Setelah mengusir Arya Widura dari Madangkara, Permadi dan Shakila menjadi orang kepercayaan Prabu Wanapati. Hubungan Dewi Garnis dan Widura pun kandas. Akan tetapi, Widura bersumpah, tidak akan pernah berhenti membongkar kedok Permadi dan Shakila sebagai orang Kuntala. Dewi Garnis dan Raden Bentar berjanji untuk membersihkan nama baik Widura.
Ternyata, bukan hanya Widura saja yang tahu identitas Permadi dan Shakila, ada orang lain lagi, seorang laki-laki misterius yang selalu mengenakan cadar hitam. Lewat si cadar hitam, Bentar dan Garnis mendapatkan kebenaran tentang siapa Permadi dan Shakila itu. Mereka adalah orang-orang licik yang berusaha untuk menggulingkan Kerajaan Madangkara dan mengembalikan kejayaan Kerajaan Kuntala. Menghadapi orang seperti mereka tidak bisa menggunakan kekerasan akan tetapi, harus menggunakan siasat jitu. Berhasilkah Bentar dan Garnis membongkar kedok mereka ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eric Leonadus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Babak Kedua Puluh Tujuh
# 27
Kita tinggalkan sejenak Dewi Garnis dan Shakila. Sekarang, mari kita ikuti perjalanan Raden Bentar dan Permadi yang dikawal dengan 10 prajurit khusus menuju Banten Girang. Setelah berkuda dua hari, satu malam, rombongan Raden Bentar tiba di tepian sungai CIKAPUNDUNG. Dengan berjalan menyusuri tepian sungai, mereka sampai di jalanan berbatu yang pada sisi kanan dan kirinya terbentang sebuah padang ilalang.
Raden Bentar dan Permadi menarik tali kekang kuda saat sampai di sebuah tanah lapang yang ternyata merupakan sebuah dataran tinggi. Sejauh mata memandang yang tampak hanyalah padang rumput yang hijau. Raden Bentar terkesima dengan pemandangan di sekitar bentangan sungai Cikapundung. Selain sungai itu besar, panjang dan berkelok – kelok bagai seekor ular naga raksasa membelah daratan berbatu, arusnya cukup deras. Cahaya matahari yang memantul di permukaan air, memancarkan sinar putih keperakan yang seakan berjalan saling kejar, berlomba saling mendahului. Suara – suara alam memanjakan telinga para pendengarnya membuat mereka enggan untuk meninggalkan tempat itu, tak terkecuali Raden Bentar.
“Untuk sementara, kita beristirahat dulu di tempat ini, Saudara Permadi,” kata Raden Bentar.
“Pemandangan Sungai Cikapundung ini memang indah sekali, Saudara Bentar. Udaranya cukup sejuk dan jauh dari keramaian,” Permadi menimpali, “Sebenarnya, tak jauh dari tempat ini, ada sebuah kota kecil namun cukup ramai. CIKARUI,”
“Oh, ya ? Tampaknya Saudara Permadi paham betul daerah di sekitar dini. Apakah Saudara Permadi kelahiran tempat ini ? Dan bukankah tempat ini salah satu wilayah Kuntala ?”
Permadi tersenyum kecut, sebagai salah seorang Kuntala, tentunya paham sekali dengan daerah – daerah di sekitar Banten Girang, kedoknya nyaris terbongkar tapi, karena kelicikannya, ia berhasil menutupi rasa kikuk dan kagetnya itu.
“Apakah Raden lupa ... sebelum saya mengabdikan diri pada Kerajaan Madangkara, saya adalah seorang pedagang ? Sebagai seorang pedagang saya banyak merantau kesana – kemari demi sesuap nasi,” jelas Permadi.
“Kau benar, saudara Permadi, aku yang lupa ; selain anda dulunya bekas seorang pedagang, Anda adalah seorang pejabat yang baik, setia dan bertanggung jawab. Saya benar – benar kagum,” puji Bentar.
“Anda terlalu berlebihan memuji saya, saudara Raden Bentar. Jikalau tanpa anda dan Garnis ... mungkin saya bukanlah apa – apa. Dan saya masih butuh belajar banyak dari Anda berdua ...”
