"Aku hamil, Fir, tapi Daniel tidak menginginkannya,"
Saat sahabatnya itu mengungkapkan alasannya yang menghindarinya bahkan telah mengisolasikan dirinya selama dua bulan belakangan ini, membuatnya terpukul. Namun respon Firhan bahkan mengejutkan Nesya. Firhan, Mahasiswa S2, tampan, mapan dan berdarah konglomerat, bersedia menikahi Nesya, seorang mahasiswi miskin dan yatim-piatu yang harus berhenti kuliah karena kehamilannya. Nesya hamil di luar nikah setelah sekelompok preman yang memperkosanya secara bergiliran di hadapan pacarnya, Daniel, saat mereka pulang dari kuliah malam.
Di tengah keputus-asaan Nesya karena masalah yang dihadapinya itu, Firhan tetap menikahinya meski gadis itu terpaksa menikah dan tidak mencintai sahabatnya itu, namun keputusan gegabah Firhan malah membawa masalah yang lebih besar. Dari mulai masalah dengan ayahnya, dengan Dian, sahabat Nesya, bahkan dengan Daniel, mantan kekasih Nesya yang menolak keras untuk mempertahankan janin gadis itu.
Apa yang terjadi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moira Ninochka Margo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DUAPULUH DELAPAN Menjaga
BEBERAPA saat yang lalu, Firhan mendapat kabar dari sekretarisnya kalau seorang pelayan melaporkan padanya bahwa tantenya Claudia, mengatakan sesuatu yang buruk kepada Nesya. Mendengar informasi itu, Firhan pamit dalam "rapat rahasia" para konglomerat dan bergegas menemui istrinya dengan tergesa-gesa.
Pintu kamar terbuka pelan. Firhan masuk sambil melepas dasi. Ia mendengar suara isakan kecil dari sudut ruangan. Sesuai dugaannya, gadis itu pasti sedang menangis karena perlakuan saudara dari ibunya itu.
Langkahnya berhenti.
“Nesya?” panggilnya lembut dan menghampiri dengan hati-hati.
Firhan menoleh ke bawah dan terkejut, melihat Nesya terduduk di lantai, matanya sembab, wajahnya basah.
“Nesya? Sayang, kenapa kamu di sini?” Firhan berhambur ke arah istrinya itu, menghampiri, berlutut di depannya. Istrinya benar-benar terlihat berantakan dengan penuh linangan airmata.
Nesya hanya menggeleng, airmatanya kembali jatuh. Tapi kali ini, tangisnya tak bisa lagi ditahan dengan deras.
Firhan memeluknya erat. “Hei ... Kenapa, Sayang? Hm? Ada yang nyakitin kamu?” tanya Firhan make sure, dia ingin mendengar langsung dari istrinya.
Nesya hanya menggeleng lagi, tapi tubuhnya bergetar di pelukannya. Setelah beberapa saat, dengan suara lirih Nesya berkata, "Aku minta maaf, Fir, kalau kehadiranku di keluarga kalian membuat kalian malu. Aku minta maaf kalau aku bukan kalangan dari keluarga konglomerat dan terhormat. Maaf kalau aku se-tidak tahu diri ini,"
Airmata Nesya kembali deras di setiap kalimatnya. Firhan tahu, gadis ini telah terluka hingga menyalahkan dirinya karena ucapan seseorang. Sejauh ini, selama Firhan mengenal istrinya itu, dia tidak pernah melihat Nesya yang insecure bahkan sampai merendahkan diri begitu. Dan sifat itu yang menjadi salah satu Firhan sukai pada gadis itu. Tapi malam ini, dengan sekejap gadis itu terlihat hancur hanya karena kalimat seseorang. Dan dia yakin, itu berasal dari Tante Claudia, seperti yang di laporkan salah satu pelayannya.
Firhan mengatup rahangnya pelan. Ia mengerti. Matanya tajam. Tapi pelukannya makin erat. “Sayang … kamu milikku. Aku mencintaimu bukan karena status, bukan karena nama keluarga. Tapi karena kamu Nesya. Yang kuat, yang baik, yang kerja keras, yang gak pernah nyerah bahkan kamu selalu menjunjung harga dirimu.
