Cover by me
Dipertemukan lewat salah paham. Dinikahkan karena perintah. Bertahan karena luka. Jatuh cinta tanpa rencana.
Moza Reffilia Abraham tak pernah membayangkan hidupnya akan terikat pada seorang prajurit dingin bernama Abrizam Putra Bimantara—lelaki yang bahkan membenci pernikahan itu sejak awal. Bagi Abri, Moza adalah simbol keterpaksaan dan kehancuran hidupnya. Bagi Moza, Abri adalah badai yang terus melukai, tapi juga tempat yang entah kenapa ingin ia pulangi.
Dari rumah dinas yang dingin, meja makan yang sunyi, hingga pelukan yang tak disengaja, kisah mereka tumbuh perlahan. Dipenuhi gengsi, trauma masa lalu, luka yang belum sembuh, dan perasaan yang enggan diakui.
Ini bukan kisah cinta biasa. Ini tentang dua orang asing yang belajar saling memahami, bertahan, dan menyembuhkan tanpa tahu apakah pada akhirnya mereka akan benar-benar saling memiliki… atau saling melepaskan.
Lanjut baca langsung disini ya👇
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika cha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dekapan yang Membuka Ingatan
Seketika Moza terlonjak kaget mendengar suara bariton di belakangnya. Segera Moza membalik tubuh dan mendapati Abri sudah berdiri tegap dengan gagahnya disana, namun sebelah kaki Moza malah berpijak pada batu yang ukurannya cukup besar, membuat tubuhnya menjadi tak seimbang dan terhuyung kedepan.
Merasakan ia tak dapat menyeimbangkan tubuhnya, Ia refleks memejamkan mata erat-erat. Bersiap untuk jatuh dengan cara paling tidak estetik di depan pria paling tampan yang pernah ia lihat.
Bruk!
Bukannya jatuh ke tanah dan merasakan sakit di beberapa bagian di tubuhnya, Moza justru menabrak sesuatu. Sesuatu yang tak keras, tapi juga tak bisa dibilang empuk. Hangat. Dan kini ada dua lengannya melingkar erat di pinggangnya, menahannya agar tak jatuh.
Pelukan?
Tangan?
Moza tak berani membuka mata. Ia terlalu takut melihat realita... atau lebih tepatnya, terlalu malu.
Abri sendiri refleks merengkuh pinggang gadis itu, memastikan tubuh Moza tak jatuh. Namun, saat wajah Moza hanya berjarak sejengkal dari wajahnya, Abri malah terdiam. Matanya membeku, pikirannya seketika melayang di satu kejadian...
"Jangan tinggalin saya seperti Aji." Matanya bergetar ketakutan.
Abri Mengangguk "ya, saya gak akan meninggalkan kamu."
"Jangan kemana mana."
"Ya, saya akan tetap di sini."
Posisi ini mengingatkan Abri pada kejadian dua bulan lalu. Walaupun posisi mereka saat itu berbeda dengan sekarang, tapi Moza sama-sama berada dalam dekapannya seperti hari itu, dengan wajah memerah dan mata sembab persis seperti sekarang ini.
Deg!
Tatapan Abri tertahan pada wajah di depannya. Gadis itu...
Gadis yang waktu itu ia selamatkan di basement mall.
Mata Moza yang terpejam itu pun sama seperti waktu di basemen.
Perlahan, Moza membuka mata, penasaran pada apa atau siapa yang ia tabrak sampai-sampai posisinya tak berpindah dan bergeser sesenti pun. Dan...
Deg!
Tepat di depannya, wajah Abri terpampang nyata. Jarak mereka... tak sampai sejengkal. Tatapan mata mereka beradu. Menyadari posisi mereka yang begitu intim mengundang desiran aneh pada keduanya juga debaran jantung yang juga ikut mengila. Wajah Moza langsung memanas. Jantungnya berdetak brutal. Napasnya tercekat.
Dan Moza, tanpa sadar, meremas seragam di dada Abri.
Sementara deru napas pria itu menyapu wajahnya, menambah sensasi panas yang menjalar ke pipinya.
"Papi... Oza gak kuat... Oksigen... Oksigen tambahan, please!" Padahal mereka berada di ruang terbuka tapi mengapa Moza malah jadi susah untuk menghirup udara begini?
Mata keduanya masih beradu pandang dengan mata Abri yang menatap wajah Moza tanpa berkedip dan dengan pandangan yang sangat sulit Moza jabarkan.
Tapi entah mengapa dari jarak sedekat ini, Moza merasa tak asing dengan mata Abri, yang memiliki iris hitam legam yang begitu teduh dan juga tajam secara bersamaan. Seperti ia pernah bersitatap dengan mata ini sebelumnya.
"Moza, tenanglah Moza, tenang!"
Moza menggeleng-gelengkan kepalanya "aku takut om, takut! Aku butuh papi aku cuma butuh papi! Papihh!! Hiks, hiks, hiks. Papi....!!!"
"Hei, Moza. Nona Moza dengar, buka matamu dan lihat saya. Tolong tenanglah." Abri menangkup kedua pipi Moza dari bawah dan Moza perlahan membuka matanya, menatap mata Abri yang saat itu berada di bawahnya "oke, tenang. Lihat saya. Tenang... Tarik nafas dan buang dengan perlahan." Moza mengikuti apa yang di katakan Abri. "Oke, tenang... Tenang... Saya bersamamu."