“Kita sama – sama belajar, saudara Permadi. Tanpa belajar, kita bagai orang – orang tolol, nekad dan jumawa. Selama kita masih hidup dan berkelana di dunia yang luas ini ... kita terus belajar dan itu berkelanjutan, selamanya. Tidak ada manusia di kolong langit ini yang paling sempurna. Jika saya boleh bertanya ... apakah yang menjadi impian terbesar Anda, Saudara Permadi ?”
“Aku ingin menjadi orang yang berguna bagi semua umat manusia di dunia ini,” jawab Permadi singkat.
“Oh, ya ? Seperti apa contohnya ?” kembali Raden Bentar bertanya sambil tersenyum simpul, sementara sepasang matanya memandang penuh dengan ketertarikan atas ucapan Permadi itu.
‘Bagus. Dengan demikian, aku bisa mengorek keterangan dan latar belakangnya. Bukannya tidak mungkin, dengan cara seperti ini, aku bisa menjebaknya dan mengetahui apa maksud dan tujuannya datang ke Madangkara, berikut alasan mengapa ia mencelakai Widura seperti yang telah disampaikan oleh Si Topeng Emas,’
“Sebagai bekas seorang saudagar ... aku ingin mencari pelanggan sebanyak – banyaknya. Itu berarti kualitas dan kuantitas barang harus sesuai dengan harga yang kutawarkan. Dengan kualitas dan kuantitas barang yang baik, tentu saja harganya mahal; Bila barangnya biasa – biasa saja tidak bagus dan tidak jelek, harganya pun standar; Bila barangnya jelek, tentu saja harganya, murah, bukan ?” jelas Permadi.
“Itu benar, Saudara Permadi. Disesuaikan,” tukas Raden Bentar.
“Sekarang ... saya menjadi salah satu punggawa Istana Madangkara. Sebuah negeri yang kecil namun subur, makmur, aman, tentram dan damai. Nah, sebagai seorang punggawa, saya mengabdikan diri sepenuhnya pada kerajaan. Dengan demikian, maka, kita harus menjadi contoh atau panutan bagi rakyat juga kerajaan – kerajaan lain di sekitar Madangkara ini. Bagaimana membuat hidup rakyat itu lebih baik dan makmur sejahtera serta bahagia ? Bukannya membuat mereka hidup menderita dalam jurang kesengsaraan dan kemiskinan,” Permadi menghentikan pembicaraannya saat Raden Bentar memerintahkan kesepuluh prajurit pengawalnya beristirahat di tempat itu.
Setelah mencari tempat yang nyaman untuk beristirahat dan menambatkan kudanya masing – masing di tempat sejuk, teduh dan banyak rumput – rumputan hijau dan segar, kedua pemuda itu kembali berbincang – bincang. Bentar menempatkan dirinya sebagai pendengar yang baik.
“Andaikata saya menjadi raja, ingin seperti Sang Prabu Wanapati yang berani bertindak tegas, adil, bijaksana dan arif ... bahkan rela merendahkan diri, mengabaikan pangkat dan kedudukan sebagai raja demi rakyatnya. Saya takkan pernah melupakan kebaikan hati beliau bahkan seumur hidup saya, tidak pernah berjumpa dengan seorang raja yang rela merendahkan diri dan melupakan kedudukannya sebagai raja demi menjenguk seorang punggawa yang tak berguna seperti Shakila, adik saya,” ujar Permadi dengan perasaan haru.
“Begitulah sifat Rayi Prabu Wanapati... sifat ayahanda Brama menurun kepadanya walau terkadang keras terhadap para punggawanya tapi di balik itu belua adalah seorang yang rendah hati,” kata Bentar sambil tersenyum.
“Untuk meraih impian dan cita – cita .... ada harga yang harus dibayar, murah atau mahal, bagiku itu tak masalah. Bagi saya ... impian dan cita – cita itu laksana borok yang tak kunjung sembuh, duri dalam daging, kutu yang merayap dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Gatal dan itu menyiksa. Namun, selama nafas ini menjadi pemacu segala proses sirkulasi dalam tubuh, jantung berdetak, berpacu dengan sang waktu .... saya takkan berhenti sebelum impian dan cita – cita itu terwujud,” kata Permadi dengan suara bergetar dan pandangannya tampak berapi – api.
