NovelToon NovelToon
ASMARALARAS

ASMARALARAS

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Terlarang
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: Kidung Darma

Novel roman. Bara cinta terlarang gadis pesindhen.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kidung Darma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 27

Kali Brantas Malam sudah larut. Desa di kejauhan hanya tampak sebagai gugusan lampu temaram, seperti kunang-kunang yang enggan tidur. Di situlah ia merenung. Sendirian, dalam gulungan sepi yang tak bisa dibagi.

Andini—nama itu masih mengendap dalam pikirannya. Anak seorang pengusaha toko kelontong rekan bisnis bapaknya, lembut tutur katanya, sopan dalam tingkah laku. Tapi entah kenapa, ada ruang dalam hatinya yang tetap menolak untuk diisi. Bukan karena Andini kurang apa, melainkan karena ruang itu sudah lebih dulu dihuni oleh bayang wajah yang lain.

Asmarawati. Nama itu mengalir dalam diam, seperti Brantas yang tak pernah lelah menuju muara. Namun Wiji belum sanggup bicara. Bahkan kepada dirinya sendiri, ia belum selesai menjawab banyak tanya. Bagaimana mungkin ia menjelaskan pada Asmarawati soal perjodohan yang direncanakan oleh orangtuanya Mispan? Apa ia tega meretakkan sesuatu yang bahkan belum sempat dirangkai sepenuhnya?

Ia mengambil segenggam batu kecil, melemparnya ke sungai. Plung! Suaranya pelan, tapi cukup mengoyak sunyi.

“Kenapa hidup tidak pernah sederhana?” bisiknya pada angin.

Tanggul Brantas jadi saksi sunyi malam itu. Saat seorang laki-laki muda terperangkap antara pilihan yang tak ia minta dan rasa yang tak sempat ia ucapkan.

Ia duduk lebih rapat, menarik lutut, menekuk tubuhnya sendiri seperti hendak menyembunyikan keresahan yang tak bisa diluruhkan oleh malam.

Kadang-kadang, bunyi kodok dari sela-sela ilalang menyahut pelan, lalu senyap lagi, menyisakan desir angin dan aliran air yang lirih. Brantas terus mengalir, membawa segala yang hanyut bersamanya—daun kering, ranting patah, juga rahasia-rahasia kecil yang tak pernah disampaikan.

Wiji menatap ke langit. Gelap. Tanpa bintang. Seperti dadanya malam ini. Ia menggigit bibir, menahan sesuatu yang hampir menggenang. Bukan air mata. Bukan pula amarah. Tapi sesuatu yang tak bernama. Perpaduan antara getir, takut, dan keinginan untuk memilih jalan yang ia yakini, meski belum tahu ke mana arah akhirnya.

Andini bukan orang jahat. Tapi rasa tidak bisa dipaksa. Sementara kepada Asmarawati, ia belum mampu berucap, karena cinta tak bisa disematkan di atas pondasi dusta, sekalipun hanya sebentuk kebisuan.

Wiji menarik napas dalam-dalam. Dingin mengalir dari ujung jari hingga ke dada. Malam pun makin pekat, seolah dunia sedang memberi waktu lebih lama untuknya berpikir. Tapi sampai kapan?

Ia tahu, waktu tak pernah benar-benar menunggu. Dan malam ini, tanggul Brantas menyimpan satu lagi rahasia: keraguan seorang laki-laki yang hanya bisa diam, sementara perasaannya telah berlayar jauh, tanpa tahu di mana akan berlabuh.

Suara motor terdengar dari kejauhan, pelan namun pasti mendekat. Dua sorot lampu menembus gelap, lalu berhenti tak jauh dari tempat Wiji duduk di tanggul Brantas.

“Eh, kamu ngapain di sini, Ji?” tanya Tejo, turun dari motornya dengan gaya seenaknya. Sandal jepitnya menyentuh tanah yang dingin dan lembap.

Untung datang menyusul, lebih tenang dan tanpa banyak bicara. Ia duduk di sisi Wiji, mengeluarkan rokok dari sakunya, lalu menyalakannya perlahan.