“Aku gak peduli kamu lahir dari mana, keluargamu bagaimana, kamu bahkan sedikitpun tidak pernah membuatku malu, Sayang. Jadi, tolong, berhenti menyalahkan dirimu bahkan merendahkan dirimu. Kamu istriku, istriku yang paling terhormat dan berharga bagiku. Jangan meminta maaf seperti itu, karena kamu tidak salah apapun, apalagi mengatakan tidak tahu diri, seharusnya orang-orang yang berkata buruk, merekalah yang tidak tahu diri. Beraninya menyakiti Nesya-ku! Tidak ada satu orang pun yang berhak membuat kamu merasa lebih rendah dari siapapun bahkan menyakitimu, tidak ada! Lihat saja nanti, akan kubuat mereka lebih menderita,"
Wajah gadis itu lalu terangkat saat mendengar kalimat terakhir Firhan, tangisannya berhenti. Sorotan matanya kini berubah menjadi cemas. "Jangan! Tidak, Sayang, kumohon jangan lakukan? Aku baik-baik saja,"
Aku mendesah dan menghela napas berat. Ia menyentuh pipi Nesya dan menatap matanya dalam. "Bagaimana bisa ada orang yang tega menyakiti istriku yang lembut dan baik ini? Di saat seperti ini, kamu malah memikirkan perasaan orang lain, ck!" aku mendecakkan lidah di akhir kalimat dan agak kesal. Tapi gadis itu bahkan memandang dengan raut wajah memelas seperti itu.
Astaga!
Setelah menghela napas berat dan mengangguk kecil menyetujui permintaannya, aku lalu menarik tubuh gadis itu ke dalam pelukanku. Dia memeluk begitu erat.
“Kalau ada yang menyakitimu … cukup bilang, aku yang akan berdiri di depan kamu. Siapapun, tidak ada yang boleh menyakiti istriku, bahkan itu adalah keluargaku sendiri. Aku tidak akan pernah membiarkannya. Ini yang terakhir kalinya aku menyetujui permintaanmu, Nesya,"
Nesya akhirnya pecah lagi dalam pelukannya. Tapi kali ini, bukan karena luka, tapi karena rasa aman dan haru pada suaminya itu.
...* * *...
"Jadi, tidak perlu melakukannya, Tuan muda?" Suara Sam terdengar, memastikan lagi keputusan itu. Tadinya, Sekretarisnya itu ingin memberi pelajaran pada Claudia, tantenya Firhan dengan mencabut saham mereka pada perusahaan designer fashion, agar perusahaan itu bangkrut, dan tentu saja itu yang sangat ingin Firhan lakukan awalnya. Tapi setelah mendengar permintaan Nesya, lelaki itu mengurungkan niatnya dan akhirnya meminta untuk membatalkan tindakan itu.
"Ya, tidak perlu. Cancel semua perintah tadi, Sam. Itu permintaan Nesya, dan aku tidak ingin mengecewakannya,"
"Baik, Tuan muda. Tapi saya pastikan, akan berbicara pada Nyonya Claudia besok, agar kedepannya tidak terjadi lagi,"
"Itu juga tidak perlu," tukas Firhan cepat-cepat.
Sam mengernyitkan alis, heran dengan apa yang didengarnya. Tidak seperti biasanya.
"Maaf, Tuan muda?"
"Iya, tidak perlu, Sam! Biar aku yang melakukannya,"
"Baik, Tuan muda," sahut Sam akhirnya. Meski pernyataan Firhan membuatnya cukup heran dam tidak yakin, tapi pada akhirnya iya menyetujui. Namun biar bagaimanapun sekretarisnya ini harus tetap waspada dan mengawasi nantinya karena dia tahu, Claudia cukup licik orangnya.
"Pergilah istirahat, Sam. Minta salah satu pelayan menyiapkan kamar untukmu. Aku tahu kau pasti lelah," Sahut Firhan akhirnya. "Terima kasih atas kerja kerasmu hari ini!" lanjut Firhan menepuk pundak pria berotot itu, kemudian berlalu setelah Sam menunduk Sopan.
Pintu kamar terbuka pelan. Firhan masuk, menutup pintu tanpa suara. Lelaki itu memang sempat pamit tadi pada istrinya untuk menemui Sam.
