Zahra, seorang perempuan sederhana yang hidupnya penuh keterbatasan, terpaksa menerima pinangan seorang perwira tentara berpangkat Letnan Satu—Samudera Hasta Alvendra. Pernikahan itu bukan karena cinta, melainkan karena uang. Zahra dibayar untuk menjadi istri Samudera demi menyelamatkan keluarganya dari kehancuran ekonomi akibat kebangkrutan perusahaan orang tuanya.
Namun, tanpa Zahra sadari, pernikahan itu hanyalah awal dari permainan balas dendam yang kelam. Samudera bukan pria biasa—dia adalah mantan kekasih adik Zahra, Zera. Luka masa lalu yang ditinggalkan Zera karena pengkhianatannya, tak hanya melukai hati Samudera, tapi juga menghancurkan keluarga laki-laki itu.
Kini, Samudera ingin menuntut balas. Zahra menjadi pion dalam rencana dendamnya. Tapi di tengah badai kepalsuan dan rasa sakit, benih-benih cinta mulai tumbuh—membingungkan hati keduanya. Mampukah cinta menyembuhkan luka lama, atau justru semakin memperdalam jurang kehancuran?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fafacho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27.
Zahra keluar dari kamarnya pelan-pelan, masih mengenakan daster panjang berwarna pastel dengan rambut yang diikat seadanya. Udara pagi di rumah dinas itu masih sejuk, dan langit di luar baru saja mulai berubah warna, pertanda matahari akan segera muncul dari ufuk timur.
Saat melewati ruang tengah, langkah Zahra tiba-tiba terhenti. Matanya menangkap sosok Samudera yang terbaring di sofa, masih dalam posisi tidur menyamping, dengan satu lengannya dijadikan bantal dan selimut kecil hanya menutupi sebagian tubuhnya.
"Mas Samudera tidur di luar?" gumam Zahra lirih, lebih kepada dirinya sendiri.
Alisnya mengernyit, memandangi sosok suaminya itu dengan perasaan yang bercampur aduk. Biasanya, setelah pulang dinas, Samudera langsung masuk ke kamar dan tidur di ranjang,
Kini melihat suaminya tertidur di sofa seperti itu, tubuhnya tampak lelah dan wajahnya seolah memendam sesuatu yang berat, Zahra merasa dadanya sedikit sesak. Ia ingin mendekat, ingin menarik selimut dan membetulkan posisi tidur Samudera, tapi langkah kakinya malah ragu-ragu. Ia takut mengganggu. Ia takut suaminya akan terbangun dan bersikap dingin lagi, seperti biasanya.
Zahra menggigit bibir bawahnya. Lalu dia menghela napas panjang dan memutuskan untuk berbalik arah menuju dapur. Dia bisa menunjukkan perhatiannya dengan cara lain. Ia akan menyiapkan sarapan—hal kecil, tapi setidaknya bisa menjadi bentuk kepeduliannya pada Samudera.
Di dapur, Zahra mulai menyalakan kompor dan mengisi panci kecil dengan air. Ia berniat merebus telur, membuat tumisan sederhana, dan menanak nasi. Gerakannya teratur, tapi pikirannya terus melayang pada Samudera.
"Kenapa tidur di luar ya? Apa dia ada masalah?" pikir Zahra sambil memotong bawang merah dan cabai.
Seketika terlintas bayangan Samudera semalam, yang tampak diam dan tidak biasa. Ada sesuatu dalam sikap pria itu yang terasa berbeda. Bukan hanya dingin, tapi juga... terluka. Seperti seseorang yang menyimpan beban berat tapi tak tahu cara membaginya.
Zahra terdiam sejenak di depan wajan panas. Hatinya tergerak untuk melakukan sesuatu. Ia tahu Samudera bukan tipe pria yang mudah bercerita atau membagi masalah. Tapi mungkin... jika ia bersabar dan terus berusaha, pria itu akan terbuka juga.
Sambil mengaduk tumisan, Zahra tersenyum samar. “Aku akan berusaha membuat hubungan kita menghangatkan mas, Meskipun kamu belum bisa mencintaiku... tapi aku akan tetap di sini. Menemanimu. Pelan-pelan saja, mas Samudera.”
Sarapan sederhana akhirnya selesai. Dua piring sudah ditata di meja makan. Zahra mengambil napas panjang, lalu melangkah lagi ke ruang tengah. Samudera masih tertidur dalam posisi yang sama. Perlahan, ia mendekat. Kali ini lebih berani.
Ia mengambil selimut yang hampir jatuh ke lantai dan menyelimutkan kembali tubuh Samudera dengan hati-hati. Pandangannya lembut, penuh simpati.
“Mas... sarapannya udah siap. Kalau udah bangun, ayo makan dulu...” bisiknya pelan, meski ia tahu Samudera mungkin belum akan terbangun.
Samudera tak kunjung bangun membuat Zahra sedikit menggoyang tubuh pria itu, dan berhasil Samudera bangun dengan kondisi sedikit terkejut.
