Dikhianati dan difitnah oleh selir suaminya, Ratu Corvina Lysandre terlahir kembali dengan tekad akan merubah nasib buruknya.
Kali ini, ia tak akan lagi mengejar cinta sang kaisar, ia menagih dendam dan keadilan.
Dalam istana yang berlapis senyum dan racun, Corvina akan membuat semua orang berlutut… termasuk sang kaisar yang dulu membiarkannya mati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arjunasatria, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
“Tidak, Yang Mulia! Count Felix berbohong!” teriak Meriel dengan suara bergetar. Air mata menetes dari sudut matanya, jatuh membasahi pipinya yang pucat pasi. “Aku tidak mungkin melakukan itu … aku tidak akan mengkhianati Yang Mulia Kaisar!”
Ia berlutut, menggenggam ujung gaun nya seolah mencari kekuatan. Wajahnya benar-benar pucat, matanya ikut memohon, ia terlihat sangat menyedihkan, dan ia menatap semua dewan kerajaan. Wajah polos dan menyedihkan itu nyaris meyakinkan siapa pun yang tak mengenalnya.
Namun Corvina yang berdiri di sisi ruangan, memandangi pemandangan itu tanpa berkedip. Di balik ketenangannya, dadanya sebenarnya terasa sesak. Adegan itu terlalu mirip dengan masa lalunya, saat dirinya menangis dengan cara yang sama, memohon agar ada satu orang saja yang percaya bahwa ia tidak bersalah. Tapi waktu itu, tak ada yang berpihak padanya.
Cassian menatap Meriel cukup lama, seolah menimbang. “Jadi menurutmu, semua ini hanya kebohongan Count Felix?” tanyanya pelan, tapi setiap kata mengandung tekanan halus yang membuat udara di ruangan ikut menegang.
Meriel mengangguk cepat. “I—Iya, Yang Mulia! Aku tidak tahu apa pun! Dia pasti menjebakku!”
Cassian bangkit dari singgasananya. Langkahnya pelan, tapi setiap tapak terdengar jelas di antara keheningan aula. Ia berhenti di depan Meriel, menatapnya dari atas.
“Lalu bagaimana dengan pelayanmu?” suaranya nyaris seperti bisikan, tapi tajam. “Dia juga berbohong? Padahal dia mengaku membawa surat itu atas perintahmu.”
Wajah Meriel seketika membeku. Tangisnya mereda sesaat, digantikan kebingungan yang terlalu cepat untuk disembunyikan.
Corvina menatap perubahan kecil di wajah Meriel. Sudut bibirnya terangkat samar, ia tahu kalau Meriel akan mencari cara untuk mengelak kebenaran itu.
“Grand Duke Theon,” kata Cassian akhirnya, tanpa mengalihkan pandangan dari Meriel. “Periksa kamar Lady Meriel. Aku ingin semua surat dan dokumen pribadinya dibawa ke sini.”
Theon menunduk patuh. “Siap, Yang Mulia.”
Saat para prajurit bergegas keluar, Meriel mendadak menjerit, “Tunggu! Tidak perlu! Aku bisa jelaskan semuanya!”
Tapi suara itu hanya menggantung di udara, tenggelam di antara langkah-langkah prajurit yang menjauh dan tatapan Corvina dan para dewan kerajaan yang menatap Meriel tajam.
Cassian menatap Meriel dengan dingin. “Jelaskan,” katanya tanpa nada, seolah hanya menguji seberapa jauh wanita itu berani berbohong di hadapannya.
Meriel menelan ludah, matanya liar mencari pegangan. “Surat itu … aku hanya meneruskan pesan dari pelayan Felix! Aku tidak tahu isinya! Aku hanya … hanya ingin membantu menjaga hubungan baik antar bangsawan…” katanya terbata-bata, tangannya bergetar.
Corvina mengangkat dagu sedikit, menatap Cassian. “Kalimat yang indah untuk menyamarkan pengkhianatan,” ujarnya pelan. “Tapi terdengar terlalu di buat-buat, sampai aku tidak paham apa yang Lady Meriel ucapkan.”
Meriel menoleh ke arahnya, mata yang basah kini menatap Corvina penuh kebencian. “Yang Mulia Ratu menipuku! Ratulah yang menjebakku!” teriaknya, menunjuk Corvina dengan jarinya yang gemetar. “Dia pasti iri karena aku mendapat banyak cinta dari Yang Mulia Kaisar!”
Ruangan yang tadinya hening, langsung ribut seketika karena Bisik-bisik para dewan kerajaan. Corvina menatap Meriel tajam.
"Berani-beraninya kamu melimpahkan kesalahanmu padaku!" Bentak Corvina marah.
Cassian memejamkan mata sejenak, menahan amarahnya. “Cukup.” Suaranya dalam dan dingin. “Jangan bawa hal pribadi di hadapan pengadilan.”