Malam telah larut. Lampu kamar dimatikan, hanya cahaya temaram dari lampu tidur yang menyala hangat. Nesya duduk di pinggir ranjang, punggungnya sedikit membungkuk, masih menyeka sisa airmata di pipinya. Gaun indahnya sudah terganti dengan piyama satin lembut berwarna nude. Firhan melihat punggung Nesya, lalu perlahan berjalan mendekat dan berlutut di depannya
“Sini … liat aku!"
Nesya menatap Firhan dengan mata yang masih merah, tapi ada kelegaan saat melihat wajah suaminya.
“Kamu udah cukup kuat hari ini. Tapi sekarang waktunya kamu rebahin semua capek itu di aku."
Firhan menarik tangan Nesya dan membawanya ke dalam pelukannya. Ia duduk di lantai, membiarkan Nesya bersandar di dadanya, membelai rambutnya dengan lembut. Firhan mencium puncak kepala istrinya.
"Mau pulang? Kita bisa pulang, Sayang, jika kamu mau," tanya Firhan menawarkan.
"Tidak perlu, Sayang. Lagipula sopir juga telah istirahat sekarang ini,"
Senyum simpul Firhan merekah diam-diam di balik punggung Nesya. Lagi-lagi masih memikirkan orang lain!
“Maaf membuatmu merasa tidak nyaman di sini. Maaf atas sikap tante Claudia,"
Nesya melepaskan pelukan, lalu memandang suaminya itu sejenak. "Dari mana kamu tahu?"
Firhan menghela napas. Rupanya gadis itu masih belum menyadari. Dia pikir bisa melindungi semua orang.
"Sayang, di sini banyak pelayan dan bodyguard. Dan kamu tahu, kan, itu artinya telinga keluarga ini di mana-mana,"
Nesya menghela napas, seperti baru menyadari sesuatu. Dia bergidik ngeri.
"Jadi, ada yang melapor padamu?"
"Ya, ada yang melapor pada Sam, lalu memberitahuku,"
"Sam?"
"Iya, Sam. Dia sekretarisku, Sayang. Baik di kantor maupun di luar kantor. Jadi dia yang bertanggungjawab dan menghandle semuanya,"
"Sam yang kamu maksud itu, cowok berotot, tubuh besar, yang memiliki brewok tipis dan mengikuti kamu sejak pesta tadi, kan?" tebak Nesya.
Firhan mengangguk
"Tadi kamu pamit menemuinya, ada apa?" tanya Nesya saat mengingat sesuatu.
"Membicarakan tentang Tante Claudia, tapi sudah aman,"
"Oh." Gadis itu kembali masuk dalam pelukan Firhan. Mendengar itu, Nesya kembali melemah
"Dengar, mereka cuma bisa lihat masa lalumu, karena mereka gak sanggup nyentuh masa depanmu. Dan masa depanmu sekarang, itu bersamaku. Aku, yang setiap hari bakal bilang kamu berharga, cantik, dan layak dicintai. Mengerti?"
Anggukan lemah gadis itu nampak yang masih menenggelamkan wajah di dada bidang lelaki itu, dalam pelukan erat.
“Kamu tidak malu punya istri kayak aku?”
“Kalau ada hal paling aku banggain di hidup ini, itu adalah kamu. Kamu, tuh, bukan hanya istriku, tapi kamu juga seperti rumah untukku,”
"Terima kasih," cicit gadis itu. Firhan tersenyum dan menghela napas lega. Sepertinya istrinya agak tenang dan tidak overthinking lagi, terlebih cemas.
Perlahan, Firhan mengangkat tubuh istrinya ala gendongan bridal sambil menatap kedua mata indah itu yang tengah memandangnya. Kedua tangan Nesya melingkar ke leher suaminya itu sebagai pegangan. Kepala lelaki itu lalu tertunduk sedikit dan menempelkan dengan lembut bibirnya ke bibir tipis Nesya. Ciuman mereka cukup intens dilakukan sambil tetap melangkah ke arah tempat tidur. Begitu sampai di ranjang, tubuh itu lalu dibaringkan yang bersamaan itu pula ciuman mereka terlepas. Firhan ikut berbaring di sampingnya kemudian menarik selimut dan menyelimuti tubuh mereka berdua. Ia menarik Nesya ke dalam pelukannya, menaruh dagunya di atas kepala istrinya.
“Kamu boleh rapuh malam ini, tapi besok kamu akan bangun jadi perempuan paling kuat yang aku kenal. Dan aku akan selalu ada di sini, setiap kali kamu butuh tempat pulang," bisik pria itu.
