Deva, seorang gadis petakilan yang menjadi anggota bodyguard di salah satu perusahaan ternama. Meski tingkahnya sering kali membuat rekannya pusing, namun kinerja Deva tak bisa di ragukan. Pada suatu malam, Deva yang baru selesai bertugas membeli novel best seller yang sudah dia incar sejak lama.
Ketika dia sedang membaca bagian prolog sambil berjalan menuju apartemennya, sebuah peluru melesat tepat mengenai belakang kepalanya dan membuatnya tewas.
Hingga sebuah keajaiban terjadi, Deva membuka mata dan mendapati dirinya menjadi salah satu tokoh antagonis yang akan meninggal di tangan tunangannya sendiri. Akankah kali ini Deva berhasil mengubah takdirnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eka zeya257, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Bel pulang berbunyi lima belas menit yang lalu. Deva bersama Rora baru saja keluar dari kelas, berjalan menuju parkiran kampus. Canda tawa mengiringi langkah mereka, meski sejak tadi Deva tampak lebih pendiam dari biasanya.
"Deva, gue punya tebakan buat lo. Jawab, ya!" seru Rora ceria.
Deva hanya mengangguk singkat, menunggu teka-teki keluar dari bibir sahabatnya itu.
"Baiklah, ini dia! Apa yang selalu datang tapi nggak pernah tiba?" Rora tersenyum lebar, matanya berbinar penuh semangat.
Deva mengerutkan dahi, berusaha memikirkan jawaban. Ia menggigit bibir sambil menatap lorong kampus yang mulai ramai.
"Hmm… apa ya?" gumamnya pelan, mencoba mengalihkan pikirannya dari masalah yang sejak tadi mengganggu.
"C’mon, Dev! ini gampang banget!" Rora menggoda.
Setelah beberapa detik, Deva mengangkat tangan menyerah. "Gue nggak tau. Apa jawabannya?"
"Jawabannya adalah… besok!" Rora tertawa lepas, suaranya menggema di antara deretan kendaraan di parkiran.
Deva tersenyum tipis, "Lucu juga, ya. Besok selalu ada, tapi kita nggak pernah tahu bisa sampai atau nggak."
Rora menatapnya, menangkap gurat kesedihan di wajah Deva. "Lo masih kepikiran soal kakak lo, ya? Udah deh, jangan dibawa terus. Semua orang juga tahu kok kalau lo udah berusaha keras baikan sama mereka, cuma mereka aja yang nggak sadar diri."
Deva terkekeh hambar, lalu menghela napas. "Bukan itu, Ra. Gue cuma mikir… gimana kalau umur gue pendek? Padahal masih banyak yang harus gue lakuin."
"Eh, lo ngomong apa sih? Jangan bikin gue takut! Lo bakal panjang umur, sampai tua, sampai rambut lo putih dan punya anak, cucu, cicit yang banyak!" sahut Rora cepat.
Kali ini senyum Deva sedikit lebih lebar. "Iya, lo bener. Gue harus punya itu semua dulu, baru pergi."
Rora terkekeh, lalu merangkul pundaknya. "Ya, kita harus bersahabat sampai tua. Nanti kita jalan bareng sama anak-anak kita."
Deva mengangguk. Tapi dalam hatinya, bayangan amplop dari dokter kemarin kembali muncul.
‘Apa gue masih bisa mewujudkan mimpi itu?’ batinnya getir.
Ketika Deva sampai di samping kendaraannya, ia menyapukan pandangan pada semua motor yang masih berdiri rapi, berbeda dengan motornya yang sudah terguling dan baret dimana-mana.
"Sialan!" umpat Deva, ia melihat pada semua mahasiswa yang berlalu lalang.
Hingga pandangannya tertuju pada sosok pemuda yang tengah menyeringai padanya, tanpa pikir panjang ia berjalan cepat menghampiri pemuda itu yang tak lain adalah Dito.
"Woi, Dito!" teriak Deva.
Dito yang sedang duduk di atas motor, seketika terkejut saat mendengar namanya di panggil.
"Ngapain lo manggil-manggil gue?" sinis Dito, menatap malas ke arah Deva.
"Minta maaf sama gue!" Deva berdesis, "Sekarang!"
Ia mengamati pakaian Dito, dari ujung kaki hingga ujung kepala hingga ia melihat stiker dari motornya menempel di baju Dito.
Dito menaikan satu alisnya, ia tidak paham dengan ucapan gadis itu yang menyuruhnya minta maaf.
"Minta maaf? emang gue ngapain, sampai harus minta maaf sama lo?"
"Jangan pura-pura bego deh, lo yang rusakin motor gue, kan?" jawab Deva spontan.
Dito menggelengkan kepala, mencoba mempertahankan sikap acuh tak acuhnya.
"Gue nggak rusakin motor lo. Itu mungkin lo yang kurang hati-hati pas parkir," balasnya sambil memandang dengan sinis.
