NovelToon NovelToon
Menggoda Anak Mantan Tunanganku

Menggoda Anak Mantan Tunanganku

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Beda Usia / Cinta pada Pandangan Pertama / Balas dendam pengganti
Popularitas:192
Nilai: 5
Nama Author: khayalancha

Gena Febrian pernah mengambil resiko untuk kehilangan segalanya demi seorang Indri, perempuan yang Ia cintai namun perempuan itu malah meninggalkannya untuk orang lain. Semenjak saat itu Ia bersumpah akan membuat hidup Indri menderita. Dan kesempatan itu tiba, Indri memiliki seorang anak sambung perempuan. Gena c akan menemukannya, membuatnya jatuh cinta padanya, dan kemudian dia akan menghancurkannya.

Sally Purnama seorang staff marketing dan Ia mencintai pekerjannya dan ketika seorang client yang dewasa dan menarik memberi perhatian padanya Ia menaruh hati padanya.

Tak lama kemudian dia menerima ajakan Gena, lalu ajakan lainnya. edikit demi sedikit, Genamengenal perempuan yang ingin ia sakiti, dan ia tidak bisa melakukannya. Dia jatuh cinta padanya, dan Sally jatuh cinta padanya.

Tapi-dia telah berbohong padanya, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Dia terjebak. Saat Sally menemukan kebenaran, dia patah hati. Pria pertama yang sangat dia cintai telah mengkhianatinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 21

Dua musim telah berganti sejak pagi bersalju itu di Kopenhagen. Waktu berjalan, namun kesan dari hari itu—saat dua pasang mata bertemu di bawah langit musim dingin dan hati mereka saling kembali—masih membekas seperti embun beku di jendela, jernih dan nyata.

Setelah pertemuan itu, Sally tidak langsung kembali ke Indonesia. Ia memutuskan tinggal. Awalnya seminggu, lalu dua, lalu entah kapan tepatnya ia mulai menyebut tempat itu sebagai “sementara rumah”. Di kota tempat Gena pernah mencoba melarikan diri dari dirinya sendiri, Sally justru menemukan dirinya kembali.

Setiap pagi, mereka berjalan menyusuri kanal yang perlahan mulai mencair seiring datangnya musim semi. Gena akan membawa sepedanya, Sally dengan latte hangat di tangan, dan mereka akan berhenti di bangku taman yang sama seperti saat Sally pertama kali menemukannya. Di sana, mereka membaca buku, saling diam, saling bicara, atau sekadar duduk berdampingan tanpa kata. Ada kebebasan baru dalam cinta mereka—cinta yang tak lagi terburu-buru, tak lagi menyimpan luka yang tak diobati.

Gena kembali menulis. Ia mulai membuat buku kecil tentang pekerjaannya dengan anak-anak migran, tentang trauma dan penyembuhan, tentang kekuatan pelan dari kebaikan. Sally mendukungnya sepenuhnya. Ia mulai mengajar kelas daring untuk perusahaan desain di Jakarta, dan sesekali membantu di pusat komunitas sebagai mentor kreatif.

Mereka hidup sederhana. Tidak mewah, tidak banyak. Tapi cukup. Dan dalam cukup itu, mereka belajar bahwa cinta bukan tentang intensitas meledak-ledak, tapi tentang kehadiran yang tidak lari saat semuanya terasa sulit.

Suatu pagi di akhir Mei, Gena menatap Sally yang sedang merapikan meja sarapan. Ia berdiri di dapur kecil mereka, mengenakan kaus putih dan celana santai, rambutnya masih basah habis mandi. Ia memandangi wanita itu, diam-diam. Lalu bertanya, lirih,

“Kalau aku bilang aku siap pulang, kamu ikut?”

Sally menoleh pelan. Wajahnya datar sejenak, lalu muncul senyum kecil yang melunak di ujung bibirnya. “Aku selalu ikut ke mana pun kamu siap berjalan.”

Jawaban itu membuat Gena menatapnya lama, penuh. Lalu ia melangkah, mendekap Sally dari belakang, menyandarkan dagunya di pundak kekasihnya. “Kali ini... aku enggak akan pergi sendiri.”

