yang mulai menua itu dengan lembut.

“Bu ini bukan karena saya ingin membeli restu. Tapi karena saya tahu... ada tanggung jawab besar yang datang bersamaan dengan kebahagiaan,” ucapnya sambil menyelipkan amplop putih tebal ke tangan Bu Siti.

Bu Siti sempat menolak, menggeleng pelan. Tapi Livia buru-buru menyambung,

“Isinya cuma buku tabungan dan kartu ATM, Bu. Saya udah atur, tiap bulan ada transfer tetap masuk. Ibu boleh pakai untuk apapun yang Ibu butuh. Bukan karena saya merasa lebih dari siapapun tapi karena saya ingin jadi anak Ibu seutuhnya. Anak yang bisa bantu walau nggak serumah,” imbuhnya tulus.

Bu Siti terdiam. Hatinya berkecamuk antara haru dan enggan menerima. Tapi tatapan Livia terlalu jujur untuk ditolak.

Akhirnya, ia mengangguk pelan, lalu memeluk Livia dengan hangat.

“Nak... kamu bener-bener bukan cuma calon istri. Tapi juga berkah yang Tuhan kirim ke rumah ini,” katanya lirih.

Livia membalas pelukan itu dengan pelan. Ganendra hanya bisa berdiri di samping mobil, menghela napas dan tersenyum kecil melihat keduanya.

“Udah, Bu. Nanti Mama bikin Livia nangis lagi,” celetuknya.

Livia menoleh dan tertawa kecil sambil menyeka sudut matanya. Ia berjalan menuju Ganendra, masuk ke dalam mobil, lalu duduk tenang. Sementara Bu Siti masih berdiri di ambang pagar, menggenggam amplop itu dengan hati yang penuh syukur.

Mobil perlahan menjauh dari halaman rumah, melewati jalan kecil yang biasa, tapi terasa berbeda hari itu. Di balik roda kemudi, Ganendra melirik Livia sebentar.

“Kamu serius tadi kasih itu?” tanyanya setengah berbisik.

Livia mengangguk, menatap ke depan.

“Karena aku bukan cuma datang buat kamu, Mas. Aku datang buat ikut mencintai semua yang kamu cintai.”

Ganendra diam. Tak ada kata yang bisa mengalahkan makna kalimat itu. Hanya genggaman tangan di atas rem tangan mobil yang bicara: bahwa cinta tak selalu keras dan megah. Kadang cukup sederhana, hangat, dan nyata.

Baru saja Ganendra hendak membuka pintu mobil untuk Livia, langkahnya terhenti. Suara sepatu hak tinggi menghentak pelan di atas tanah berkerikil halaman rumah itu. Tatapan Livia ikut beralih, begitu juga Bu Siti yang masih berdiri di ambang pagar.

Seorang perempuan bergaun pastel dengan riasan wajah sempurna berjalan mendekat. Aroma parfum mahal menyeruak. Rambutnya terurai rapi, tas branded menggantung di lengannya. Rania. Perempuan dari masa lalu yang pernah meninggalkan luka mendalam di hati Ganendra.

“Ganendra?” sapanya sambil menundukkan kacamata hitam yang sebelumnya menutupi sebagian wajah.

Ganendra menoleh pelan. Wajahnya datar, tanpa ekspresi berarti.

“Oh, Rania,” ucapnya singkat. Suaranya biasa saja, tanpa getar. Ia berdiri tegak, tanpa satu langkah pun maju.

Rania tertawa kecil, senyum menyungging di bibir yang kini lebih penuh. “Aku nggak nyangka ketemu kamu di sini. Tadi aku mampir ke rumah sepupu, ternyata... kamu tinggal nggak jauh dari sini.”

“Begitu, ya?” balas Ganendra sambil melirik singkat ke arah Livia yang sudah berdiri di sisi mobil dengan sorot mata tenang.

Rania mendekat beberapa langkah. Tatapannya tak lepas dari wajah Ganendra. “Kamu berubah, ya. Dulu kamu cuma anak toko yang tiap hari bau keringat. Sekarang keliatan beda. Mobil juga bukan motor butut yang dulu kamu banggakan.”

Ganendra menyelipkan senyum tipis. “Iya, waktu yang ngajarin saya banyak hal. Termasuk nggak nyimpen dendam,” ujarnya santai.

Rania tertawa kecil lagi, tapi suara tawanya terdengar hambar. “Kamu masih suka bercanda, ya? Tapi serius, kamu kelihatan jauh lebih menarik sekarang.”

