Seorang pria modern yang gugur dalam kecelakaan misterius terbangun kembali di tubuh seorang prajurit muda pada zaman perang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zhar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Desersi tidak bisa dihindari.
Hal itu sudah diperkirakan oleh Surya maupun Mayor Wiratmaja sejak awal.
Takut mati adalah naluri manusia. Banyak pejuang republik masih bertahan di markas hanya karena mereka yakin bala bantuan militer dari luar kota akan segera datang. Ada pula yang berkhayal: bertahan sedikit lama lagi, nanti bisa pulang dengan kepala tegak, dianggap pahlawan. Itu lebih banyak pikiran sang instruktur politik ketimbang kenyataan di lapangan.
Begitu kabar tak ada bala bantuan makin jelas, sebagian mulai goyah.
Situasi kali ini lebih parah: bukan hanya tak ada bala bantuan, bahkan rencana tempur mereka telah bocor ke pihak Belanda. Dan lebih buruknya lagi, mereka tak bisa seenaknya mengganti rencana, karena semua jalur lain sudah tertutup.
Dengan kondisi seperti itu, melarikan diri pun sama artinya dengan menyerahkan diri ke tiang eksekusi.
Namun tetap saja, ada yang nekat.
Mayor Wiratmaja sudah menduga. Ia bersama instrukturnya turun ke barisan, berusaha memberi semangat. Sang instruktur Joko bahkan berapi-api berteriak tentang tanah air, tentang sumpah pemuda, tentang harga diri bangsa.
Tapi semua itu tak banyak mengubah kenyataan: setiap desertir yang kabur membawa serta sebuah rahasia besar bahwa pasukan republik tetap akan mencoba menembus utara, sesuai rencana awal.
Di sisi lain, di pos komando Belanda, Kolonel Van der Laan, kepala resimen infanteri KNIL yang mengepung markas Yogya, menurunkan teropongnya saat matahari terbenam.
Ia sempat terheran-heran. Menurut laporan intel, markas republik di pinggiran kota itu hanya dijaga sisa-sisa laskar, dengan persenjataan seadanya. Bahkan gudang amunisi mereka sudah dipetakan satu per satu, lalu dihantam pesawat Mustang Belanda sejak pagi.
Namun kenyataannya, markas itu masih tegak. Setiap serangan udara dan tembakan artileri hanya membuat bangunan retak, tapi belum roboh. Para pejuang republik terus menembak balik.
Bagi Van der Laan, ini sungguh memalukan. Resimennya, yang sebelumnya ikut merebut kembali Semarang dan Malang, kini harus tertahan berhari-hari hanya oleh satu benteng kecil. Padahal, korban tewas di pihaknya sudah lebih banyak dibanding operasi sebelumnya.
“Berapa lama lagi meriam itu siap?” tanya Van der Laan kepada ajudannya.
“Sekitar setengah jam lagi, Kolonel,” jawab si ajudan.
Van der Laan mengangguk tipis.
Meriam yang dimaksud adalah meriam berat 240 mm yang baru didatangkan Belanda dari Surabaya. Senjata raksasa itu diangkut dengan kereta api, lalu dipasang di pinggiran kota. Beratnya puluhan ton, dengan peluru yang bisa menembus dinding benteng apa pun.
Kolonel yakin, sekali meriam itu memuntahkan api, markas republik akan tinggal puing.
“Kolonel,” tanya ajudannya lagi, “apakah kita perlu mempercepat pengerahan pasukan, supaya bisa langsung menutup jalan bila mereka benar-benar menerobos?”
Van der Laan menoleh. “Kau kira mereka akan sungguh-sungguh menembus utara malam ini, Pieter? Orang republik tidak sebodoh itu. Mereka tahu para desersi akan membocorkan segalanya. Jadi, informasi itu tak ada nilainya!”
Ajudan itu mengangguk, meski wajahnya masih menyimpan ragu.
Saat itu, seorang kurir datang terburu-buru membawa telegram dari pusat. Ajudan membacanya sekilas, lalu wajahnya langsung tegang. Ia menyerahkan kertas itu pada Kolonel.
