Ratusan tahun lalu, umat manusia hampir punah dalam peperangan dahsyat melawan makhluk asing yang disebut Invader—penghancur dunia yang datang dari langit dengan satu tujuan: merebut Bumi.
Dalam kegelapan itu, lahirlah para High Human, manusia terpilih yang diinkarnasi oleh para dewa, diberikan kekuatan luar biasa untuk melawan ancaman tersebut. Namun kekuatan itu bukan tanpa risiko, dan perang abadi itu terus bergulir di balik bayang-bayang sejarah.
Kini, saat dunia kembali terancam, legenda lama itu mulai terbangun. Para High Human muncul kembali, membawa rahasia dan kekuatan yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan segalanya.
Apakah manusia siap menghadapi ancaman yang akan datang kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyukasho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 18 Remake: Tambang Aneh
Langit siang menggantung tenang di atas dataran tandus tempat tambang besi Westmark berada. Tanah di sekitarnya tampak gersang dan keras, hanya ditumbuhi semak belukar yang berjuang untuk hidup. Debu beterbangan pelan setiap kali angin meniup permukaan jalan berbatu.
Sho dan Aria berdiri di hadapan mulut tambang yang menganga seperti rahang raksasa yang siap menelan apa pun yang masuk. Gerobak tambang tua berderit tertahan di relnya, dan lentera-lentera besi digantung seadanya di sekeliling pintu masuk.
Seorang pria tua berdiri di depan mulut tambang, mengenakan jas kerja lusuh dengan noda karat dan debu yang sudah menyatu dengan warnanya. Janggutnya abu-abu dan lebat, matanya menyipit namun tajam.
Saat Sho dan Aria mendekat, pria itu membungkuk sedikit sebagai bentuk penghormatan.
“Selamat datang di tambang besi Westmark,” ucapnya dengan suara berat namun sopan. “Namaku Gerralt Kreyne, aku pemilik tempat ini.”
Sho mengangguk sopan. “Kami datang untuk menyelidiki laporan hilangnya para penambang.”
Aria menatap sekeliling tambang dengan penuh selidik. “Kondisi tempat ini... Terlihat cukup tua, tapi tak begitu berbahaya, bukan?”
Gerralt menghela napas panjang. “Kalian akan segera tahu bahwa apa yang terlihat tak selalu bisa dipercaya.”
Ia menatap keduanya dengan serius. “Di tambang ini, tidak ada monster. Hanya slime. Itu saja.”
Aria mengerutkan kening. “Hanya slime?”
“Ya,” jawab Gerralt, lalu menunduk pelan seolah sedang mengingat sesuatu yang tidak menyenangkan. “Slime tidak berbahaya. Biasanya. Tapi dalam sebulan terakhir... mereka berubah. Bukan dari segi bentuk, melainkan perilaku.”
Sho menyipitkan mata. “Berubah seperti apa?”
Gerralt memandang ke arah lubang tambang di belakangnya. “Mereka tidak hanya muncul di ruang-ruang biasa. Mereka mulai bermunculan dari dinding, dari tanah yang belum digali. Seolah-olah... Mereka tahu kami di sana. Mereka diam. Mengawasi. Menempel di langit-langit tanpa bergerak, seperti menunggu sesuatu. Penambang yang melihat mereka mengatakan—mereka merasa diawasi. Tak lama kemudian, mereka menghilang satu per satu. Tak ada jejak. Tak ada darah.”
Aria saling pandang dengan Sho. Ekspresi wajahnya berubah sedikit tegang.
Gerralt melanjutkan, “Kami menyegel area bawah, tapi itu tak menyelesaikan apa pun. Setiap kali kami coba menambang di wilayah yang berbeda... Slime tetap muncul. Seolah mereka menyatu dengan tambang itu sendiri.”
Ia menatap mereka berdua. “Itu sebabnya kami meminta bantuan dari Guild. Dan ketika aku dengar bahwa dua High Human akan datang... Kupikir, mungkin nasib tambang ini masih bisa diselamatkan.”
Sho melirik Aria. “Kita harus menyelidiki langsung.”
“Ya.” Aria mencabut busur dari dimensi kosong di lengannya, anak panah cahaya perlahan terbentuk di telapak tangannya. “Akan lebih baik jika kita mulai dari jalur paling bawah. Kalau mereka menyegel area bawah, kemungkinan jawaban ada di sana.”