Bu Siti memandang dari kejauhan, raut wajahnya berubah. Tapi Livia melangkah lebih dulu. Ia mendekat, berdiri sejajar di samping Ganendra, lalu menatap Rania dengan sopan.

“Maaf, Mbak. Kalau memang mau basa-basi, bisa agak sebentar? Kita buru-buru,” ucap Livia lembut, tapi tegas.

Rania menatap Livia dari atas ke bawah. Ia tersenyum sinis. “Kamu siapa, ya? Manajernya?”

Livia tertawa kecil, lalu mengulurkan tangan. “Livia. Calon istrinya. CEO RD Grup. Bukan manajer tapi kalau perlu, saya bisa bantu cariin buat Mbak.”

Ganendra menahan senyum. Bu Siti nyaris terkekeh dari kejauhan.

Rania kaku sejenak. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu berdeham. “Wah hebat. Ternyata selera kamu naik juga, ya, Gan. Beda sama dulu waktu kamu masih rela dijatuhin harga diri buat ngejar aku.”

Ganendra menatap Rania sebentar, lalu berkata pelan, “Dulu saya kejar kamu karena saya pikir cinta itu harus diperjuangkan. Tapi ternyata cinta yang sejati nggak minta saya berlutut, tapi berdiri sama tinggi. Dan itu saya temukan di Livia.”

Livia menoleh sebentar ke Ganendra. Tak ada dialog lagi, hanya saling pandang yang penuh makna.

Rania tak menjawab. Matanya sedikit berkedip, menahan emosi yang ia sendiri tak paham. Ia melangkah mundur.

“Semoga kalian bahagia,” katanya cepat, sebelum akhirnya berbalik dan pergi.

Mobil perlahan melaju meninggalkan halaman rumah, meninggalkan bayangan masa lalu yang kini tak lagi berarti.

Di dalam mobil, Ganendra menggenggam tangan Livia erat.

“Terima kasih,” bisiknya.

Livia hanya tersenyum. “Aku nggak ngelawan siapa-siapa, Mas. Aku cuma jaga apa yang aku yakini pantas untuk aku perjuangkan.”

Dan mereka pun melaju, meninggalkan masa lalu, menuju masa depan yang mereka pilih bersama.

1
Anto D Cotto
menarik
Anto D Cotto
lanjut crazy up Thor
sunshine wings
dan kamu emang udah layak dari pertemuan pertama insiden itu Livia .♥️♥️♥️♥️♥️
sunshine wings
Wah aku yg salting.. asekkk.. 💃🏻💃🏻💃🏻💃🏻💃🏻
sunshine wings
hahaha.. energi ya mas.. powerbank.. 💪💪💪💪💪😍😍😍😍😍
sunshine wings
Kan.. 👏🏻👏🏻👏🏻👏🏻👏🏻♥️♥️♥️♥️♥️
sunshine wings
Good Ganendra.. 👍👍👍👍👍
sunshine wings
Yaa begitulah..Mantapkan hati.. 👏🏻👏🏻👏🏻👏🏻👏🏻♥️♥️♥️♥️♥️
sunshine wings
Memang ada pilihan lain tapi hati hanya punya satu ya mau gimana lagi ya kan..
sunshine wings
Sudahlaa Lintang nanti makan diri sendiri.. 🤷🏻‍♀️🤷🏻‍♀️🤷🏻‍♀️🤷🏻‍♀️🤷🏻‍♀️
sunshine wings
kerana Livia yg pertama ada selepas hati Ganendra hancur berkeping².. ♥️♥️♥️♥️♥️
Naila
lanjut
Purnama Pasedu
lintang jadi badai
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: duri dalam daging 🤭🤣
total 1 replies
sunshine wings
😘😘😘😘😘
sunshine wings
Yesss!!! 💪💪💪💪💪♥️♥️♥️♥️♥️
sunshine wings
🥰🥰🥰🥰🥰
sunshine wings
daaan calon suami juga.. 🥰🥰🥰🥰🥰
Purnama Pasedu
Livia,,,sekali kali ajak ibunya ganen sama ganen ke restoran
Purnama Pasedu: begitu ya
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: belum waktunya kak mereka belum resmi pacaran
total 2 replies
sunshine wings
Laa.. rupanya adek sepupu kirain adek sekandung.. buat malu aja.. sadar dri laa ɓiar sedikit.. 🤷🏻‍♀️🤷🏻‍♀️🤷🏻‍♀️🤷🏻‍♀️🤷🏻‍♀️
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: hehehe 🤭🤣
total 1 replies
Al Ghifari
lanjut seru banget
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: makasih banyak kakak insyaallah besok 😘🙏🏻
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!