"Aku tidak mau dijodohkan! Bukankah kalian semua tau kalau aku sudah memiliki kekasih? " "Kami semua tau nak, tapi tidak bisakah kamu menolong papa sekali ini saja, ? " "Tidak! Yang menjadi anak dirumah ini bukan hanya aku saja, masih ada Melodi di rumah ini, kenapa bukan dia saja yang kalian jodohkan! "
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alizar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28
Wajah Arkan memerah, tanda amarah yang tak terbendung memenuhi setiap sudut wajahnya. Urat-urat di lehernya menonjol, nyaris seperti hendak pecah karena tekanan emosi yang dia rasakan. "Pantas saja dia berani mengatakan hal itu pada istriku," gumam Arkan, sambil mengepalkan tangannya kuat-kuat, seolah-olah ingin meremukkan sesuatu yang ada di genggamannya. "Pokoknya, aku tidak akan membiarkan perempuan itu kembali dan merusak rumah tanggaku!"
Di sisi lain ruangan, Fajar hanya bisa berdiri membisu, matahari tak berdaya menatap bosnya yang sedang dilanda badai amarah. Berkas-berkas yang seharusnya dia serahkan kini terasa berat dalam genggamannya, mengetahui situasi seperti ini bisa berakhir dengan kehancuran. Dia tahu, jika Arkan sudah berada pada titik ini, bukan hanya perkataan yang bisa terbang, tapi juga bisa jadi, badai besar akan menyusul.
Arkan bangkit dari kursi dengan aura yang begitu berat. Fajar, yang sedari tadi mengamati dari kejauhan, langsung berdiri tegak, menunggu perintah selanjutnya. "Kemana kamu akan pergi, Arkan?" tanya Fajar dengan suara yang berusaha terdengar tenang.
Arkan menatap Fajar dengan mata yang dingin dan tajam. "Antarkan aku ke tempat Rina," perintahnya, suaranya tegas dan tidak terbantahkan. Fajar menggigit bibirnya, ragu. "Tapi, Arkan, Rina sudah cukup menderita," sahutnya, suara penuh dengan kekhawatiran.
"Menderita? Menderita apanya, aku bahkan belum melakukan apa apa padanya. "
Tatapan Arkan semakin mengeras, membuat Fajar merasa seakan berada di bawah tekanan yang luar biasa. "Ini bukan waktunya untuk berdebat, Fajar. Ayo, kita berangkat sekarang juga," ujar Arkan, tanpa memberi ruang bagi Fajar untuk membantah lebih lanjut.
Perjalanan menuju tempat Rina terasa tegang. Arkan duduk dengan raut wajah yang keras, setiap kerutan di dahinya seolah menandakan betapa seriusnya ia kali ini. Fajar hanya bisa mengemudi dalam diam, hatinya diliputi kecemasan untuk apa yang akan terjadi selanjutnya.
Sampai di tempat Rina, Arkan langsung melangkah dengan pasti menuju pintu. Dia mengetuknya dengan keras, dan ketika Rina membuka pintu, wajahnya pucat pasi. Terkejut sekaligus merasa senang. "Arkan kau datang menemuiku," Ucapnya senang karena ternyata Arkan pria yang dia cintai berdiri dengan gagah dihadapan nya saat ini.
"Apa kau merindukanku? Sudah aku duga, kau pasti tidak akan betah bersama istri mu itu kan. Ya, aku tau karena kau masih mencintai ku, itulah kenapa sekarang kau berada di rumah ku. " Wajahnya tak berhenti untuk terus tersenyum, namun senyum itu segera luntur ketika Arkan mulai bersuara
"Rina, dengarkan aku baik-baik," Arkan mulai berbicara dengan nada mengancam, "Kamu tidak boleh bertemu dengan istriku lagi. Jika aku mendengar kamu mencoba menghubunginya atau berbuat sesuatu yang melampaui batas, aku tidak akan tinggal diam."
Rina menatap Arkan dengan mata berkaca-kaca, terlihat jelas ketakutan dalam dirinya. "Arkan, apa maksud mu? tolong, jangan bercanda aku tidak akan—"
"Ingat apa yang aku katakan, Rina!" potong Arkan, suaranya meninggi. "Ini adalah peringatan pertama dan terakhirku. Jangan buat aku harus datang ke sini lagi."
Dengan itu, Arkan berbalik pergi, meninggalkan Rina yang terdiam lemas, menahan isak tangis. Fajar, yang menyaksikan semuanya dari kejauhan, hanya bisa menghela napas berat, merasa kasihan pada Rina namun juga takut pada kemarahan Arkan.
"Apa aku bermimpi? Arkan tega melakukan ini pada ini padaku, hahaha tidak! Arkan yang kenal bukan seperti itu, Arkan sangat mencintaiku mana mungkin dia tega berbuat kasar dengan ku. Aku yakin, ini pasti karena ulah istrinya itu. Lihat saja jalang, aku akan melakukan sesuatu denganmu, arkan hanyalah milikku, milikku! Aku yang seharusnya menjadi istri nya, bukan kau sialan! " Rina mengepalkan kedua tangan nya dengan kuat. Matanya memerah merasa tidak Terima dengan ini semua.