"apa? " ucapnya berusaha menyembunyikan rasa terkejutnya.
Zahra menatal Samudera heran,
"mas, bangun sarapan. " ucap Zahra pada akhirnya.
"ini jam berapa? " Samudera bukannya menjawab malah balik bertanya.
"masih jam enam mas" jawab Zahra.
Perlahan Samudera mendudukkan dirinya, dia menatal lekat Zahra yang ada di depannya.
Zahra yang di tatap seperti itu merasa bingung,
"ada apa mas? " tanya Zahra.
"nggak, saya mau ke kamar mandi dulu." jawab Samudera dan langsung berdiri dari duduknya berjalan menuju kamar mandi.
***
Zahra saat ini tengah berada di kamarnya, dia baru saja ganti baju. Kini perempuan itu sudah rapi dengan kaos olahraga persitnya, hari ini dia akan mengikuti olahraga bersama persit lain.
"semoga aku hari ini nggak bikin malau mas Samudera" harap Zahra, karena dia teringat kejadian waktu dia pingsan beberapa hari lalu.
Kali ini ia tak ingin membuat suaminya itu malu, ia harus menjadi istri yang bisa menjaga nama baik suaminya.
Di saat dia tengah merapikan penampilannya di depan cermin ponselnya yang ada di kasur berbunyi. membuat Zahra langsung melihat kearah ponselnya, perlahan dia berjalan mendekat mengambil benda pipih tersebut.
"Zera? " gumamnya malas, benar ia malas mengangkat panggilan dari adiknya itu. Zahra menaruh kembali ponselnya di atas tempat tidur dan merapikan penampilannya lagi.
Kini ponselnya berdiri lagi, Zahra menghela nafas kasar. dengan langkah terpaksa dia berjalan kembali menuju ponselnya.
"halo Zera, ada apa? " tanyanya datar.
"mbak aku minta tolong telponkan mas Juan. dia nggak pulang seminggu ini mbak" rengek Zera pada Zahra.
"apa urusannya denganku, dia suamimu"
"iYa aku tahu mbak, tapi mas Juan aku telpon nggak di angkat. Ini Shania nangis terus nyari ayahnya mbak. aku mohon mbak"
"nggak, itu bukan urusanku. dia suamimu. " tolak Zahra mentah mentah.
"mbak, aku mohon. siapa tahu mas Juan mbak telpon di angkat. mbak tolong mbak" Zera terdengar memohon.
"mbak bilang nggak ya nggak, dia sekarang suamimu. kau urus saja sendiri dan jangan libatkan mbak lagi. kau sendiri yang mengambil Juan dari mbak" tukas Zahra kesal.
"iya aku tahu mbak, aku min.. "
"Kau pikir maaf bisa buat mbak hilang sakitnya Zera, kau selalu mau menang sendiri. kalau nggak minta tolong ayah aja, kau anak kesayangan ayah kan. pasti ayah bakal selalu bantu kamu" Zahra mengatakan itu dengan kesal,
"ayo, sudah siap belum" Tiba-tiba saja Samudera membuka pintu kamar dan berjalan mendekat kearah Zahra.
"I.. iya mas" ucap Zahra sedikit terkejut karena kemunculan Samudera.
"ayo sayang, nelpon siapa sih. kita sudah kesiangan. aku ambilkan jilbabnya ya" ucap Samudera dengan lembut. dia mengambilkan jilbab milik Zahra.
Zahra sedikit tak percaya mendengar ucapan Samudera tersebut. Barusan pria itu memanggilnya sayang dan sekarang Samudera bersikap manis padanya. sebenarnya mimpi apa Samudera, batin Zahra.
Zahra langsung mematikan panggilannya begitu saja dan buru-buru menghampiri Samudera.
"mas, mas Samudera, biar aku cari sendiri. maaf membuatmu menunggu lama" ucap Zahra saat sudah menghampiri Samudera.
Samudera langsung berhenti mencari jilbab milik Zahra dan dia menatap Zahra sesekali melihat ponsel Perempuan itu.
"ya sudah kalau begitu" ucapnya dan wajahnya berubah datar lagi.
"iya mas, "
"saya tunggu diluar" ucap Samudera dan langsung pergi dari kamar Zahra. Zahra sendiri di buat terkejut dengan sikap Samudera yang kembali datar. Dia menatap heran punggung sang suami yang perlahan menjauh keluar dari kamarnya.
"kenapa mas Samudera bersikap lembut tadi, tapi sekarang kembali lagi" gumam Zahra heran dengan sikap suaminya yang berubah-ubah.
"sudahlah, nggak usah aku pikirkan. ayo Zahra buru pakai jilbab, suamimu sudah nunggu di depan" ucap Zahra buru-buru mencari jilbabnya dan memakainya setelah itu ia keluar menyusul Samudera yang sudah menunggunya.
°°°