Gerralt memberi mereka sebuah peta tambang, digambar kasar tapi cukup informatif. “Pintunya masih tertutup rantai. Tapi jika kalian memang serius, aku akan memberikan kuncinya.”
Sho menerima kunci besi tua itu, terasa dingin di telapak tangannya. Ada ukiran lingkaran kecil seperti simbol yang tak dikenalnya.
“Terima kasih, Tuan Gerralt,” ujar Sho.
“Berhati-hatilah di dalam. Bukan slime-nya yang kutakutkan... Tapi sesuatu yang mereka sembunyikan.”
Sho dan Aria menuruni anak tangga kayu yang mengarah ke dalam tambang, napas mereka mulai terasa berat seiring udara semakin lembab dan gelap. Lentera-lentera tua menyala samar, dan aroma besi bercampur tanah basah memenuhi hidung mereka.
Perjalanan baru dimulai. Tapi ada sesuatu yang bergerak di balik bayangan...
Dan slime... Sedang menunggu.
---
Langkah kaki mereka menggema pelan di lorong batu yang semakin dalam dan gelap. Lentera gantung yang mereka lewati hanya memberi cahaya redup berwarna jingga kusam. Bau logam, tanah lembab, dan sesuatu yang tidak mereka kenali perlahan mengisi paru-paru mereka.
Di depan, jalur tambang bercabang. Salah satu lorong tertutup dengan papan kayu dan rantai besi yang mengikat salib di depannya. Di sanalah titik yang disebut Gerralt sebagai wilayah bawah yang disegel.
Sho menyentuh rantai itu dan mengeluarkan kunci yang diberikan Gerralt. Suara logam tua berderak saat kunci diputar. Rantai jatuh ke tanah dengan bunyi keras yang memantul sepanjang lorong.
Begitu mereka melangkah masuk ke wilayah yang lebih gelap, sebuah suara muncul dalam benak Aria—suara Apollo.
“Aria, berhati-hatilah. Tempat ini tidak hanya gelap... Ini terkutuk. Cahaya matahariku bahkan sulit menembusnya. Sesuatu di sini... Mengaburkan instingmu.“
“Ini bukan tambang biasa.”
Aria refleks mempererat genggamannya pada busur.
Sementara itu, Sho juga terdiam. Nafasnya pelan, tapi gelisah. Ia bisa merasakan sesuatu... Seolah dinding-dinding tambang bernafas.
Lalu suara lembut, dingin dan dalam menggema di pikirannya—suara Persephone.
“Sho... Kau merasakannya, bukan? Sesuatu di sini tidak hidup... Tapi juga bukan mati. Alam pun enggan menyentuh bagian ini.”
“Ini tempat di mana energi kehidupan telah... Dilenyapkan.”
Sho mengepalkan tangannya. Jantungnya berdebar tak nyaman. Ia mengangkat kalung kristal hijaunya... Dan tanpa sadar menariknya dari leher.
Kilatan cahaya hijau menyelimuti kalung itu, lalu bentuknya berubah menjadi Bident berwarna hijau metalik, namun kali ini, berbeda dari sebelumnya.
Panjangnya hanya setara sebuah pedang pendek. Ujung-ujung tajamnya tetap kembar, tapi gagangnya lebih pendek, dengan desain ramping yang pas digunakan di ruang sempit seperti lorong tambang.
Aria menoleh, mata keemasan bersinar samar.
"Baru kali ini kau mengubah bentuknya seperti itu."
Sho mengangguk pelan, lalu bergumam, "Aku tidak tahu kenapa... Tapi aku merasa ini akan lebih mudah digunakan di sini."
Namun dalam pikirannya, suara Persephone terdengar—kali ini agak panik.
“...Sho...? Bagaimana kau... Bisa mengubah panjang Bident itu sendiri?”
“Aku bahkan belum mengajarkan itu padamu... Bahkan kau tidak tahu Bident itu bisa dimodifikasi panjang-pendeknya.”
Sho membeku sejenak, matanya melebar sedikit.
“Aku... Tidak tahu,” bisiknya ke dalam, “Aku hanya... Merasa perlu melakukannya.”
Persephone terdiam sesaat. Suaranya kali ini terdengar lebih... serius.
“Menarik... Sangat menarik.”
“Kau mulai bereaksi dengan senjata itu bukan hanya sebagai pengguna, tapi sebagai... Bagian dari senjata itu sendiri. Sho, kau bukan hanya pewaris kekuatanku. Kau mulai menyatu dengan warisan itu.”