***
Arkan mengemudi dengan kecepatan tinggi, knuckles-nya memutih karena menggenggam kemudi begitu erat. Raut wajahnya menegang, urat-urat di lehernya menonjol jelas, matahari senja mencerminkan kilatan kebencian di matanya. Fajar, yang duduk di sampingnya, sesekali menoleh dengan rasa khawatir. "Arkan, pelan-pelan saja, takut nanti terjadi apa-apa," ucap Fajar dengan suara yang gemetar.
"Kau kalau ingin mati, mati saja sendiri jangan membawa ku sialan! Lebih baik berhenti,biar aku yang mengemudi." Fajar berkata dengan kasar pada sahabat sekaligus bos nya itu. Arkan menghela napas berat, menatap jalan lurus di depannya, seolah mencari pelarian dari kekacauan yang menghantui pikirannya.
"Rina itu sudah keterlaluan, Fajar. Dia kembali lagi, mengancam dan menganggu istriku. Tadi itu sudah cukup, aku sudah memberinya peringatan keras," kata Arkan, suaranya serak penuh emosi. Jantung Fajar berdegup kencang, mencoba memproses setiap kata yang terucap. Dia memegang tangan Arkan yang masih berada di kemudi. "Aku tau. Semoga saja ancaman mu tadi membuatnya sedikit jera dan tidak akan mengganggu Melody lagi, dan tolong berhenti biarkan aku yang mengemudi! "
Arkan mengangguk pelan, namun dalam hati, api kemarahan masih berkobar. Dia sudah bertekad, jika Rina berani melangkah lebih jauh, dia tidak akan segan-segan mengambil tindakan yang lebih keras. "Jika dia mencoba sesuatu yang bisa merusak rumah tangga ku, aku tidak akan tinggal diam," gumamnya, lebih kepada diri sendiri, seolah mengukir janji dalam hatinya. Fajar hanya bisa berdoa dalam hati, semoga keadaan tidak sampai pada titik nadir yang tak terbayangkan itu.
***
Melody dan Risa berjalan beriringan di koridor mall yang ramai, sambil tertawa lepas mendengarkan cerita Risa yang tak pernah kehabisan bahan. Cahaya sore yang menembus kaca membuat suasana semakin ceria. Risa sedang asyik membicarakan tentang seorang selebriti yang baru saja melangsungkan pernikahan ketika Melody tiba-tiba menghentikan langkahnya. Raut wajahnya berubah, matanya membulat tak percaya.
Di sana, di antara kerumunan orang, terlihat Maudy, kakaknya, sedang berbicara dengan seorang pria tua yang perutnya buncit dan rambutnya mulai memutih. namun bukan itu yang menjadi atensinya melainkan, tangan Maudy yang Bergelayut manja dilengan pria tua itu. Melody, dengan langkah ragu namun pasti, mendekati mereka berdua. Risa, yang menyadari perubahan suasana, mengikuti dengan tatapan bingung.
" Kak Maudy, ini siapa?" tanya Melody dengan nada rendah mengejutkan Maudy yang terlihat panik. Tubuhnya tegang, dan ia melirik pria tua di sampingnya dengan ekspresi yang sulit dibaca. Tangan yang semula Bergelayut segera ia lepaskan membuat pria tua itu memandang nya,
Maudy menelan ludah, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Eh, Mel, ini Pak Harun, teman bisnis Ayah," jawabnya tergagap, matanya berusaha menghindari kontak mata dengan Melody.
Melody menatap Pak Harun dari atas ke bawah, rasa curiga masih terpatri di wajahnya. "Teman bisnis, di mall, berdua saja?" suaranya terdengar tidak percaya, penuh tuduhan. Pak Harun, yang tadinya tersenyum lebar, kini tampak canggung dan mulai mengusap keringat di keningnya.
Risa, yang berdiri di samping Melody, memberikan tatapan simpati pada Maudy yang kini tampak seperti anak kecil yang tertangkap basah. Atmosfer yang tadinya ceria berubah menjadi tegang, dan orang-orang di sekitar mulai melirik penasaran.
"Maaf, aku harus segera pergi." Maudy langsung pergi begitu saja tanpa mendengarkan Melody yang berteriak memanggil nya
"Kakak! "
Melihat Maudy yang pergi membuat pria tua itu tersenyum canggung pada kedua wanita cantik dihadapan nya.
Ting!
Bunyi notifikasi pesan masuk dan pria itu dengan segera melihatnya, ia menggaruk pelipis nya "Eum, kalau begitu saya juga permisi. Ada pekerjaan yang harus saya urus, sampaikan salamku pada tuan Budi. " Lantas ia pun pergi begitu saja dengan langkah yang lebar
"Melody, " Panggil Risa memegang bahunya
"Aku tidak yakin kalau pria jelek itu teman ayahku, Risa. Kau lihat sendiri bukan bagaimana kedekatan mereka tadi, kakakku sudah memiliki kekasih, mana mungkin jika kakakku itu menjadi, " Ucapan nya menggantung membuat Risa menatap nya bingung
"Menjadi? Menjadi apa ha? Oh astaga! Apa maksud mu sugar baby" Matanya melotot menatap Melody yang mengangguk