Dibuang oleh ibu, dipertemukan oleh takdir, dan diakhiri oleh waktu.
Hidup Angkasa mungkin singkat,
tapi cintanya… abadi dalam setiap detak jantung yang ia tinggalkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Memori ruang tunggu
Serpihan kaca itu meledak di keheningan apartemen, suaranya seperti tembakan yang merobek selubung ketenangan palsu yang telah Laras bangun selama delapan belas tahun. Cairan oranye yang lengket menyebar di atas lantai marmer Italia, menggenang di sekitar pecahan kristal yang berkilauan seperti permata yang hancur.
Bi Inah, asisten rumah tangganya, tergopoh-gopoh keluar dari dapur, wajahnya pias.
“Nyonya? Nyonya tidak apa-apa?”
Laras tidak menjawab. Ia tidak merasakan apa-apa. Tangannya masih tergantung di udara, kosong, jemarinya sedikit gemetar, masih merasakan hantu dari gelas yang baru saja terlepas. Matanya terpaku pada surat di pangkuannya. Amplop putih murah dengan tulisan tangan yang canggung. Sebuah artefak dari dunia lain, dari kehidupan yang telah ia kubur dalam-dalam.
Bima muncul dari kamar tidur, dasi sutranya setengah terpasang. Alisnya bertaut melihat kekacauan di lantai.
“Ada apa ini? Laras, kamu ceroboh sekali.” Nadanya lebih terdengar kesal daripada khawatir.
“Bi, cepat bersihkan ini. Nanti mengotori karpet.”
“Maaf, Tuan,” cicit Bi Inah sambil bergegas mengambil alat pembersih.
Bima menatap istrinya yang membeku.
“Kamu kenapa? Seperti lihat hantu saja. Ayo, kita bisa terlambat ke bandara.”
Laras akhirnya menoleh, tetapi tatapannya kosong, menembus suaminya seolah Bima hanyalah selembar kaca.
“Kamu berangkat saja duluan, Mas. Tiba-tiba aku… nggak enak badan.”
“Nggak enak badan?” ulang Bima, menatap sang istri ragu.
“Tadi baik-baik saja. Ini pasti gara-gara surat aneh itu, kan?” Ia melirik amplop di pangkuan Laras dengan tatapan jijik.
“Sudah kubilang, surat-surat sumbangan tidak jelas seperti itu buang saja.”
“Ini bukan surat sumbangan,” bisik Laras, suaranya serak.
Ia tidak perlu menjelaskan lebih jauh. Ia hanya perlu menyendiri. Dengan gerakan lambat seperti robot, ia berdiri dan berjalan menuju ruang kerjanya, meninggalkan Bima yang mendengus kesal dan Bi Inah yang berjongkok membersihkan dosa-dosa masa lalunya dari lantai yang mahal.
Di dalam ruang kerja yang sunyi, ia mengunci pintu. Aroma kulit dari kursi dan kayu mahoni dari meja tidak lagi terasa menenangkan. Semua kemewahan ini tiba-tiba terasa seperti sangkar. Ia kembali menatap dua kata dalam surat itu, dua kata yang menjadi kunci pembuka ruang bawah tanah di jiwanya.
Anemia Aplastik.
Dinding ruang kerja yang berwarna krem seakan meleleh, berganti menjadi dinding sebuah restoran mewah berbelas tahun lalu. Denting sendok perak di atas piring porselen terdengar nyaring, tetapi percakapan di meja mereka terasa lebih dingin dari es dalam gelas kristal.
“Jadi, kamu sudah pikirkan tawaranku?” Bima, yang saat itu masih calon suaminya, bertanya sambil memotong steiknya dengan presisi seorang ahli bedah.
Laras mengaduk-aduk minumannya, tidak berselera.
“Ini bukan tawaran bisnis, Mas. Ini anakku.”
“Semua hal dalam hidup ini adalah bisnis, Laras. Transaksi,” jawab Bima tenang, tanpa mengangkat wajahnya dari piring.