Sesekali mata Moza berkedip, untuk membedakan mata Abri dan juga pria yang menolongnya waktu itu. Tanpa sadar Moza kembali menyelami mata teduh dan tajam itu mencari perbedaan mata Abri dengan mata pria yang menolongnya hari itu.
Tangan Abri terulur kebalik punggung Moza memeluk gadis itu disana "tenanglah, saya janji gak akan tinggalkan kamu dan akan melindungi kamu. Dan ketika seorang prajurit sudah berjanji mereka tidak akan mengingkari ataupun mengkhianatinya."
"Kalau memang begitu, bawa saya keluar dari sini, bawa saya pulang. Saya cuma mau pulang, saya mau ketemu keluarga saya, saya mau ketemu papi. Saya takut disini, hiks. Bawa saya keluar dan pergi dari sini. Saya mohon."
Tak kuasa melihat gadis itu menangis Abri yang terbawa suasana pun mengeratkan pelukannya. "Sekarang bisakan berhenti menangis, kita sedang bersembunyi, para penjahat itu juga masih menargetkan mu disana. Jadi saya mohon, jangan bersuara, bertahanlah sebentar lagi. Abri melirik sekitar dari kolong mobil dan memperlihatkan beberapa penjahat itu yang masih mengintai dan mencari mereka disana. "Jika harus ada yang mati selama misi ini itu bukan kamu, tapi saya. Saya lah orang yang harus mati disini."
Dan ia tak menemukan perbedaannya disana. Jangan bilang keduanya adalah orang yang sama?
Otak Moza dengan otomatis mengingat segala kenangan kelam itu di sana. Walaupun sudah bolak balik ke psikiater tetap saja, kenangan mencekam itu tak dapat benar benar terhapus dari otaknya.
DOR!
DOR!
Suara dengung tembakan dalam ingatannya yang berusaha ia lupakan sampai saat ini nyatanya masih bertahan dan membuat telinganya tiba tiba berdengung dan juga kepalanya menjadi sakit. "Ssst..." Desis Moza membuat kesadaran kedua kembali.
Abri buru-buru membantunya duduk bersandar dengan posisi aman, lalu menjauhkan diri. Ia berdeham dua kali, canggung.
"Ekhem! Ekhem! Itu… maaf, tadi refleks." Abri menggaruk tengkuknya yang tak gatal merasa canggung.
Moza tersenyum kikuk. "G–gak apa-apa kok."
Ia langsung memalingkan muka, merasa pipinya panas terbakar.
Abri pun sama. Ia juga membuang muka berlawanan arah dengan Moza merasakan malu yang teramat sangat karena telah lancang menyentuh gadis itu. Tapi mau bagiamana lagi, mana mungkin kan Abri biarkan Moza jatuh begitu saja ke tanah, lalu membuat tubuh gadis itu terluka. Bisa habis yang ada dia di tangan Hamzah kalau sampai putri tersayangnya pulang-pulang sudah lecet di sana sini.
"Eh, itu. Anu... Itu, sebenarnya ada yang mau saya tanya." Walaupun keadaan masih malu-malu meong dan situasi canggung juga masih terasa di sekeliling mereka. Otak Moza langsung cas dengan tujuan awalnya yang ingin menanyakan data diri Abri minimal nama lengkap pria itu lah.
"Y-ya?" Abri langsung menoleh ketika Moza tiba-tiba bersuara dengan wajah menunduk menahan malu sambil tangannya meremas baju di sisi tubuhnya. Menggemaskan sekali.
"Emmm... Itu, anu..." Moza jadi bingung sendiri karena jantungnya masih belum mau berhenti mengacaukan situasi.
"Anu?" Wajah Abri kembali terlihat normal dengan mata teduhnya yang menatap Moza datar, seperti biasa.
"N–"
"Tolong semua kumpul, pengajuan akan segera dimulai!" suara lantang seseorang memotong ucapan Moza.
"Pertanyaannya nanti aja y? Kita sudah di suruh kumpul." Ujar Abri menujuk dengan dagu ruangan yang di pergunakan untuk melakukan pengajuan.
Moza mau ngomong jangan dulu, tapi tidak berani. Nanti yang ada dia malah di dor lagi. Mau tak mau Moza mengangguk pasrah. Bodo amat sama data diri pria itu, intinya tamatlah riwayat Moza hari ini. Mati lah dia! "Papi..." ratap Moza dalam hati, berharap sang papi ada di sini membantunya.
"Ayo masuk." Ajak Abri saat melihat anggukan pelan di kepala Moza.
Dengan langkah lesu, Moza mengikuti pria itu ke dalam ruangan.
"Maafin Oza, Pi…" bisiknya dalam hati.
Entah berapa kali hari ini ia meminta maaf, terutama atas kemungkinan membuat malu dua orang paling penting dalam hidupnya. Hamzah Abraham dan... Kapten Abrizam Putra Bimantara.
lanjut cerita anak papa saga yg lain ya Thor.
samapi cucu cicitnya🤭💪💪💪🔥🔥🔥
akhir nya happy ending..tamat walaupun sebetulnya masih g rela koq ceoat berakhir.sukses terus ya kak..dinanti karya2 selanjutnya bang aidan yg blm tamat