“Tapi hati-hati. Bident hanya akan menjawab kehendak yang jelas dan murni. Jika hatimu goyah... Senjata itu bisa berubah jadi sesuatu yang lebih berbahaya daripada Invader.”
Sho menggenggam gagangnya erat.
“Kalau begitu, aku tidak boleh goyah.”
Aria menatap Sho dari samping, tak ingin mengganggu percakapan batinnya. Ia bisa menebak bahwa Persephone sedang berbicara dengannya, seperti Apollo di dalam kepalanya sendiri.
“Kalau begitu,” kata Aria pelan, “Ayo kita lanjut.”
Sho mengangguk. Mereka mulai melangkah lebih dalam ke perut tambang—tanpa tahu bahwa sesuatu sedang memperhatikan mereka dari balik bebatuan.
---
Lorong-lorong gelap semakin menyempit saat Sho dan Aria menuruni tangga batu yang dipenuhi kelembaban. Gemericik air menetes dari stalaktit di langit-langit tambang, menciptakan irama sepi yang terasa ganjil. Udara di sini lebih dingin, seperti menghirup kabut.
Tiba-tiba, suara berlendir terdengar dari depan mereka. Sesosok slime berwarna kehijauan muncul dari celah dinding batu yang retak. Ukurannya kecil, seperti kepala manusia, dan tubuhnya menggeliat dengan tekstur yang tampak lebih kental dari slime biasa.
Tanpa ragu, Aria mengangkat tangannya.
Whossh!
Sebuah anak panah cahaya muncul dari kekosongan dan langsung dilepaskan.
Thokk!
Anak panah menembus pusat tubuh slime itu, dan seketika slime meledak menjadi uap cahaya, menghilang tanpa jejak.
“...Bukan ancaman besar,” gumam Aria.
Tapi sebelum Sho sempat menjawab, dinding batu di sekitar mereka mulai bergerak.
Suara berlendir kini terdengar dari segala arah—dari sela-sela dinding, celah lantai, dan bahkan dari atas langit-langit tambang. Mata Sho membelalak saat melihat puluhan—tidak—ratusan slime menjulur keluar, menggeliat dan jatuh satu per satu.
Tubuh-tubuh berlendir itu mulai menyatu. Seperti kumpulan daging cair yang dikendalikan satu kesadaran, mereka membentuk satu entitas besar—slime raksasa yang menggulung-gulung memenuhi seluruh lorong di depan mereka, menutup jalan kedepan.
“Tak ada jalan untuk maju,” gumam Sho pelan.
“Dan terlalu berbahaya untuk dibiarkan hidup,” jawab Aria dengan nada dingin.
Slime raksasa itu menggeliat, tubuhnya berkedut seperti makhluk yang lapar. Tanpa aba-aba, Sho menerjang ke depan. Bident pendek di tangannya bergerak cepat, menebas tubuh slime itu, namun sayangnya, luka itu langsung menutup kembali. Tidak ada efek.
Tapi...
Api hijau dari ujung Bident mulai menjalar, membakar lendir itu dari dalam. Slime itu menggeliat keras, mengeluarkan suara seperti bisikan mengerang dari ratusan mulut tak terlihat.
FWOOSH!
Api hijau Sho membakar dengan intensitas tinggi, membentuk pola seperti akar pohon merambat dalam lendir raksasa itu, mengoyaknya dari dalam.
Aria tak tinggal diam. Ia melompat mundur, lalu menegakkan punggungnya.
“Panah matahari, jawab panggilanku!”
Puluhan anak panah cahaya muncul melayang mengelilinginya, berkilau seperti pecahan bintang.
“Hancurkan.”
Whosst! Whosst! Whosst!
Rentetan panah cahaya ditembakkan dalam kecepatan tinggi. Tubuh slime raksasa itu tertusuk, ditembus, lalu terbakar oleh perpaduan cahaya matahari dan api kehijauan.
Jeritan mental aneh terdengar di kepala Sho dan Aria. Slime itu menggelepar, sebagian tubuhnya meleleh seperti lilin.
Dalam waktu kurang dari satu menit, pertarungan selesai.
Yang tersisa hanyalah gumpalan abu lendir yang masih mengepul, dan aroma tajam seperti karet terbakar.
Sho menarik napas berat, sementara Aria menurunkan busurnya yang kembali menghilang ke kekosongan.