“Aku menawarkanmu kehidupan yang tidak pernah bisa kamu bayangkan. Stabilitas, keamanan, kemewahan. Aku akan membiayai pengobatan ayahmu sampai akhir, aku akan memberikanmu rumah, nama keluarga yang terhormat. Sebagai gantinya, aku hanya minta satu hal, kita mulai dengan lembaran yang bersih.”
“Angkasa bukan lembaran kotor!” desis Laras, suaranya tertahan agar tidak menarik perhatian pengunjung lain.
“Dia putraku. Darah dagingku.”
Bima akhirnya meletakkan pisau dan garpunya. Ia menyeka bibirnya dengan serbet kain, lalu menatap Laras dengan sorot mata yang tajam dan tanpa emosi.
“Dengar, aku mengerti posisimu. Tapi coba lihat dari sudut pandangku. Aku sedang membangun sebuah dinasti. Keluarga yang sempurna. Aku tidak bisa membawa masuk… bagasi dari masa lalumu yang, jujur saja, tidak terlalu membanggakan. Seorang anak dari pernikahan yang gagal, dengan latar belakang yang… ya, kamu tahu sendiri.”
Setiap katanya adalah belati beracun. Laras menelan ludah, merasakan tenggorokannya tercekat.
“Apa yang kamu mau aku lakukan? Membuangnya?”
“Tentu tidak. Aku bukan monster,” kata Bima, senyum tipis tersungging di bibirnya. Senyum yang sama yang membuatnya jatuh cinta dulu, yang kini terasa seperti seringai pemangsa.
“Ada tempat yang bagus. Panti asuhan yang dikelola oleh yayasan rekan bisnisku. Fasilitasnya lengkap. Pendidikan terjamin. Jauh lebih baik daripada yang bisa kamu berikan padanya sekarang dengan kondisimu yang serba kekurangan.”
“Aku bisa bekerja…”
“Sebagai apa? Penjaga toko? Dengan gaji pas-pasan?” potong Bima cepat.
“Laras, ayolah, realistis. Apa yang bisa kamu berikan pada anak itu? Kehidupan yang penuh perjuangan? Melihat ibunya banting tulang setiap hari? Atau kamu bisa memberinya kesempatan untuk hidup layak di tempat yang aman, sementara kamu membangun fondasi yang kuat bersamaku. Pikirkan ini sebagai investasi jangka panjang untuknya.”
Logika Bima begitu dingin, begitu kejam, tetapi entah bagaimana terdengar masuk akal di telinga Laras yang saat itu sudah lelah berjuang. Ia lelah miskin. Ia lelah melihat ayahnya sakit-sakitan tanpa bisa memberikan pengobatan terbaik. Ia lelah menjadi janda tanpa nama di kota yang kejam ini.
“Aku… aku bisa mengunjunginya, kan?” tanyanya dengan suara bergetar, sebuah permohonan terakhir.
“Tentu. Di awal-awal,” jawab Bima.
“Tapi pelan-pelan, kamu harus melepaskannya. Demi kebaikan kalian berdua. Aku akan berikan donasi yang sangat besar untuk panti itu atas namamu. Anggap saja sebagai biaya penitipan seumur hidup. Semuanya bersih, Laras. Tidak ada lagi ikatan yang rumit.”
Ia mengulurkan tangannya di atas meja, telapaknya terbuka. Sebuah undangan sekaligus ultimatum.
“Ini pilihanmu, Sayang. Kehidupan baru yang cemerlang bersamaku… atau masa lalu yang akan terus membebanimu selamanya. Kamu tidak bisa memiliki keduanya.”
Laras menatap tangan yang terulur itu, lalu menatap wajah Bima yang penuh keyakinan. Di belakang pria itu, melalui jendela restoran, ia bisa melihat gemerlap lampu kota Jakarta. Sebuah janji akan dunia yang berbeda. Dunia yang aman. Dunia yang nyaman.