Corvina tidak lagi bersuara, hanya menunduk sedikit sebagai tanda tunduk pada perintah Kaisar. Tapi tatapannya tetap lurus pada Meriel.
Beberapa saat kemudian, Theon kembali masuk. Di tangannya, seikat surat dan pita segel berwarna merah. Ia meletakkannya di hadapan Cassian.
“Kami menemukannya di ruang pribadi Lady Meriel,” lapornya.
Cassian menatap surat-surat itu tanpa ekspresi. Ia membuka salah satunya, membaca cepat, lalu diam.
“Surat ini,” katanya akhirnya, “ditulis dengan kode yang sama dengan pesan yang dikirim ke Brione.” Ia mengangkat tatapannya pada Meriel. “Mau bilang juga itu bukan punyamu?”
Meriel tampak kehilangan kata. Air mata yang tadi mengalir kini kering, berganti dengan wajah pucat pasi. “Yang Mulia … aku … aku tidak tahu bagaimana semua itu bisa ada di sana…”
Cassian berdiri, suaranya tenang tapi menakutkan. “Bawa dia ke ruang tahanan istana!”
Dua prajurit maju, menggenggam lengan Meriel. Ia menjerit, berusaha melepaskan diri, “Yang Mulia Kaisar! Aku melakukannya karena aku mencintaimu! Aku hanya ingin melindungimu dari Ratu Corvina!”
Cassian terhenti. Untuk sepersekian detik, ia memandang Meriel dan sesuatu di matanya berubah, entah kasihan atau sekadar kelelahan.
Namun ia tetap berbalik. “Melindungi dari apa? Sudah cukup semua kebohonganmu,” katanya dingin, lalu melangkah pergi.
Corvina memandang punggung Cassian yang menjauh, hatinya bergetar entah oleh rasa lega atau getir. Di belakangnya, Meriel menjerit lagi, jeritan yang terdengar seperti suara seseorang yang akhirnya sadar bahwa kepura-puraannya tak bisa lagi di jadikan tempat untuk melindungi diri.
Begitu dua prajurit menarik lengannya, Meriel tiba-tiba terhuyung. Tubuhnya melemas, kepala terkulai, dan dalam sekejap ia terjatuh di lantai marmer aula.
“Yang Mulia! Lady Meriel pingsan!” seru salah satu prajurit dengan nada panik.
Cassian menoleh, wajahnya tetap datar, hanya matanya yang sedikit menyipit. “Panggil tabib istana.”
Namun Corvina tidak bergerak. Ia menatap tubuh Meriel di lantai dengan tenang, memperhatikan setiap detail, tangan yang menggenggam terlalu rapat, dada yang naik turun tidak beraturan tapi terlalu cepat untuk seseorang yang benar-benar tidak sadar.
“Pingsan yang sangat rapi,” ucap Corvina lirih, hampir seperti gumaman.
Theon yang berdiri di sisinya menatap sekilas, lalu berbisik, “Anda pikir dia berpura-pura?”
Corvina tidak menjawab langsung. Ia melangkah mendekat, membungkuk sedikit, dan menyentuh pergelangan tangan Meriel. Lembut, tapi cukup untuk membuat Meriel refleks menegangkan jarinya.
Sudut bibir Corvina terangkat samar. “Nadi orang pingsan biasanya tidak bereaksi terhadap sentuhan, Grand Duke,” katanya pelan, tapi cukup keras untuk semua orang di ruangan itu mendengar.
Bisik-bisik langsung memenuhi aula. Beberapa bangsawan menunduk, sebagian pura-pura sibuk menatap lantai, takut ikut terseret.
Cassian menatap Corvina tajam. “Apa maksudmu?”
Corvina berdiri lagi, tapi masih tetap tenang. “Maksudku, Yang Mulia, Meriel masih cukup sadar untuk mendengar kita bicara. Ia sepertinya hanya sedang mencari simpati.”
Sekilas, Meriel tampak menahan napas lalu, seperti terpojok, ia perlahan membuka mata. Pandangannya berputar, dibuat seolah bingung. “Yang Mulia Kaisar … aku … aku tak kuat … semua ini terlalu kejam…” katanya lirih.
Cassian menarik napas panjang, menatapnya lama tanpa bicara. “Kalau begitu,” katanya akhirnya, suaranya rendah tapi keras, “bawa dia ke ruang medis istana. Setelah diperiksa tabib, baru ke ruang tahanan. Pastikan tidak ada lagi yang berani menyentuhnya tanpa izin.”
“Baik, Yang Mulia.”
Saat Meriel dibawa pergi, Corvina menatap punggung wanita itu dengan sorot mata yang sulit ditebak antara puas dan berhati-hati. Ia tahu, Meriel belum menyerah. Pura-pura pingsan hanyalah jeda sebelum dia merencanakan langkah berikutnya.
bertele2