Aaron Dzaka Emir--si tampan yang hidup dalam dekapan luka, tumbuh tanpa kasih sayang orang tua dan berjuang sendirian menghadapi kerasnya dunia.
Sebuah fakta menyakitkan yang Dzaka terima memberi luka terbesar sepanjang hidupnya. Hidup menjadi lebih berat untuk ia jalani. Bertahan hidup sebagai objek bagi 'orang itu' dan berusaha lebih keras dari siapapun, menjadi risiko dari jalan hidup yang Dzaka pilih.
Tak cukup sampai di situ, Dzaka harus kehilangan salah satu penopangnya dengan tragis. Juga sebuah tanggung jawab besar yang diamanatkan padanya.
Lantas bagaimana hidup Dzaka yang egois dan penuh luka itu berlanjut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bulan_Eonnie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DD 27 Kritis
"Pasien sedang kritis!" Seorang perawat ke luar dari ruang operasi demi mencari rekannya yang diminta mencari kantong darah.
Tiga kata itu berhasil membuat Tanvir, Dimitri dan Paman Adi terpaku. Otak mereka masih mencoba mencerna informasi yang ditangkap rungu.
"Cepat! Kita harus segera menemukan darah negatif!" Suara perawat itu menginterupsi keheningan.
"Saya saja! Golongan darah saya AB-," ujar Dimitri menatap perawat yang menatapnya kaget.
"Syukurlah .... Sebuah kebetulan golongan darah pasien juga AB-. Mari saya antar. Kita harus bersegera!"
Tanpa menunggu respon dari yang lain, perawat itu sudah menarik Dimitri menjauh.
...----------------...
Kondisi mencekam masih memenuhi ruang operasi Dzaka. Para dokter dan perawat yang bertugas di sana benar-benar dibuat kesulitan bernapas.
Tubuh Dzaka sudah disayat pisau bedah. Dengan perlahan para dokter berusaha mengeluarkan patahan kecil tulang rusuk Dzaka yang merobek paru-parunya.
"Seberapa keras pemuda ini terhempas hingga retakannya seperti ini?" ujar dokter bedah yang masih fokus mencari patahan tulang rusuk di paru-paru Dzaka.
Dokter yang sejak awal menangani Dzaka terdiam sejenak. "Ini bukan karena kecelakaan, Dok. Tulang rusuk pemuda ini sudah retak sebelumnya dan karena kejadian ini, tulang yang retak menjadi patah."
"Seberapa keras dia terhempas, ya?" Monolog dokter bedah itu terdengar jelas di antara suara mesin yang menggema di ruang operasi.
"Dokter! Tekanan darah pasien semakin rendah!" Suara panik perawat itu membuat tangan sang dokter bedah mengerat. Dia masih belum menemukan retakan itu.
Tiba-tiba sesuatu yang basah dan amis mengenai matanya. Sedangkan rekannya menatap tak percaya ke arah dokter bedah itu.
"Dokter .... Anda baru saja melukai pembuluh darah pasien!" ujar dokter tersebut membuat sang dokter bedah tersentak.
Suara mesin itu benar-benar mengganggu konsentrasi mereka semua. Keringat dingin mulai membanjiri pelipis para dokter. Ini buruk ... sangat buruk.
"Tetap tenang semua!" Suara tegas dan dalam itu membuat suasana semakin mencekam.
"Satu orang panggil rekan kalian yang mencari kantong darah! Pasien harus segera mendapatkan transfusi darah!" Perintah mutlak itu membuat seorang perawat wanita segera berlari ke luar ruang operasi.
"Tolong bantu saya menjahit luka di pembuluh darahnya! Saya akan memeriksa serpihan tulang rusuknya kembali." Dokter yang menangani Dzaka sebelumnya hanya mengangguk sebelum menjalankan perintah
"Dengarkan semuanya!" Suara berat itu memenuhi rungu semua orang yang berada di ruang operasi. "Tetap tenang! Kendalikan diri kalian! Kita akan berusaha sebaik mungkin! Jadi jangan mengacaukan pikiran kalian dengan asumsi-asumsi tidak jelas!"
Semua kepala mengangguk mantap sebelum kembali pada tugas masing-masing.
"Dokter! Saya sudah mendapatkan darahnya!" Perawat yang sebelumnya mencari kantong darah sudah kembali bersama rekan yang mencarinya.
Semua orang di ruangan itu menghela napas lega begitu saja. Seolah satu beban yang menghimpit dada mereka baru saja terangkat.
"Cepat lakukan transfusi darah! Kita akan menyelamatkan pemuda ini bersama-sama!" Para dokter saling tatap dan mengangguk mantap. Mereka akan mengusahakan yang terbaik.
Melihat para dokter memancarkan aura penuh keyakinan, para perawat menjadi tenang dan merasakan tekad yang sama. Mereka akan menyelamatkan pemuda ini.
Setelah dilakukan transfusi darah, bunyi mesin di ruangan itu menjadi lebih stabil. "Tekanan darah pasien mulai stabil!" ujar seorang perawat dengan senyuman penuh kelegaan di balik maskernya.