“Luar biasa, Saudara Permadi .... saya bisa merasakan gelora api semangat membakar dari setiap kata yang Anda lontarkan. Saya kagum sekali, Apakah Anda menyimpan dendam pada seseorang, sampai – sampai ... kata – kata anda itu begitu berapi – api ?” pancing Raden Bentar.
“Ini bukan masalah dendam atau apa, saudara Bentar. Akan tetapi, ini dem i mewujudkan sebuah negeri yang aman, adil, makmur dan sejahtera ... badai sedahsyat apapun akan saya terjang, apapun akan saya korbankan demi impian saya itu, walau nyawa taruhannya,” Permadi menandaskan.
‘Hm, dari sini aku bisa menebak kemana arah pembicaraannya. Benar, secara tidak langsung ia menginginkan kekuasaan dan mengancam siapa saja yang menghalanginya, akan disingkirkan. Baiklah, untuk sementara sampai disini dulu. Cepat atau lambat, kedoknya pasti akan terbongkar. Aku sudah berhasil memancingnya untuk berkata jujur. DIA INGIN MENJADI RAJA. Bukannya tidak mungkin, kedudukan Rayi Prabu akan terancam’ kata Bentar dalam hati.
“Saudara Bentar, mengapa anda menatap saya seperti itu ?”
Pertanyaan Permadi ini mengejutkan Raden Bentar yang bengong dan menatap Permadi tanpa berkedip.
Raden Bentar tersenyum lalu berkata, “Saya menyesal karena tidak bertemu dengan Anda dari dulu, Saudara Permadi,” Pandangannya beralih ke seberang sungai Cikapundung, “Dunia ini begitu luas, saya rasa sulit sekali menemukan orang – orang yang berjiwa ksatria seperti Anda. Madangkara akan banyak membutuhkan orang – orang tersebut. Dari sekian banyak orang itu ... mungkin, hanya beberapa saja yang benar – benar memperhatikan kepentingan rakyat, selebihnya ... mereka hanya menebar popularitas dan lebih mendahulukan kepentingan pribadi daripada kepentingan rakyat,” ujar Raden Bentar.
“Hal tersebut tidak bisa dipungkiri, sudah ada sejak jaman dahulu, saudara Raden Bentar,” sahut Permadi, “Jadi, kita harus pandai – pandai menilai seseorang,”
“Itu tidak sesederhana yang kita pikirkan, Saudara Permadi. Seperti ada peribahasa .... DALAMNYA LAUTAN BISA DIUKUR, AKAN TETAPI .... HATI SESEORANG, SIAPAPUN TIDAK BISA MENEBAKNYA,” ujar Raden Bentar sambil tertawa demikian pula Permadi.
“Oh, ya ... tak jauh dari sini, ada sebuah dusun kecil yang bernama Ciberas. Sebuah pasar kecil tapi ramai sekali ..., saya hendak membeli beberapa pakaian, makanan dan minuman, apakah Anda ingin pergi bersama dengan saya ?”
“Maaf, Saudara Permadi ... saya ingin melepas lelah disini barang sebentar... sekujur tubuh saya serasa kaku dan dilemaskan sedikit. Anda, pergilah Saudara Permadi ... berhati – hatilah dan cepatlah kembali,” kata Raden Bentar sambil merebahkan tubuhnya diatas sebuah batu besar.
“Baik, Saudara Raden Bentar, saya pergi dulu dan akan kembali secepatnya bila sudah mendapatkan barang – barang itu,” ujar Permadi sambil melepaskan tali kudanya dan bergegas meninggalkan tempat itu ke arah Utara. Bentar hanya memandangi punggung Permadi hingga menghilang di tikungan jalan. Sepeninggal Permadi, ia menoleh ke arah dua orang prajurit yang sedang duduk tak jauh dari tempat Raden Bentar berbaring.
“Kalian berdua ... tolong bantu saya untuk mengikuti kemana ia pergi. Cukup dari jauh saja agar tidak menimbulkan kecurigaan. Jika terjadi apa – apa padanya, segera laporkan kepadaku,”
“Daulat, Raden ...” sahut kedua prajurit itu, untuk kemudian segera bergegas mengikuti Permadi.
..._____ bersambung _____...