Nesya akhirnya tersenyum kecil dengan tatapan haru lalu mencium dada Firhan pelan. “Makasih sudah jadi rumah yang tidak pernah meninggalkan aku,"
Keduanya diam. Hanya suara detak jantung Firhan yang terdengar, jadi pengantar tidur untuk Nesya. Di luar, bulan menggantung indah, seolah ikut menyaksikan cinta mereka yang tenang dan tulus.
"Sayang, pengen ... boleh, tidak?"
Nesya tergelak. "Fir, bisa tidak, sih, kalau kamu ingin melakukan hubungan suami-istri, tidak perlu tanya?"
"Kenapa?" tanyanya polos menatap istrinya yang kini mendongakkan wajah.
"Ya ... Maksud aku, kamu tidak perlu bertanya! Kalau ingin, cukup lakukan. Kalau kamu tanya, itu jadi membuat aku awkward dan malu!" akui Nesya yang membuat Firhan tertawa.
"Kapan, sih, kamu berhenti menggemaskan, hm?"
"Jadi, mau tanya-jawab atau—"
Belum-belum Nesya menyelesaikan kalimatnya, suaminya itu menyelanya dengan ciuman. Ciuman yang lembut dan intens. Malam itu, mereka melakukan hubungan layaknya suami-istri dengan penuh gairah dan cinta, perasaan bahagia. Malam dilewati dengan penuh desahan satu sama lain.
...* * *...
Pagi harinya, suasana rumah besar keluarga Firhan kembali tenang. Tampak di ruang makan privat tempat para keluarga inti biasanya makan bersama. Pagi itu Firhan sengaja meminta pelayan untuk membawakan makanan di kamarnya saja, karena lebih memilih sarapan berdua di kamar mereka, mengingat kejadian yang menimpa istrinya dengan Tante Claudia. Biasanya para keluarga harus makan bersama di ruang makan, tapi khusus hari ini, Firhan izin pada ayahnya untuk tidak bergabung.
Tante Claudia duduk bersantai sambil menyeruput teh di ruang keluarga. Wajahnya masih penuh gengsi dan senyum merendahkan. Wanita itu tampak berbincang dengan ibunya Firhan dan tiga Tante lainnya yang merupakan ipar dan saudara ayahnya.
Setelah sarapan, Firhan lalu pamit pada istrinya untuk keluar kamar sebentar. Sebenarnya dia ingin menemui Tante Claudia, tapi Firhan sengaja tidak memberitahu bagian itu pada Nesya. Dia tidak ingin mood buruk istrinya kembali datang
Begitu memasuki ruang keluarga—sesuai informasi terakhir dari Sam, tentang keberadaan tantenya, raut wajahnya dingin Firhan tampak, meski penuh kontrol—tapi tatapannya tajam.
“Tante Claudia?" panggil Firhan dengan nada tegas, namun tetap sopan, saat berdiri tak jauh dari sofa.
Tante Claudia menoleh, tersenyum basa-basi. “Oh, Firhan, sudah bangun? Gimana semalam? Istrimu betah tidak di tengah-tengah keluarga baru?”
Firhan menatap lurus, tidak membalas senyum itu. Raut wajahnya defensive. “Saya cuma mau bilang satu hal, Tante. Saya tahu apa yang Tante katakan ke Nesya tadi malam,"
Wajah Tante Claudia sedikit berubah. Tapi ia tetap mencoba tersenyum. “Ah … masa hal sepele harus dibesar-besarkan, Han. Tante cuma bicara kenyataan—"
“Kenyataan yang tidak perlu diungkit di acara bahagia seseorang,” potong Firhan, suaranya tenang namun menusuk.
“Tante mungkin menganggap Nesya bukan bagian dari 'kelas' kita. Tapi bagi saya, dia adalah bagian terbaik dari hidup saya. Dan tidak akan ada satu pun yang boleh membuatnya merasa rendah. Termasuk keluarga saya sendiri,"
Orang-orang dalam ruangan itu ikut tegang, tapi lebih memilih hanya diam mendengarkan, terlebih ibunya Firhan. Karena semua orang tahu, Firhan sangat tidak suka orang-orang mengganggu 'kepunyaannya' terlebih ikut campur dengan urusannya.
