Shanca Evalyne Armandez tak pernah meminta hidup seperti ini. Sejak kedua orang tuanya tewas dalam kecelakaan misterius, ia menjadi tawanan dalam rumah sendiri. Dihabisi oleh kakak tirinya, dipukuli oleh ibu tiri yang kejam, dan dijual seperti barang kepada pria-pria kaya yang haus kekuasaan. “Kau akan menyenangkan mereka, atau kau tidak akan makan minggu ini,” begitu ancaman yang biasa ia dengar. Namun satu malam mengubah segalanya. Saat ia dipaksa menjebak seorang pengusaha besar—yang ternyata adalah pemimpin mafia internasional—rencana keluarganya berantakan. Obat yang ditaruh diam-diam di minumannya tak bekerja seperti yang diharapkan. Pria itu, Dario De Velluci, tak bisa disentuh begitu saja. Tapi justru Shanca yang disentuh—dengan cara yang tak pernah ia duga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CantiknyaKamu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MBM
“mama…!lihat aku bisa sendiri memetik bunga indah ini….”suara itu begitu polos,sederhana mampu membuat mengguncang batin Sancha yang tengah berdiri di tangga..
ia menunduk perlahan,tangan kanan yang mengelus perut yang kini sudah membesar,mengusap dengan perlahan…
”kelak kamu akan lahir dari orang tua yang rumit,tapi semoga kamu bisa merasakan tawa seindah itu,tawa yang tidak dibeli dengan air mata…”seru nya kecil dan mencari tempat duduk.
menutup mata nya sejenak,membiarkan angin menyentuh pipi nya,Bella berjalan mendekat..”nyonya mau saya ambilkan kursi roda..?”
“tidak Bel,makasih ya..sini duduk..”ajak Sancha tersenyum kearah Bela.
tak selang itu,anak kecil berlari kearah Sancha dan Bela..berambut keriting mata berwarna abu-abu membawa bunga dandelion dan tersenyum kearah Sancha.
“ini buat tante…”seru gadis kecil tersebut menyodorkan dandelion kecil.
Sancha tersenyum dan menerimanya..”terimakasih,cantik sekali seperti orang yang memberi ini…”ujur Sancha mengelus pipi itu
“kalau di tiup,katanya bisa kirim permintaan ke langit lo,aku sudah coba,sekarang giliran kamu…”
Sancha tersenyum dan bela juga ikut tersenyum dengan gadis kecil yang imut.
Sacha meniup bunga tersebut dan menutup matamu…”tuhan izinkan aku menjadi ibu yang tangguh dan kuat untuk bisa meluluhkan hati seorang tuan Alaska dan bisa merawat anak ini bersama dan tuhan tunjukan kepada Alaska kalau wanita tak semuanya jahat..”batin nya bergema kedalam alam baka..
Sancha membuka matanya dan meminta candy kepada Bella,untuk diberikan kepada anak kecil yang menunggu nya sedari tadi…
”terimakasih sudah memberikan aku bunga dandelion ini…”
“terimakasih juga tante atas candy manis ini,sampai jumpa lagi…”seru nya berlari mencari kedua orang tuanya.
Ali mendekat..”nyonya sudah hampir gelap,tuan Alaska akan sampai dirumah sebentar lagi,sebaiknya kita pulang…”
Sancha mengangguk dan berjalan menuju mobil..
sedangkan di kantor,Alaska akan siap-siap untuk segera pulang.
Ruangan tertutup rapat,lift di tekan oleh Amar..
Mobil sudah siap tuan..”ujur Amar didalam lift.
“baik,kita pulang sekarang..”
“Dan..ini…”seru Amar menyerahkan ponsel kerja kepada Alaska untuk melihat gambar Sancha yang di potret oleh Ali atas perintah Alaska..
“baguslah,setidaknya dia tak ada keinginan untuk kabur lagi..”ujur nya keluar dari lift dan menuju mobil mewah yang sudah menunggu dirinya..
semua pegawai menunduk melihat Alaska,tak ada yang berani menatap,gedung sebesar ini di pimpin oleh Alaska sendiri tanpa hambatan..
namun dalam hatinya sebuah gambaran muncul..Sancha yang duduk di taman,tersenyum,berbicara dengan anak kecil,tanpa ketakutan atau tangisan..
untuk pertama kalinya sosok sancha yang berbeda dalam benak nya..bukan sebagai tawanan,tapi seseorang yang lebih berwarna.
drtttt drttttt
Suasana di dalam mobil tampak sangat sunyi,Alaska duduk di kursi belakang,menatap kearah luar jendela,tiba-tiba ponsel Alaska berdering.Nama yang muncul di layarnya membuat kening nya berkerut…
“Alaska,ke mansion Eyang sekarang juga,urgent jangan di tunda…!”
Alaska menegakkan tubuhnya…”apa yang terjadi..?”
“terlalu banyak keputusan yang sudah kamu ambil sendirian,sekarang waktunya dengarkan nasehat orang tua,Eyang tunggu di mansion sekarang juga…!”
Tanpa bisa membantah sedikit pun,telepon sudah terputus begitu saja dari pihak Eyang,Alaska melirik sopir “bawa saya ke mansion Eyang..”
Alaska membuka ponselnya dan mencari nama Ali..ia akan mengirim pesan kepada Ali..