"Aku menemukannya!" ujar sang dokter bedah mengeluarkan patahan tulang rusuk Dzaka dari paru-parunya.
Semua orang kembali merasa satu beban berat yang menghimpit mereka terangkat. Keyakinan bahwa semua akan baik-baik saja terpancar jelas dari mata semua orang.
"Mari kita selesaikan dengan baik dan pastikan pemuda ini kembali sadar, agar operasi kita dianggap berhasil!"
Sebagai dokter umum yang sedari awal menangani Dzaka, perasaannya campur aduk. Setiap respon dari tubuh rapuh itu membuatnya menahan napas karena perasaan khawatir yang menderanya.
Sebagai seorang dokter, tentu saja dia selalu mengharapkan pasiennya kembali membaik. Begitu pula dengan pemuda di hadapannya ini. Dia berharap dari lubuk hati terdalam, bahwa pemuda ini bisa kembali membuka matanya dan memulai hari baru.
Tangannya cekatan membantu sang dokter bedah menjahit kembali sayatan di tubuh Dzaka. Helaan napas penuh kelegaan memenuhi ruang operasi yang tiba-tiba saja menjadi lebih tenang.
"Terima kasih atas kerja kerasnya semua!" ujar dokter bedah sebagai tanda bahwa operasi kali ini telah berakhir.
Hanya saja berhasil atau tidak, mereka harus menunggu hingga Dzaka sadar.
"Kondisi pasien saat ini stabil!" Kalimat itu bak angin segar di tengah musim kemarau. Hati mereka yang sebelumnya penuh dengan tekanan dan rasa khawatir menjadi nyaman dan tenang.
...----------------...
Dzaka sudah dipindahkan ke ruang inap. Paman Adi, Tanvir, dan Dimitri memerhatikan tubuh Dzaka yang terbaring dengan tenang. Seolah kejadian selama beberapa waktu yang lalu tidak memengaruhinya.
Paman Adi hampir saja terjatuh, jika tak segera ditopang oleh Dimitri. "Syukurlah ... syukurlah tuan muda berhasil diselamatkan."
Tanvir yang sejak tadi terpaku merasakan sesuatu yang basah mengaliri pipinya. Hatinya yang sejak tadi terasa berat dan sesak perlahan terlepas dari kekangan. Dia merasa lega melihat Dzaka melewati masa kritisnya.
Dimitri dengan wajah pucatnya menatap pada wajah damai Dzaka. Dadanya bak diremas kuat membuatnya sesak. Mata tajamnya terlihat sayu dan penuh kasih sayang.
Dzaka selamat, batin Dimitri. Seolah dia baru saja memberikan laporan kepada seseorang tentang kondisi Dzaka.
"Bang ... Paman. Tanvir pamit, ya. Raffa udah terlalu lama ditinggal. Nanti Tanvir balik lagi." Ucapan Tanvir hanya dibalas anggukan oleh Paman Adi dan Dimitri.
Tak lama pintu ruang inap Dzaka terbuka. Dokter masuk bersama seorang perawat hendak memeriksa kondisi Dzaka, karena sempat kritis, perawatan Dzaka lebih intens.
Ketika dokter membuka baju rumah sakit Dzaka untuk memeriksa jahitan di sana, Dimitri menyadari sesuatu. "Tunggu!"
Suara Dimitri membuat dokter dan perawat itu kaget, karena sebelumnya mereka terlalu fokus. Sedangkan Paman Adi menoleh penasaran.
Dimitri membuka baju Dzaka hingga terlihat jelas sesuatu yang tadi menarik perhatiannya. Ada beberapa bekas luka di tubuh Dzaka, juga beberapa lebam yang mulai memudar. Salah satunya berada di dekat jahitan di tubuh Dzaka.
"Paman ...." Suara Dimitri saat memanggil Paman Adi begitu berat dan dingin. Mata penuh kasih sayang sebelumnya sudah kembali menatap tajam setiap bekas luka dan lebam di tubuh Dzaka.
Paman Adi yang dipanggil dengan nada seperti itu merasa heran dan mendekat. Ketika netranya mengikuti apa yang dilihat oleh Dimitri, matanya membelalak.
"Ini ... ini ...." Bahkan Paman Adi tidak bisa melanjutkan ucapannya.
Dokter yang sejak tadi memerhatikan hal itu juga terkejut. Padahal dia sudah memeriksa tubuh Dzaka, tapi dia tidak menyadari itu. Bahkan lebam memudar di sekitar area yang dia yakini tepat dengan posisi tulang rusuk yang retak cukup parah.
"Siapa yang sudah melakukannya, Paman?"
Paman Adi terdiam dengan wajah mengeras. Dia sudah punya gambaran siapa orang yang berkemungkinan melakukannya.
Pintu ruangan Dzaka kembali terbuka menampilkan sosok yang membuat tatapan Paman Adi semakin menajam.
Langkah tegap dengan aura berkuasa yang begitu pekat. Kewibawaannya tak lekang oleh usia. Wajah datarnya menunjukkan keangkuhan yang nyata.
"Ada urusan apa Anda ke sini, Tuan Emir?"