Casanova seorang gadis cantik. Namun sayang sekali dengan parasnya yang cantik ia memiliki kekurangan. Kedua matanya buta. Meski ia buta ia merupakan kembang desa. Karena kecantikannya yang luar biasa. Walaupun ia buta ia memiliki kepandaian mengaji. Dan ia pun memiliki cita cita ingin menjadi seorang Ustadzah. Namun sayang...cita cita itu hanya sebatas mimpi dimana malam itu semuanya telah menjadi neraka. Saat hujan turun lebat, Casanova pulang dari masjid dan ditengah perjalanan ia dihadang beberapa pemuda. Dan hujan menjadi saksi. Ia diperkosa secara bergantian setelah itu ia dicampakan layaknya binatang. Karena Casanova buta para pemuda ini berfikir ia tidak akan bisa mengenali maka mereka membiarkan ia hidup. Namun disinilah awal dendam itu dimulai. Karena sifat bejad mereka, mereka telah membangkitkan sesuatu yang telah lama hilang didesa itu.
"Mata dibayar mata. Nyawa dibayar nyawa. Karena kalian keluarga ku mati. Maka keluarga kalian juga harus mati.
Yuk...ikuti kisahnya!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wida_Ast Jcy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27 AROMA BUSUK DAN BERNANAH
Siang itu, puskesmas berubah menjadi lautan kepanikan. Teriakan kesakitan Bu Rahmi menggema, menusuk telinga setiap orang yang ada di dalam ruangan. Tubuhnya dipenuhi bentol-bentol menjijikkan yang terus membesar, pecah, dan mengeluarkan cairan bernanah.
Aroma busuk yang menyengat menyelimuti udara, membuat banyak orang menutup hidung dengan syal atau tangan, dan berusaha menahan mual yang menggulung di perut mereka.
Dokter Erlina yang baru saja tiba sejak pagi hari, tampak bingung dan kalut. Penyakit yang menyerang Bu Rahmi berkembang dengan kecepatan yang tak masuk akal. Biasanya, penyakit gatal atau infeksi karena virus menyebar perlahan.
Tapi ini? Dalam hitungan menit saja, ruam itu merayap cepat dari lengan ke seluruh tubuh, bahkan hampir menutupi wajah Bu Rahmi yang kini tampak mengerikan.
"Ya Allah, bau apa ini?" seru salah satu pasien yang ketakutan, duduk meringkuk di pojok ruang tunggu.
Matanya memandang ngeri ke arah Bu Rahmi yang mengerang di atas ranjang, tubuhnya menggeliat karena rasa sakit yang tak tertahankan.
Di sudut ruangan, Salwa seorang mahasiswi KKN yang sedang bertugas di puskesmas itu tampak paling sigap di antara yang lain. Meski wajahnya pucat dan tubuhnya gemetar melihat kondisi Bu Rahmi, ia tetap mencoba tegar dan menenangkan orang-orang di sekitarnya.
Dengan langkah hati-hati, Salwa mendekati Dokter Erlina yang sedang menatap pasiennya dengan dahi berkerut.
"Dokter Erlina… ini sebenarnya kenapa ya dengan Bu Rahmi? Kondisinya kenapa semakin parah, dan baunya… tidak seperti penyakit biasa,” tanyanya cemas, suaranya bergetar saat melihat nanah menetes dari luka Bu Rahmi.
Wajah Dokter Erlina tampak tegang. Tak ada jawaban yang pasti hanya ketakutan yang perlahan mulai menjalar di matanya.
Dokter Erlina adalah seorang dokter muda yang ditugaskan dari kota untuk mengabdi di kampung terpencil itu. Ia telah meninggalkan kenyamanan dan kemudahan hidup di kota demi menjalankan tugasnya melayani warga desa yang masih lekat dengan nilai-nilai tradisional.
Menjadi tantangan tersendiri bagi dokter Erlina untuk membangun kepercayaan masyarakat, apalagi banyak dari mereka yang masih lebih percaya pada pengobatan dukun dan hal-hal yang berbau mistis.
Pagi itu, meski sudah berusaha semaksimal mungkin menangani kondisi Bu Rahmi, wajah Dokter Erlina tampak murung dan tegang. Ia menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata,
“Kita harus segera bawa Bu Rahmi ke rumah sakit di kota. Keadaannya sudah sangat kritis. Tapi… masalahnya” tiba-tiba terputus ucapan nya.
“Masalahnya apa, Dok?” tanya Salwa cepat, nada suaranya penuh kekhawatiran.
“Kita butuh mobil untuk membawanya. Jalanan kampung ini terlalu curam dan penuh batu. Menggunakan motor dalam kondisi seperti ini sangatlah mustahil,” jawab Dokter Erlina, nadanya berat dan terdengar putus asa.
Salwa hanya bisa mengangguk, menyadari betapa sulit situasi yang mereka hadapi. Sementara itu, sejumlah mahasiswa KKN lain berdiri menjauh, memilih untuk tidak terlalu terlibat. Mereka terlihat tak peduli, malah berbisik-bisik, seolah kondisi Bu Rahmi bukan urusan mereka.
“Ren, lihat dech! Itu ibunya si buta kan. Kasihan banget ya, tapi serem juga badannya penuh luka dan nanah seperti gitu,” ucap Riko sambil meringis jijik, memandangi tubuh Bu Rahmi yang terbujur di atas ranjang darurat.