Di Jakarta, setahun setelahnya, sebuah rumah kecil di Cipete menjadi saksi perubahan hidup. Rumah itu tidak besar. Hanya satu lantai dengan pekarangan kecil di belakang. Tapi di dalamnya ada tawa, ada kebersamaan, ada pagi-pagi yang diisi dengan aroma kopi dan suara musik jazz pelan dari radio dapur. Ada kehidupan yang tumbuh pelan, tapi kuat.

Hari itu, mereka mengadakan perayaan kecil. Bukan pernikahan. Tapi sesuatu yang bahkan mungkin lebih bermakna bagi mereka: hari syukur, hari “pulang”.

Sally mengenakan gaun putih lengan panjang yang ia jahit sendiri selama berminggu-minggu. Gena mengenakan batik biru tua yang ia pinjam dari ayah Sally. Di halaman belakang, ada lampu-lampu gantung sederhana, ada meja panjang penuh makanan yang Sally dan Fani masak bersama, ada anak-anak kecil dari komunitas Gena yang datang membawa gambar dan nyanyian.

Di tengah acara, Gena berdiri di depan mikrofon kecil yang disiapkan Jefry, lalu berbicara.

“Saya enggak pernah nyangka hidup saya akan sampai di titik ini. Dulu, saya kira saya enggak pantas punya kebahagiaan, apalagi keluarga,” katanya pelan, suaranya sedikit bergetar. Ia menatap ke arah Sally, yang duduk di barisan depan sambil menggenggam tangan ibunya.

“Tapi ternyata, cinta itu bukan soal pantas atau tidak. Cinta itu soal berani. Dan Sally... dia perempuan paling berani yang saya kenal. Dia datang mencari saya waktu saya bahkan enggak yakin saya layak dicari.”

Tawa haru menyebar di antara tamu. Sally tertawa kecil sambil menghapus air mata yang jatuh begitu saja. Jefry berdiri di samping, menepuk bahu Gena pelan. Fani dan Vera berseru menyemangati dari meja makanan.

Hari itu bukan hari pernikahan, tapi janji mereka jauh lebih kuat daripada cincin dan saksi hukum. Hari itu adalah hari mereka menyatakan: “Aku tidak akan pergi lagi. Dan kamu tidak perlu mengejarku lagi.”

Di malam hari, setelah semua tamu pulang, dan lampu-lampu gantung dibiarkan tetap menyala, Sally dan Gena duduk berdua di teras belakang. Udara Jakarta masih hangat, tapi angin malam terasa lembut. Di pangkuan Gena ada gitar tua yang dulu milik ayah Sally. Ia memetik pelan, tanpa lagu yang jelas. Sally menyandarkan kepalanya di bahu Gena.

“Gen?” bisik Sally.

“Hm?”

“Kalau suatu hari nanti... aku hilang arah lagi, kamu masih akan nyari aku?”

Gena terdiam sesaat. Lalu menjawab, “Aku enggak akan nyari kamu. Karena kali ini, aku akan ada di sebelah kamu sebelum kamu sempat hilang.”

Sally tersenyum. Matanya menerawang ke langit yang jernih. “Aku bahagia.”

“Bahagia itu... kayak ini, ya?”

“Kayak ini.”

Gena mencium pelipisnya. Lalu mereka duduk diam. Tak perlu banyak kata. Tak perlu penutup indah.

Karena mereka tahu, cerita mereka tidak butuh akhir.

Beberapa bulan kemudian, Sally kembali membuka folder lama di laptopnya. Folder itu dinamai “Kopenhagen”, isinya foto-foto musim dingin, potret kanal dan langit kelabu, serta satu video berdurasi dua menit.

Video itu diambil oleh Gena diam-diam, saat Sally sedang berdiri menatap kanal di pagi pertama mereka bersama di Denmark. Dalam video itu, Sally hanya diam, tapi senyumnya perlahan muncul, lembut dan tulus.

Gena menamai file itu: My Home.

Sally tersenyum. Ia menutup laptopnya, lalu berbalik melihat ke arah ruang tengah. Di sana, Gena sedang bermain bersama anak-anak komunitas yang datang belajar menggambar.

Sally menarik napas dalam.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia tahu, sepenuh-penuhnya tahu—

Ia tidak sedang jatuh cinta lagi.

Ia sedang tinggal di dalam cinta itu.

Selamanya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!