Wiji hanya menoleh sebentar, lalu kembali menatap aliran sungai yang terus mengalir tanpa suara.

“Kamu lagi mikir apa?” tanya Tejo, kini lebih pelan. “Soal Andini? Atau Asmarawati?”

Wiji menghela napas panjang.

“Disuruh memilih, tapi aku bahkan belum tahu apa yang benar-benar aku inginkan. Semua terasa salah tempat. Aku cuma ingin bisa hidup tenang, menyanyi dengan hati… tanpa dibebani pilihan yang bukan pilihanku.”

Angin kembali bertiup, membawa aroma tanah basah dan tembakau dari rokok Untung.

“Kamu terlalu banyak mikir, Ji,” ucap Untung tenang. “Setiap orang punya jalannya sendiri. Yang penting, jalanmu jujur. Kalau orang lain senang atau tidak, itu bukan urusanmu.”

Tejo ikut menimpali, kali ini tanpa bercanda.

“Kalau kamu terus diam, bisa-bisa dua-duanya pergi. Diam enggak bisa mengalahkan waktu.”

Wiji menunduk. Tak ada kata-kata lagi, hanya sunyi yang menyelimuti mereka bertiga. Tapi itu bukan lagi sunyi yang menyesakkan, melainkan sunyi yang mengerti.

Dari kejauhan, terdengar suara kentongan malam berbunyi tiga kali.

Tanda bahwa malam kian larut. Dan keputusan, entah kapan, tetap harus diambil.

Tejo menyulut rokok dari bungkus kretek murahan, duduk bersandar di jok motornya. Untung ikut duduk di dekatnya, menggoyang-goyangkan kaki sambil memandang ke arah sungai yang menghitam di bawah langit malam.

“Kamu masih ingat waktu kita mancing di sini pas bulan puasa, Jo?” tanya Untung tiba-tiba.

Tejo tertawa kecil. “Ingat banget. Kita kira dapat ikan besar, eh ternyata cuma sandal jepit.”

Percakapan mereka ringan, seperti percikan kecil di tengah sunyi. Sesekali mereka saling melempar lelucon, mengenang masa-masa remaja yang penuh kenakalan biasa, yang kini terasa begitu jauh.

Namun di antara mereka, Wiji tetap diam.

Ia duduk lebih jauh sedikit, masih menatap aliran sungai. Matanya kosong tapi penuh. Di dalam dadanya, suara kenangan dan pertanyaan bercampur jadi satu: tentang masa depan yang tak pasti, tentang rasa yang tumbuh di tempat yang tak direstui, tentang pilihan yang terasa bukan miliknya.

Ia mendengar suara tawa teman-temannya, tapi tak bisa ikut tertawa.

Bukan karena ia tak mau, tapi karena ada sesuatu yang berat menggantung di hatinya.

Untung sempat menoleh.

“Ji, kamu kenapa sih? Kok dari tadi diam aja?”

Wiji menggeleng pelan. “Nggak apa-apa.”

“Yakin?” tanya Tejo, kini suaranya sedikit lebih serius.

Wiji tidak menjawab. Ia hanya menghela napas pelan, lalu berdiri. Tangannya dimasukkan ke saku jaket. Pandangannya tetap ke arah sungai.

“Aku cuma... lagi nyari arah,” ucapnya lirih.

Lalu ia kembali duduk. Tak ada yang berkata-kata lagi. Malam pun membungkus mereka bertiga dalam keheningan yang aneh—bukan canggung, tapi penuh pengertian diam-diam.

Dan sungai Brantas terus mengalir, seperti waktu yang tak pernah menoleh ke belakang.

Langit malam menyisakan sedikit cahaya rembulan di balik awan tipis. Di tanggul Brantas, Wiji menggenggam ponselnya dengan tangan gemetar. Percakapan Tejo dan Untung mulai redup—mereka sudah larut dalam tawa kecil yang tak lagi bisa ia dengar sepenuhnya.