Deva merasa darahnya mendidih. "Kurang hati-hati? motor gue baik-baik aja tadi pagi, dan sekarang terguling karena ulah lo! lo yang bikin motor gue rusak dan sekarang malah nyalahin gue?"
Dito menghela napas, terlihat sedikit terganggu dengan situasi ini. Ia tahu bahwa dirinya mungkin memang berkontribusi dalam insiden itu, tetapi ego-nya tidak mau mengakuinya.
"Oke, kalau mau nyalahin gue, silakan. Tapi gue nggak mau minta maaf atas sesuatu yang nggak gue lakuin," jawabnya dengan nada menantang.
Deva mulai merasa lelah berdebat. "Dito, lo tahu kan kita sama-sama mahasiswa di sini? kenapa sih lo nggak bisa bertanggung jawab sedikit aja?"
Nada suaranya bergetar, mencerminkan perasaan emosi yang sedang ia tahan mati-matian.
Dito terdiam sejenak, menilai situasi. Di satu sisi, ia merasa tidak adil jika semua beban di timpakan padanya. Namun, di sisi lain, ia menikmati saat melihat betapa frustrasinya Deva.
"Gue bahkan nggak ngapa-ngapain. Kenapa lo terus nuntut gue?" Dito terus mengelak dari tuduhan Deva, seakan ia tak bersalah.
Tanpa di duga, Deva tiba-tiba menarik kerah baju belakang Dito dan menyeretnya turun dari atas motornya.
"Lepasin gue, sialan!" teriak Dito marah.
Deva melepaskan kerah baju Dito dan mendorongnya menjauh, ia menarik napas dalam-dalam.
"Lo emang nggak pernah bisa di ajak bicara baik-baik, ya!" sindir Deva dengan nada dingin.
"Lo yang keras kepala, gue nggak salah pake nyuruh gue minta maaf. Lo kira gue boneka yang bisa lo suruh-suruh." Sahut Dito tak terima.
Hari itu, parkiran kampus terasa lebih panas dari biasanya. Deva berdiri dengan dagu terangkat, matanya menyala penuh kemarahan.
Deva tak akan semarah ini jika motor kesayangannya, tak rusak parah. Tapi saat ini, kaca spion patah, catnya tergores, dan ban depan tampak kempis.
"Apa gigi lo yang patah kemarin belum cukup, Dit? lo mau nambah hm!" tanya Deva remeh.
Dito tampak berusaha untuk terlihat santai, meski wajahnya menunjukkan sedikit rasa takut. "Lo terlalu baper, Dev. Itu kan cuma motor."
Satu kalimat itu seperti menyulut api kemarahan pada gadis itu. "Cuma? itu bukan cuma barang, Dito! itu hasil kerja keras gue! lo nggak bisa menghargai benda milik orang lain hah?"
Dito mendengus, "Lo lebay, deh. Lo bisa benerin itu. Kenapa lo harus marah-marah gini?"
Deva tak bisa menahan diri lagi. Rasa sakit dan kekecewaan yang terpendam selama ini meledak dalam sekejap. Ia melangkah maju, mendekati Dito dengan ekspresi yang menggambarkan semua perasaannya.
"Lo udah melangkah terlalu jauh, mengusik kehidupan gue, Dit. Ini bukan hanya tentang motor! ini tentang lo yang nggak pernah bisa menghargai perasaan orang lain!" sentak Deva, kilatan kebencian terlihat di mata gadis itu.
Tanpa peringatan, Deva langsung melayangkan pukulan ke arah wajah Dito. Pukulan itu tepat sasaran, membuat Dito terhuyung mundur, ia terkejut dengan reaksi Deva yang tak terduga.
"Gue udah cukup sabar dengan semua sikap lo, tapi gue muak kalo terus-terusan harus nelen sabar!" ucap Deva menusuk, napasnya mulai memburu.
Dito memegangi pipinya, rasa sakit mulai menjalar. "Apa lo gila? kenapa lo harus sampe segitunya?" ia bertanya, nada suaranya campur aduk antara marah dan bingung.
"Karena lo nggak pernah mau dengar peringatan gue! lo selalu bertindak tanpa mikir, dan sekarang motor gue yang jadi korbannya."
jadi agak aneh crita nya
dan juga Daddy nya itu bukan nya sayang sama dia?
kalo memang si deva ini di fitnah dan dihina sedemikian rupa kenapa masih tetap berharap dan bertingkah sama keluarga nya?
katanya dia punya perasaan dan dia juga manusia tapi sikapnya ga sesuai sama apa yang di cerita kan
kesel banget
jdi kesannya kayak si Deva ini lebih menye menye dan agak lain yang didalam tanda kutip karakternya"kelihatan tidak sesuai sama penggambaran karakter awalnya" seolah olah di awal hanya sebatas penggambaran di awal saja
tapi tetap semangat ya authori💪