Bawa Sancha pulang ke mansion jangan singgah kemana-mana,saya tidak ingin kejadian saat itu terjadi lagi…!”
“laksanakan tuan,saat ini nyonya tengah tertidur di mobil,karena kelelahan…”mengirim foto Sancha sedang tertidur..
Alaska hanya melihat,ada senyuman terukir di balik wajah nya,namun tak terlihat..namun pikiran nya langsung terarah ke kembali ke Eyang.
“apa ini tentang sancha atau tentang masa lalu yang akan di bangkitkan…”batin nya menutup matanya sejenak.
Mobil Mewah sudah memasuki mansion besar bak istana,semua pengawal dan pelayan menunduk hormat,Alaska turun dengan kemeja putih lengan di lipat ke atas..ia berjalan lurus,masuk dan pelayan mengantarkan Alaska ke meja makan.
langkah kaki yang bergema di marmer abu tua saat ia melangkahkan kaki nya kedalam mansion,ruangan ini tak berubah sejak ia kecil,lukisan besar terpajang rapi dan ada api unggun kecil di balik tembok.di harumi dengan bunga levender dari lilin khas Canada.
Di tengah ruangan duduk Eyang, pria tua berusia delapan puluhan dengan rambut putih keperakan yang disisir rapi. Meski usianya menua, matanya masih tajam dan penuh kendali. Di sebelahnya duduk Mama Uca, wajahnya penuh kecemasan namun tegas.
“Duduk.” Perintah Eyang tanpa menatap Alaska.
Alaska diam-diam menghela napas, lalu duduk di sofa hadapan mereka. Tio berdiri di sisi ruangan, seperti penjaga diam, sedangkan Nadya duduk tak jauh dari Mama Uca.
Eyang membuka pembicaraan.
“Kau sudah membuat banyak keputusan dengan kepala kerasmu, Alaska.”
Alaska menyandarkan tubuhnya, “Dan semua keputusan itu telah menyelamatkan keluarga ini lebih dari yang kau kira, Eyang.”
Mama Uca menyela,
“Bukan soal keluarga, Alaska. Ini soal manusia. Sancha bukan boneka yang bisa kau kurung, lalu kau cicipi ketika kau mau.”
Alaska menatap tajam ke arah ibunya, namun tetap menjaga nada suaranya.
“Dia kabur. Dia membahayakan dirinya dan anak kami.”
Eyang mengangkat tangan, menenangkan suasana.
“Dan siapa yang menyebabkan dia kabur? Perempuan itu bukan kriminal, Alaska. Dia hamil anakmu, dan seluruh keluarga tahu sekarang. Kau pikir dunia luar akan diam jika tahu warisanku berasal dari hubungan yang dipenuhi tekanan?”
Alaska membalas dingin.
“Aku tidak peduli omongan dunia luar. Mereka bukan bagian dari rumah ini.”
Tio akhirnya bicara:
“Bukan soal dunia, Al. Ini soal kehormatan. Kau punya darah bangsawan mafia dan pengusaha. Kau lupa seperti apa kita dibesarkan?”
Nadya menimpali, dengan nada lembut namun menusuk:
“Dan yang kau lakukan pada Sancha… itu tidak mencerminkan siapa pun dari kita.”
Eyang lalu membuka sebuah kotak tua dari sisi kursinya.
Di dalamnya ada beberapa foto, surat tua, dan selembar potret seorang wanita muda.
“Kau tahu siapa ini?” tanya Eyang, menatap mata Alaska.
Alaska memperhatikan wajah wanita dalam foto itu—muda, cantik, bermata sayu, dengan senyum getir.
“…Itu Ibu kandungku.”
“Benar,” ujar Eyang. “Dan dia pun dulu seperti Sancha—dipaksa, dikekang, dijauhkan dari dunia. Kau tahu apa yang terjadi padanya? Dia kabur. Dan dia meninggal dalam pelarian.”
Suasana menjadi senyap.
Alaska mengepalkan tangannya. Ada sesuatu dalam sorot matanya—entah itu kemarahan, ketakutan, atau luka lama yang belum sembuh.
Eyang melanjutkan dengan suara berat:
“Aku melihat bayangannya dalam diri Sancha. Dan aku tak mau cucuku mengulang dosa yang sama.”
Mama Uca:
“Kami tak akan biarkan, Al. Jika kau benar ingin mempertahankan keluarga ini, maka nikahi Sancha. Dan bukan karena paksaan, tapi karena pilihan.”
Tio menambahkan:
“Atau… biarkan dia pergi dengan damai. Tapi kalau kau tetap keras kepala, Eyang sudah siapkan konsekuensinya.”
Alaska menatap semua yang ada di ruangan itu. Kepalanya terasa berat. Semua masa lalunya—ibunya, kehilangannya, kini berputar kembali dalam sosok Sancha.
Ia berdiri perlahan.
“Kalau begitu… biarkan aku yang bicara dengannya. Aku akan pulang malam ini.”
Eyang menatapnya dalam.
“Jangan sampai kau kehilangan dia, Alaska. Kau tahu rasa kehilangan itu lebih dulu dari siapa pun.”
Alaska hanya mengangguk perlahan, lalu berbalik meninggalkan ruangan—tanpa berkata sepatah kata pun lagi.
Sementara di belakangnya, Eyang menatap potret tua itu…
“…Dan sejarah hanya butuh satu orang keras kepala untuk mengulang luka yang sama.”