Seorang gadis muda yang memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan terjun ke dalam laut lepas. Tetapi, alih-alih meninggal dengan damai, dia malah bereinkarnasi ke dalam tubuh putri buangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nfzx25r, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Luka yang Dalam
Malam itu begitu dingin. Kabut tipis mengambang di antara pepohonan, dan keheningan terasa menusuk, seakan bumi menahan napasnya.
Di atas salah satu pohon besar yang menjulang kokoh di tengah hutan, seorang wanita berdiri diam, menyatu dengan kegelapan. Pakaiannya hitam legam, menyamarkan tubuh rampingnya dari sorotan rembulan. Sorot matanya tajam seperti bilah belati, namun ada sesuatu yang tak biasa di sana, seperti dendam yang sekian lama tidak terbalaskan
Jinhai masih duduk bersandar di dinding batu gua, tubuhnya tetap tegak meski kelopak matanya berat, seperti memikul beban dunia. Api kecil di sudut gua mulai redup, menyisakan cahaya jingga yang menari-nari di dinding, memantulkan bayangan mereka yang telah terlelap dalam kelelahan.
Sanghyun tidur bersandar di sisi kanan gua, tubuhnya dipeluk kabut dingin malam. Putri Xiaolan tertidur di samping Putri Minghua, tangannya masih menggenggam erat jubah kakaknya, seolah tak ingin terpisah lagi. Sementara itu, suara napas berat dan tenang dari mereka semua mengisi keheningan malam.
Namun tiba-tiba...
“Ugh…” Sebuah suara lirih memecah kesunyian.
Jinhai langsung menoleh.
Wei menggeliat lemah dari atas alas daun yang disusun seadanya. Wajahnya pucat, tapi matanya perlahan terbuka, menatap langit-langit gua dengan pandangan bingung. Tangannya menyentuh bahunya yang kini sudah dibalut rapi, meskipun rasa nyeri masih menyisa.
“Aku… di mana ini?” gumamnya pelan. Matanya bergerak panik ke sekeliling, seperti mencoba mengenali tempat asing yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Nafasnya terengah, dan matanya melebar antara cemas, bingung, dan takut.
Jinhai segera menghampirinya. Wajahnya serius namun tidak keras, matanya menatap dengan ketenangan seorang penjaga malam yang telah terbiasa menyaksikan antara hidup dan mati.
“Kau di dalam gua dan kondisimu sudah semakin membaik” ucap Jinhai lembut namun jelas. Ia berlutut di sisi Wei, menepuk perlahan lutut pemuda itu.
Wei terdiam. Tatapannya perlahan jatuh ke tangan dan tubuhnya, lalu ke api yang berkedip lemah di sudut ruangan. Suasana menjadi hening kembali. Hanya suara dedaunan dari luar gua yang berdesir tertiup angin malam.
“…Xiaolan?” suara Wei nyaris tak terdengar. “Apakah dia selalu menemaniku di sini?”
Jinhai mengangguk. “Dia tidak pernah meninggalkanmu.”
Wei memejamkan mata, menahan perasaan yang tak bisa diucapkan dengan kata-kata. Napasnya mulai menenangkan diri, tapi matanya mulai berkaca. Entah karena rasa sakit fisik, atau rasa syukur yang menusuk hati.
Jinhai berdiri perlahan, memberi ruang pada Wei untuk kembali tenang. Ia berjalan pelan menuju pintu gua, menatap keluar. Angin malam menyapu wajahnya, dan langit penuh bintang seakan menjadi saksi bisu dari semua luka dan harapan yang tersembunyi di dalam gua itu.
Di dalam, Wei menatap api yang nyaris padam.
Dan dalam kesunyian itu, ada sesuatu yang perlahan tumbuh, rasa hangat yang belum bisa ia mengerti, namun mulai mengisi rongga dadanya yang selama ini dingin dan kosong.
Wei menoleh perlahan. Matanya terhenti pada sosok yang terbaring tenang di hadapannya, Putri Xiaolan.
Wajahnya begitu damai, diterangi cahaya remang dari api yang nyaris padam. Helaian rambut hitam itu tergerai di atas kain lusuh yang menjadi alas tidur mereka. Di tengah keterbatasan, pesonanya tetap bersinar, seolah malam pun segan menutupi keelokan wajahnya.
Wei tak bisa mengalihkan pandangan. Matanya memeluk setiap inci dari paras gadis itu, alis yang halus, mata yang terpejam, bibir yang sedikit terbuka seolah baru saja mengucap doa sebelum tertidur. Napas Putri Xiaolan teratur, tenang, namun kehadirannya justru membuat hati Wei terasa sesak.
Ia menelan ludah, lalu membisikkan kata-kata yang hanya angin malam yang bisa dengar.
“Jika saja aku bukan anak dari seorang petani… aku pasti sudah melamarmu sejak dulu.”
Kalimat itu keluar begitu pelan, namun sarat luka. Ada getir yang menggantung di ujung kata-katanya, seolah setiap hurufnya membawa serpihan harapan yang selama ini ia kubur dalam-dalam.
Wei menunduk. Matanya mulai basah.
Ia bukan siapa-siapa. Hanya seorang lelaki biasa dari desa kecil yang tidak memiliki nama, tidak pula kekuasaan. Dan kini, wanita yang begitu ia cintai… akan segera menjadi milik Kaisar, seorang penguasa yang tak terjangkau oleh tangan rendahan sepertinya.
“Sungguh menyakitkan...” gumamnya lagi, suaranya serak, “... mencintai seseorang yang tak bisa kau miliki. Tapi lebih menyakitkan lagi, saat kau tahu dia akan diberikan pada seseorang... yang bahkan tak pernah melihatnya seperti aku melihatnya.”
Tangannya mengepal pelan, menahan perasaan yang membuncah. Ia ingin membangunkannya, ingin berkata jujur, ingin agar Putri Xiaolan lari bersamanya, ke tempat yang jauh, tempat tak ada gelar, tahta, atau nama keluarga.
Namun ia tahu… itu hanyalah mimpi yang tak akan pernah menjadi kenyataan.
Putri Xiaolan tetap tertidur pulas, tak tahu bahwa di depannya, ada hati yang perlahan-lahan hancur diam-diam.
Wei mengalihkan pandangannya ke langit-langit gua yang gelap. Dadanya terasa sesak, seolah seluruh dunia sedang menertawakannya.
Tapi meski sakit, ia tahu satu hal dengan pasti, ia mencintainya. Sangat mencintainya hingga ia rela menghabiskan hidupnya hanya untuk Putri Xiaolan yang benar-benar ia inginkan.