Melodi terpaksa menerima perjodohan yang sebenarnya ditujukan untuk kakaknya. Ia dinikahkan dengan Gilang, gitaris sekaligus vokalis terkenal berusia 32 tahun—pria dingin yang menerima pernikahan itu hanya demi menepati janji lama keluarganya.
Sebelum ikut ke Jakarta, Melodi meminta sebuah perjanjian pribadi agar ia tetap bisa menjaga batas dan harga dirinya. Gilang setuju, dengan satu syarat: Melodi harus tetap berada dekat dengannya, bekerja sebagai asisten pribadinya.
Namun sesampainya di Jakarta, Melodi mendapati kenyataan pahit:
Gilang sudah memiliki seorang kekasih yang selalu berada di sisinya.
Kini Melodi hidup sebagai istri yang tak dianggap, terikat dalam pernikahan tanpa cinta, sambil menjalani hari-hari sebagai asisten bagi pria yang hatinya milik orang lain. Namun di balik dinginnya Gilang, Melodi mulai melihat sisi yang tak pernah ditunjukkan sang selebritis pada dunia—dan perasaan yang tak seharusnya tumbuh mulai muncul di antara mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santisnt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terpanah
Gilang mematung. Begitu Melodi mendekat, tatapan laki-laki itu tidak bergeser sedikit pun. Ia terpanah betul-betul terpaku, seolah seluruh masjid menghilang dan hanya Melodi yang ada di sana.
“Masyaallah… cantik sekali menantu Ibu.”
Suara lembut itu terdengar dari seorang wanita paruh baya yang tersenyum hangat mama Gilang, yang kini resmi menjadi mertua Melodi.
Ibu Melodi ikut mendorong bahu putrinya pelan.
“Nak, ayo duduk di sebelah nak Gilang.”
Melodi hanya mengangguk kecil. Tubuhnya bergerak otomatis tanpa perasaan apa pun.
Ia duduk di samping Gilang… sementara Gilang masih menatapnya tak percaya, seakan belum bisa memproses bahwa perempuan ini Melodi sekarang adalah istrinya.
Penghulu tertawa kecil melihat ekspresi itu.
“Waduh, ini tanda tangan dulu ya, Nak Gilang. Lihat istrinya nanti lagi.”
Sontak Gilang langsung memalingkan wajah, wajahnya memerah, membuat seluruh ruangan menahan tawa. Bahkan mama Gilang ikut menutup mulut menahan geli.
Melodi mengembuskan napas pelan.
“Gila…” bisiknya lirih penuh campuran lelah dan tidak percaya.
Namun Gilang, yang duduk sangat dekat, mendengar dengan jelas.
Ia tersenyum kecil, menunduk, mencoba menahan tawa yang tiba-tiba muncul karena komentar itu.
Untuk pertama kalinya hari itu…
Gilang menunjukkan ekspresi manusiawinya.
Dan Melodi sadar ini baru permulaan.
Setelah tanda tangan selesai, penghulu mulai memberi arahan agar Melodi mencium tangan suaminya. Begitu juga Gilang—ia diminta untuk mengecup kening Melodi.
Mendengar instruksi itu, Melodi langsung terdiam. Bukan Gilang. Cowok itu bahkan sudah lebih dulu menyodorkan tangannya ke depan wajah Melodi seolah semuanya mudah saja.
“Apa sih an… nih cowok jelek,” dengus Melodi dalam hati, nyaris mendesah kesal.
“Cium tangan suami. Cepetan,” bisik Gilang pelan tapi jelas, seolah ia punya hak mengatur segalanya.
Melodi memutar matanya keras. Dengan wajah muak, ia akhirnya meraih tangan Gilang dan menempelkannya ke bibirnya—cepat, sekadarnya, tanpa perasaan. Gilang pun langsung membalas dengan mengecup kening Melodi seperti sudah menunggu momen itu.
“Oke, tahan sebentar!” seru Bang Rangga sambil mengangkat kamera, berusaha menangkap momen ‘sakral’ adiknya itu.
Melodi mulai risih. Bang Rangga entah kenapa mengambil foto seperti fotografer profesional yang dibayar per detik—lama sekali. Tanpa sadar, Melodi sedikit mendorong bahu Gilang agar menjauh.
“Sorry… nyaman,” ucap Gilang pelan sambil tersenyum kecil, seakan dorongan itu bukan penolakan tapi bentuk perhatian.
Mendengar itu, Melodi langsung menoleh dengan ekspresi paling jijik yang bisa ia keluarkan. Bibirnya mengerucut, alisnya naik sebelah.
Nyaman apanya, bego, batin Melodi.
Gilang cuma terkekeh pelan, pura-pura nggak lihat tatapan menjijikkan yang ditujukan padanya.
Penghulu kembali memberi arahan dengan suara lembut namun tegas.
“Silakan, Nak, pasangkan cincin di jari pasangan masing-masing.”
Melodi langsung memotong, “Pasang sendiri aja, Pak.”
Sontak ibu melirik tajam, penuh kode. “Nak…” tegurnya, halus tapi menusuk.
Melodi menghela napas, malas, lalu mengambil cincin Gilang. Dengan gerakan super cepat seperti sedang menembakkan peluru, ia langsung menyodorkan cincin itu ke jari Gilang.
“Aww! Pelan-pelan, tangan gue bisa putus,” bisik Gilang sambil agak meringis.
“Bodo amat,” balas Melodi tanpa dosa.
Gilang hanya tersenyum kecil, entah sabar atau sudah pasrah. Ia mengambil cincin milik Melodi dan mulai memasangkannya perlahan, hati-hati, seolah sedang memegang barang pecah belah mahal.
Melodi mendengus. “Lama banget.”
Sebelum cincin itu benar-benar masuk, Melodi sudah menarik tangannya sendiri. Dengan gerakan kesal, ia langsung mendorong cincin itu masuk sampai sempurna di jari manisnya.
Setelah rangkaian akad selesai, semua orang seperti berlomba mengambil momen. Kamera ponsel bergantian terangkat; ada yang meminta foto keluarga inti, ada yang minta foto mempelai, ada yang cuma nebeng frame biar dibilang hadir.
Melodi pasang wajah setengah hidup setengah lelah, sementara Gilang tetap tersenyum lebar seperti baru menang undian rumah.
“Ayo, Ibu… Abang… Mbak semuanya, kita makan siang di luar,” ajak Gilang antusias, mengira semua orang akan setuju.
Namun Ibu langsung menggeleng lembut.
“Kita pulang aja ke rumah, Nak. Ibu sudah masak di rumah.”
Mama—yang sekarang resmi jadi besan—langsung terkesiap manis.
“Masyaa Allah, besan repot-repot banget. Kalau gitu saya harus kasih uang lebih atau bantu-bantu masak ya.”
Ibu buru-buru mengibas tangan, wajahnya malu bercampur ramah.
“Nggak apa-apa, besan. Sudah cukup datang aja.”