“Ini... Bukan slime biasa,” ucap Aria, menatap sisa-sisa lendir di lantai.
Sho mengangguk. “Kita harus masuk lebih dalam. Apa pun ini, kita belum melihat akar masalahnya.”
Mereka menatap satu sama lain dalam diam. Tak perlu berkata banyak. Keduanya tahu—apa pun yang membuat slime itu berubah, itu bukan sekadar mutasi biasa. Ada sesuatu... Atau seseorang... Yang mengendalikannya dari dalam tambang.
Mereka melangkah lagi—masuk lebih dalam ke jantung kegelapan.
---
Langkah mereka bergema pelan di lorong-lorong tambang yang semakin dalam dan berliku. Lentera-lentera sihir yang biasa memancarkan cahaya kuning hangat kini perlahan berubah... Menjadi ungu.
Bukan ungu biasa—tapi ungu yang dingin, menusuk, dan mengalirkan rasa tidak nyaman ke tulang. Cahaya itu tampak seperti denyut jantung, berdetak dalam irama tak teratur, seolah tambang ini sendiri... Hidup.
Sho memperlambat langkahnya. Aria pun ikut waspada.
“Cahaya lentera ini...” bisik Aria pelan. “...tidak alami.”
“Bukan buatan manusia,” sambung Sho.
Semakin mereka masuk, semakin banyak tanda-tanda aneh: akar-akar tambang berubah hitam, bebatuan berdenyut samar, dan suhu terasa menurun drastis meskipun mereka berada jauh di dalam perut bumi.
Hingga akhirnya... Lorong terbuka menjadi sebuah ruangan luas, semacam gua alami di tengah struktur tambang buatan manusia.
Dan di sanalah mereka melihatnya.
Sho dan Aria langsung berhenti, seolah seluruh dunia membeku bersamaan dengan langkah mereka.
Di tengah ruangan, terdapat sepuluh makhluk berdiri tegak. Tubuh mereka tinggi besar, dengan kulit perak kelam yang memantulkan cahaya ungu. Mata mereka bersinar merah menyala—tanda khas dari Invader Tingkat Menengah.
Sepuluh.
Bukan satu. Bukan dua.
Sepuluh Invader tingkat menengah.
Dan di sekeliling mereka, seperti semut yang bergerak tanpa suara, terdapat sekitar tiga puluh Invader Tingkat Rendah. Beberapa menempel di dinding gua seperti serangga, yang lain menjaga tepi lingkaran cahaya ungu di tengah ruangan.
Aria perlahan mundur satu langkah. “...Tidak mungkin kita bisa menang...”
Sho tak menjawab. Tangannya mencengkeram Bident pendeknya lebih erat, namun napasnya membeku. Bahkan satu Invader Menengah bisa membuat mereka setengah mati... Apalagi sepuluh.
Tak ada keraguan. Ini bukan tempat untuk bertarung. Ini tempat untuk kabur.
Sho memberi isyarat tangan. Aria mengangguk.
Mereka mulai mundur perlahan, menjaga napas, menyelinap melalui bayangan dinding tambang.
Beberapa langkah lagi.
Hanya tinggal beberapa langkah—
Schlak!...
Sebuah suara lendir menetes dari langit-langit.
Mereka menoleh.
Jalan keluar mereka... telah tertutup.
Slime raksasa yang sebelumnya mereka lawan kini muncul kembali, tubuhnya menyebar di sepanjang lorong, menciptakan tembok berlendir yang tak bisa ditembus.
Dan sebelum mereka sempat bergerak...
Kreeeeeek...
Sepuluh Invader Tingkat Menengah itu berbalik secara bersamaan.
Mata merah mereka menyala, menatap langsung ke arah Sho dan Aria.
Satu per satu langkah berat mulai mendekat. Suara pelat besi dan daging logam bergesekan menggema di seluruh gua.
Sho dan Aria berdiri kaku, tangan mereka berdua bergetar, bahkan mereka tak memiliki tenaga untuk berekspresi ketakutan.
Tak ada jalan untuk mundur. Tak ada tempat untuk bersembunyi.
Tak ada bantuan.
Dan langit-langit tambang bergema pelan, seperti napas terakhir dari bumi yang menanti kehancuran.
semogaa hp nya author bisa sehat kembali, dan semoga di lancarkan kuliahnya, sehat sehat yaa author kesayangan kuu/Kiss//Kiss/