Tante Claudia mencoba tertawa kecil. “Firhan, kamu terlalu sensitif—”
“Tidak, Tante. Saya cuma mencintai istri saya dengan cara yang tidak biasa dimengerti oleh orang-orang yang hanya menilai manusia dari asal-usul dan saldo rekening,"
Sunyi. Semuanya tertunduk. Tapi ibunya Firhan diam-diam tersenyum tipis dalam pandangan ke arah lain. Ya, dia tahu tentang masalah semalam. Sebenarnya dia ingin menegur adiknya itu atas kelancangannya, tapi suaminya menahannya dan tahu kalau Firhan bisa menyelesaikan sendiri dengan caranya sendiri tentunya.
“Saya harap ... ini terakhir kalinya Tante bicara seperti itu ke Nesya. Karena kalau tidak, saya akan pilih berdiri di pihak istri saya ... dan menjauh dari siapapun yang menyakitinya. Termasuk keluarga sendiri,"
Firhan lalu pamit dengan tenang, meninggalkan ruangan tanpa menoleh lagi. Sedangkan Tante Claudia berdecak kesal karena tidak menyangka, keponakannya yang selama ini menghormati dan memprioritaskannya, kini bersikap seperti itu. Dia pikir, Firhan tidak akan bertindak sejauh ini, tapi ternyata dugaannya salah.
Malam harinya, Nesya duduk di balkon kamar mereka. Udara sejuk. Bintang bersinar lembut. Di tangannya ada sebuah buku kecil. Ia membuka halaman kosong dan mulai menulis.
Untuk diriku yang dulu,
Aku tahu kamu lelah. Kamu sering menangis dalam diam, berharap ada tangan yang menggandengmu.
Sekarang, tangan itu ada. Namanya Firhan. Kamu berhasil, Nesya. Kamu bertahan, kamu tidak menyerah.
Dan meskipun tidak semua orang menerimamu, kamu punya dirimu sendiri yang selalu percaya.
Terima kasih, karena tidak menyerah.
Air mata mengalir pelan, tapi kali ini sambil tersenyum.
Dari balik pintu, Firhan memperhatikannya. Ia lalu menghampiri dan duduk di sampingnya. “Boleh aku baca?” bisiknya lembut.
Nesya hanya menggeleng manja. “Nanti, mungkin nanti.”
Firhan menggenggam tangannya, mengecup keningnya pelan.
“Aku janji, selama aku hidup, tidak akan ada hari di mana kamu merasa sendirian lagi,"
Nesya menyandarkan kepala di bahunya. Malam itu, sekali lagi ia bersyukur atas apa yang telah ia miliki, terlebih kehadiran Firhan di hidupnya. Bukan tentang kekayaan lelaki itu, tapi cinta dan sikap penuh kasih sayang suaminya. Bahkan perhatian dan kepeduliannya.
Dari Firhan, Nesya bisa merasakan arti keluarga sesungguhnya—terlepas tentang Tante Claudia.
Dari Firhan, Nesya bisa merasakan sosok orangtua di hidupnya.
Dari Firhan, Nesya bisa merasakan ia arti rumah sesungguhnya, merasakan bagaimana ia dicintai di beri perhatian, kepedulian dan ketulusan untuk dirinya.
Setiap saat, setiap menjelang tidurnya, bahkan selama berpuluh-puluh tahun dalam hidupnya, ia selalu berharap dan yakin, suatu hari ada keajaiban untuknya. Dan rupanya, Tuhan mengabulkan itu. Tuhan memberikan Firhan bahkan bersama dengan apa yang lebih dari apa yang di harapkannya.
Gadis malang namun kuat itu, kini menemukan rumah hangatnya. Dan perjalanan panjangnya selama berpuluh tahun itu untuk menemukan 'rumah' kini memiliki ujung yang indah.
Dan semoga, tidak ada lagi Nesya-Nesya lainnya di luar sana yang sama menderitanya dengan perjalanan hidupnya.
Meski sekalipun ada, semoga perjalanan lelah mereka menemukan ujung bahagianya juga.
Bisik Nesya dalam hati kecilnya sambil berbaring di lengan suaminya dalam pelukan, seraya memandang suaminya yang sedang berbaring di sebelahnya.
...* * * *...
aku mau tau kelanjutannya!:?
mampir juga yuk ke karya ku:)