Dengan tangan gemetar, ia meletakkan tangannya di atas tangan Bima. Transaksi itu selesai. Anaknya ia tukar dengan sebuah kehidupan.
Jeritan tertahan lolos dari bibir Laras di masa kini, membawanya kembali ke ruang kerja yang pengap. Air mata yang telah ia bendung selama delapan belas tahun akhirnya tumpah, mengalir deras membasahi pipinya yang terawat mahal.
Penyesalan itu menghantamnya bukan seperti ombak, tetapi seperti tsunami. Semua rasionalisasi yang ia bangun selama ini, bahwa ini demi kebaikan Angkasa, bahwa ia membuat pilihan yang sulit tapi benar semua itu hancur lebur.
Surat ini adalah buktinya. Anaknya tidak baik-baik saja. Anaknya sekarat, sendirian di sebuah rumah sakit umum, melawan penyakit yang sama yang telah merenggut nyawa ayahnya. Penyakit yang seharusnya ia lawan bersama putranya. Kebahagiaan yang ia kejar telah dibangun di atas tulang punggung penderitaan anaknya.
Ia meraih ponselnya dengan panik, jarinya yang gemetar kesulitan menekan nomor. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Menemui Angkasa? Apa haknya? Setelah membuangnya, apa yang bisa ia katakan?
Tidak. Ia tidak bisa. Ia terlalu pengecut.
Tapi ia harus melakukan sesuatu. Sesuatu untuk meredakan rasa bersalah yang membakar isi perutnya. Sebuah penebusan dosa, sekecil apa pun. Ia akan membantu. Ia akan menggunakan apa yang menjadi alasan ia meninggalkan Angkasa, uang, untuk menolong orang lain. Siapa saja. Sebagai persembahan bisu untuk semesta, sebagai permintaan maaf yang tak terucap pada putranya.
Ia menekan nomor informasi rumah sakit yang tertera di amplop. Setelah beberapa kali dering, suara operator yang ramah menjawab.
“Selamat siang, Rumah Sakit Kasih Bangsa, ada yang bisa dibantu?”
Laras mencoba menenangkan suaranya, menyamarkan isak tangisnya.
“Selamat siang. Saya… saya mau bicara dengan bagian donasi atau yayasan. Saya ingin memberikan bantuan dana untuk pasien.”
“Baik, Ibu. Boleh saya tahu untuk pasien atas nama siapa?”
“Bukan siapa-siapa,” jawab Laras cepat, nyaris panik.
“Siapa saja. Saya mau membantu pasien yang kondisinya paling mendesak. Anak-anak atau remaja. Tolong carikan satu. Saya akan menanggung semua biayanya. Semuanya.”
Terdengar keheningan sejenak di seberang sana, sang operator mungkin bingung dengan permintaan yang aneh dan mendadak ini.
“Baik, Ibu. Mohon ditunggu sebentar, saya akan cek data pasien prioritas di bangsal anak.”
Laras menunggu, napasnya tersengal-sengal. Jantungnya berdebar kencang. Ini tidak akan mengubah apa pun, ia tahu. Tapi setidaknya, ia melakukan sesuatu. Ia menolong seorang anak, sebagai ganti anak yang telah ia telantarkan.
Beberapa saat kemudian, suara operator kembali terdengar, kali ini lebih bersemangat.
“Terima kasih sudah menunggu, Nyonya. Kami sudah menemukannya. Ada satu pasien remaja laki-laki, usianya tujuh belas tahun. Kondisinya sangat kritis, gagal jantung stadium akhir. Dia masuk daftar prioritas tertinggi untuk transplantasi.”
“Ya. Dia,” kata Laras tanpa ragu.
“Ambil dia. Saya yang tanggung. Siapa namanya?”
“Namanya Gilang, Nyonya.”
setelah ini apa yg akan km lakukan pada Angkasa, Laras