Van der Laan membaca cepat, lalu matanya menyipit.
“Kau benar, Pieter,” katanya pendek. “Segera perintahkan batalion kedua bergerak ke utara. Perkuat barisan kompi ketiga. Jangan beri celah.”
“Siap, Kolonel!”
Jelas, siasat Surya berhasil.
Lebih tepatnya, bocoran palsu yang dibawa gelombang kedua para pembelotlah yang membuat Belanda terkecoh. Mereka memusatkan kekuatan besar ke arah utara, sementara arah selatan justru relatif longgar. Celah inilah yang menjadi peluang emas bagi para pejuang republik.
Namun Surya masih gelisah. Sejak tadi ia menatap langit, berusaha menebak waktu. Ia sangat rindu sebuah jam tangan. Di masa lalunya, ia terbiasa hidup dengan kepastian detik, menit, jam. Tapi di medan perang ini, semuanya hanya bisa ditebak lewat posisi bulan atau warna langit.
Bagi bangsa yang miskin industri ringan, jam tangan adalah barang mewah. Dan untuk seorang laskar biasa seperti Surya, benda itu hampir mustahil dimiliki.
Tetapi kegelisahan itu harus ditekan dalam-dalam.
Kapten Purwanto komandan kompi mereka muncul dari balik reruntuhan. Dengan suara rendah ia memberi perintah:
“Prajurit, ikut aku!”
Para laskar segera bangkit, menggenggam senjata mereka. Namun ketika mereka sadar bahwa Kapten tidak menuju utara, melainkan ke arah selatan, kebingungan mulai menyebar.
“Apa yang terjadi?” bisik seorang prajurit.
“Kita tidak ke utara?” tanya yang lain dengan ragu.
“Komandan, ke mana kita sebenarnya?”
“Kalian tak perlu tahu,” jawab Kapten Purwanto dingin.
Keheningan yang canggung turun sesaat. Mereka tahu para perwira sengaja menutup rapat tujuan sebenarnya, agar tidak ada yang membocorkan rencana bila ada lagi yang memilih menyerah ke Belanda.
Okta, yang berjalan di sisi Surya, berbisik:
“Kurasa kita akan menuju Jembatan Sinar. Aku mengerti sekarang kita akan bertemu rekan-rekan dari benteng pusat!”
“Mungkin,” jawab Surya pelan.
Tebakan itu hanya separuh benar. Mereka memang bergerak ke arah Jembatan Sinar, tapi bukan untuk menyeberang menuju benteng pusat. Sebaliknya, mereka hendak merebut kembali jalur masuknya, lalu mendorong mundur musuh ke jantung kota.
Sepuluh menit kemudian, mereka tiba di tepian sungai. Dari kejauhan, bayangan Jembatan Sinar tampak muram. Belanda telah mendudukinya, membangun parit-parit terbalik dan pos tembak di kedua ujung jembatan.
Itulah yang disebut benteng terbalik pos pertahanan yang dibangun justru di arah berlawanan dari kemungkinan serangan. Dengan posisi itu, mereka bisa saling melindungi dari sisi seberang, dan jika terdesak, mereka bisa mundur menyusuri badan jembatan yang sempit, memaksa lawan bertempur di lorong maut.
Namun ada kelemahan: bila musuh menyerang dari dua arah sekaligus, taktik itu akan menjadi jebakan mematikan.
Malam itu, anjungan jembatan tampak sunyi senyap. Gelap gulita, tanpa percikan api rokok, tanpa suara patroli. Hanya gemericik air yang terdengar.
Tentu saja Belanda sudah bersiap. Mereka menerima “laporan intel” bahwa laskar republik akan menyerang jembatan itu menjelang fajar. Mereka menunggu, senjata siap, telinga waspada.
Yang tidak mereka duga adalah… bukan hanya satu kelompok kecil laskar yang datang dari arah selatan. Kali ini, yang akan menghantam mereka di Jembatan Sinar adalah kekuatan utama republik.