“Ah, biarin saja. Namanya juga orang miskin, pasti hidupnya kotor,” jawab Rendi sambil tertawa kecil, tanpa rasa empati sedikit pun.
Penyakit Bu Rahmi yang semakin parah membuat suasana di puskesmas semakin tegang. Namun di sisi lain, sikap beberapa mahasiswa KKN tetap saja tak menunjukkan empati.
“Penyakitnya aneh sekali. Jijik sangat lihatnya,” gumam Rendi dengan nada sinis.
“Untung saja kita tidak deket-deket mereka. Bisa bisa tertular kita. "gumamnya lagi.
Di sampingnya, Citra yang sejak tadi berdiri dengan malas, tiba-tiba mendekat dan bergelayut manja pada Rendi.
“Iya, ya... Sayang. Syukurlah kita hanya sebentar di sini. Lagi pulak semua kebutuhan aku juga aman karena kamu keponakan Pak Kades. Jadi tenang dech. Tidak harus benar-benar bekerja keras dipuskemas ini. "ujar Citra.
Rendi menyeringai penuh percaya diri. “Iya donk. Di kampung ini semua orang kenal aku. Kalau ada apa-apa, tinggal bilang ke Pak’de Suryo, pasti kelar urusannya.” jawabnya.
Percakapan mereka terdengar oleh Dion yang berdiri tak jauh. Ia menegur pelan, “Eh, jangan terlalu santai begitu, dech. Dokter Erlina dari tadi memperhatikan kita. Bagaimana kalau nilai KKN kita jadi jelek?” tambah Dion.
Mendengar itu, Rendi dan Citra segera kembali ke meja mereka, berpura-pura sibuk menulis laporan. Wajah mereka berubah, dan mencoba tampak serius, meski jelas tadi mereka tak peduli dengan keadaan Bu Rahmi.
Sementara itu, Dokter Erlina masih berdiri tegang, memberikan instruksi pada Ustazah Laila dan Pak Budi yang akan mengantar Bu Rahmi.
“Kita tidak punya banyak waktu. Bu Rahmi harus segera dibawa ke rumah sakit di kota. Kalau dibiarkan terlalu lama di sini, kondisinya bisa semakin parah,” kata Dokter Erlina sambil sesekali melirik tubuh Bu Rahmi yang terbaring lemah dan terus merintih kesakitan.
“Tapi bagaimana, Dok? Jalanan ke kota tidak mudah. Terjal, berbatu, dan kita tidak punya kendaraan roda empat,” ucap Ustazah Laila khawatir.
Pak Budi yang sedari tadi diam, akhirnya mulai bersuara...Pak Budi akhirnya angkat bicara, suaranya terdengar mantap meski tergesa.
“Saya akan coba pinjam kendaraan pada Pak Kades. Mungkin mobil dinasnya bisa dipakai untuk membawa Bu Rahmi ke kota.” Jawabnya.
Dokter Erlina mengangguk setuju. “Baik, Pak. Segera saja. Saya khawatir kita tak punya banyak waktu.” ujarnya.
Tanpa menunda waktu, Pak Budi dan Pakde Jarwo segera menuju motor milik Dokter Erlina dan melaju menuju rumah Pak Kades. Harapan mereka hanya satu semoga Bu Anggie berbaik hati mau meminjamkan mobil dinas untuk membawa Bu Rahmi ke rumah sakit. Namun setibanya di sana, wajah datar Bu Anggie sudah memberi firasat yang tidak baik.
"Asalamualaikum Bu Anggie. Kami mau meminjam mobil dinas untuk pergi kerumah sakit besar dikota. " ucap Pak Budi.
“Maaf, Pak Budi, mobil dinas tidak bisa dipinjam hari ini,” ujar Bu kades dengan nada tegas.
“Saya dan Pak Kades harus menghadiri kondangan di kampung sebelah, jadi mobilnya sudah kami siapkan untuk pergi. ”Jawabnya.
Pak Budi terdiam sesaat, lalu mencoba menjelaskan. “Tapi ini darurat, Bu Anggie. Bu Rahmi sakit parah dan harus segera dibawa ke rumah sakit di kota. Tak ada kendaraan lain selain mobil Pak Kades.” ujar pak Budi.
Namun Bu Anggie tetap bersikeras. “Saya sudah bilangkan, kami akan pergi. Tidak ada yang bisa dipinjam. Kalau memang butuh, cari solusi lain.” jawabnya ketus.
Pakde Jarwo yang sejak tadi memilih diam, akhirnya tak bisa menahan diri. Suaranya bergetar menahan marah. “Bu Kades, ini soal nyawa! Masa kondangan lebih penting dari nyawa seseorang?” ujarnya.
Bu Anggie menatap tajam, dingin. “Ini urusan keluarga, Pak Jarwo. Saya tidak ingin ikut campur urusan kalian. Kalau memang menyangkut nyawa, bawa saja pakai motor,” ucapnya, lalu membalikkan badan dan menutup pintu rumah dengan keras.
Pak Budi dan Pakde Jarwo pun melangkah pergi dengan hati hancur dan kecewa. Mereka tak tahu harus bagaimana lagi.
BERSAMBUNG...
mampir juga yuk kak ke karyaku