Ia membuka layar percakapan dengan nama yang paling sering ia buka, tapi jarang ia sapa: Asmarawati. Setelah menarik napas dalam, ia mengetik perlahan. "Nok… maaf aku baru bisa cerita sekarang."

Ia berhenti sejenak, menatap air sungai yang mengalir tanpa suara. Lalu ia lanjutkan pesannya. "… bulan depan aku akan dinikahkan."

Pesan itu terkirim pukul 22.47. Tak ada balasan. Tak ada titik tiga yang biasanya muncul cepat setiap kali ia mengetik sesuatu.

Wiji hanya menatap layar, lama, seakan berharap waktu berhenti sampai pesan itu terbaca dan dimengerti tanpa melukai.

Sementara itu, di rumahnya, Asmarawati duduk di tepi ranjang. Kamar sunyi. Langit-langit kamar terasa lebih tinggi dari biasanya. Tirai jendela menari pelan diterpa angin malam.

Ia membaca pesan itu tanpa berkedip. Matanya menatap kata demi kata seperti menatap garis nasib yang tak bisa diubah.

"Nok…"

Itu panggilan yang ia sukai. Lembut. Menghangatkan. Tapi malam ini, justru kata itu yang paling menyakitkan.

Bulan depan…

Tangannya menggenggam ponsel erat.

Namun wajahnya tetap tenang. Tak ada air mata. Hanya dada yang terasa sesak, seperti gamelan yang dipukul pelan tapi berulang-ulang—menggetarkan tanpa suara. "Selamat nggih, Mas. Semoga sampean bahagia. Semoga, sakinah mawadah warahmah!"

Dikirim. Lalu ia meletakkan ponsel itu di meja, berdiri perlahan, menatap wajahnya sendiri di cermin. Tidak ada senyum. Tidak juga duka yang meledak. Hanya diam, dan sorot mata yang perlahan kehilangan cahaya.

Di luar, angin malam menggoyang ranting pohon. Dan di dalam dada Asmarawati, ada cinta yang pelan-pelan ia bungkus sendiri—tanpa janji, tanpa kepastian, tapi penuh keberanian untuk melepas.

Ponselnya masih dalam genggaman. Setelah beberapa menit menatap layar kosong, Wiji akhirnya mengetik lagi.

"Kamu ndak apa-apa, kan, Nok?"

Ia menuliskannya pelan, penuh ragu.

“Dek”—panggilan kecil yang hanya ia ucapkan dalam momen-momen paling lembut. Ia tahu tak bisa mengobati apa pun, tapi paling tidak, bisa menyentuh sisi yang dulu pernah hangat.

Tak lama, balasan itu datang.

"Mboten napa-napa, Mas. Aku tetap teman sampean. Kita tetap seduluran."

Wiji terdiam. Kalimat itu sederhana—terlalu sederhana untuk menampung patah yang sedang terjadi. Justru karena kesederhanaannya, ia terasa lebih pilu.

Ia membaca ulang kalimat itu berkali-kali.

"Kita tetap seduluran."

Kata “kita tetap seduluran” cukup bijak, tetapi menyakitkan. Di sana terasa seperti jarak yang halus namun tak terjangkau. Bukan lagi harapan, bukan lagi kemungkinan. Hanya ruang yang ditinggalkan agar tak semakin menyakitkan.

Sementara itu, di kamar gelapnya, Asmarawati meletakkan ponsel perlahan di atas meja kecil. Ia menatap langit-langit kamar, mencoba tersenyum, meski bibirnya hanya bergetar tipis. Ia membisikkan doa dalam hati—bukan untuk meminta, tapi untuk melepas, belajar untuk ikhlas.

Dan malam pun terus berjalan, membawa mereka menjauh dalam diam. Tak ada perpisahan yang benar-benar diucapkan, tapi keduanya tahu: sejak pesan itu dikirimkan, ada sebuah hubungan yang telah selesai. Tetapi benih cinta yang terlanjur tumbuh menolak usai.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!