NovelToon NovelToon
Dewa Pedang Asura

Dewa Pedang Asura

Status: sedang berlangsung
Genre:Budidaya dan Peningkatan
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: Tiandi

Di Benua Angin Dewa, di mana langit menjadi saksi lahir dan matinya para kultivator,
seorang pemuda fana bernama Liang Chen menapaki jalan yang tak seharusnya ditempuh manusia. Terlahir tanpa meridian, ia menolak menyerah pada takdir yang menutup gerbang menuju keabadian.

Namun di balik kehendak baja dan tekad yang murni, tersembunyi sesuatu yang lebih purba, warisan berdarah yang berdenyut di dalam jiwanya. Saat dunia menatap langit untuk mencari kekuatan, ia menemukan kekuatan itu di dalam gelap yang mengintai dirinya sendiri.

Perjalanan Liang Chen bukanlah pencarian keabadian, melainkan perjuangan melawan dirinya sendiri, antara manusia yang ingin tetap hidup… dan bayangan Asura yang menuntut untuk lahir kembali.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Saga 17: Ramuan Pahit dan Bayangan Kebajikan

Kabut tipis bergulir perlahan di lereng gunung, membelai atap jerami pondok kecil itu seperti tangan langit yang penuh rahasia. Di dalamnya, bau arak mengambang di udara, bercampur dengan aroma daun kering dan asap kayu pinus.

Di sudut ruangan, obor kecil menyala redup, menyalakan bayangan seorang tua berjubah kusam yang sedang menumbuk ramuan dalam wadah batu. Suara lesung dan uap arak mengisi ruang itu dengan irama yang aneh, seperti nyanyian yang hanya dimengerti oleh gunung itu sendiri.

Guru Kui Xing duduk bersila di depan ranjang bambu. Di atas ranjang, tubuh Liang Chen terbujur diam, kulitnya pucat, napasnya pendek. Luka di dadanya yang dulu menganga kini tertutup separuh, tetapi darah kering masih menodai kain yang menutupi tubuhnya.

Sekilas, anak itu tampak seperti jenazah yang belum sadar bahwa hidup belum sepenuhnya meninggalkannya.

Guru Kui Xing mengangkat wadah batu dan menuangkan cairan hitam kehijauan ke dalam cawan tanah liat. Ramuan itu mengeluarkan bau pahit yang menusuk, aroma tajam yang seakan mampu membangunkan jiwa yang tersesat.

Ia mengambil sebotol arak dari labunya, menuangkan sedikit ke dalam ramuan, lalu mengaduknya dengan jari telunjuknya sendiri. Cairan itu berdesir ketika bersentuhan dengan kulitnya, memancarkan sedikit asap dan suara desis kecil.

“Ramuan tanpa arak adalah jiwa tanpa kenangan,” gumamnya pelan. “Terlalu murni tidak bisa menolong yang kotor.”

Ia memiringkan kepala, menatap wajah Liang Chen. Cahaya obor menyentuh garis wajah anak itu, yang masih membawa bekas kepedihan dari dunia fana. Mata yang tertutup rapat itu tampak bergerak sedikit, mungkin karena mimpi, mungkin karena pertempuran di dalam jiwanya sendiri.

Guru Kui Xing mengangkat tangan kanannya, menyentuh dahi Liang Chen dengan dua jari. “Masih panas,” bisiknya. “Energi Pembantaian itu masih bernafas, hanya menunggu untuk menelan tubuhmu lagi.”

Alih-alih mengusir energi itu, ia mengarahkan jari-jarinya ke luka di dada Liang Chen. Dari ujung kukunya yang kehitaman, keluar cahaya samar, bukan putih seperti Energi Samawi para kultivator Jalan Panjang Umur,

tetapi kehijauan kekuningan, seperti cahaya matahari yang melewati dedaunan tua. Energi itu berputar perlahan di sekitar luka, menenangkannya tanpa memaksa. Liang Chen menggigil sedikit, napasnya menjadi lebih dalam.

“Begitu,” ujar Guru Kui Xing, senyum samar muncul di wajahnya. “Jangan dilawan, anak muda. Yang liar tidak dapat dijinakkan dengan kekerasan, hanya dengan kesabaran.”

Ia mengambil segenggam ramuan lain dari kantongnya, daun-daun kering yang bentuknya seperti ujung pedang. Dihancurkannya daun itu dengan arak, lalu disapukannya ke kulit Liang Chen dengan lembut.

Arak itu berkilau samar di bawah cahaya obor, meninggalkan bekas hijau di dada anak itu. Setiap kali ramuan itu menempel, uap putih naik dan berubah menjadi kabut kecil yang menari di udara, seolah menghembuskan nafas baru ke dalam ruangan.

Guru Kui Xing lalu duduk bersila di dekat kepala Liang Chen, meneguk sedikit arak dari labunya, dan menatap ke luar jendela yang terbuka. Di luar, angin malam turun dari puncak, membawa suara lembut hutan dan kicau burung malam.

Dalam keheningan itu, aroma pahit dan hangat bercampur menjadi satu, seperti doa yang tidak pernah diucapkan.

Ia menatap anak itu sekali lagi dan bergumam lirih, “Kau beruntung ditemukan oleh orang yang tidak percaya pada surga. Kalau mereka yang datang lebih dulu, kau sudah dibakar bersama pedangmu.”

Dalam keheningan itu, api di obor bergetar, seolah ikut mendengarkan kata-katanya. Liang Chen tetap tidak bergerak, tetapi jari-jarinya yang pucat sedikit bergetar, mungkin menanggapi suara yang samar itu. Guru Kui Xing memandangi gerakan kecil itu dan mengangguk perlahan, seperti mengakui sesuatu yang tak bisa dijelaskan.

“Masih hidup,” katanya pelan, “dan itu sudah cukup untuk memulai perang yang baru.”

Dalam keheningan yang memisahkan dunia dan arwah, Liang Chen terombang-ambing di antara gelap dan cahaya. Ia tidak tahu di mana dirinya berada. Udara di sekelilingnya terlalu kental untuk dihirup, dan tanah yang diinjaknya terasa seperti air yang bergetar. Langit di atas tidak hitam, melainkan merah tua, berdenyut seperti jantung yang sedang sekarat.

Ia berjalan tanpa arah di dalam lautan kabut darah itu. Setiap langkah meninggalkan riak samar, dan dari riak itu muncul bayangan, bayangan tubuh-tubuh yang ia kenal.

Ayahnya, berdiri dengan palu di tangan, menatapnya tanpa suara. Ibu, tersenyum sambil membawa ramuan herbal di genggaman, tetapi wajahnya mulai retak, seperti porselen yang pecah perlahan. Liang Chen mencoba berlari ke arah mereka, namun jarak di antara mereka tak pernah berkurang.

“Jangan pergi,” suaranya nyaris tak terdengar. “Tunggu aku.”

Namun kabut itu menelan semua kata. Wajah orang tuanya memudar, digantikan oleh pemandangan Desa Hijau yang dilalap api. Bau daging terbakar dan suara jeritan anak-anak membentuk paduan suara yang menusuk telinga.

Liang Chen berlutut, menutup telinganya, tetapi suara itu tidak berhenti. Ia berteriak, dan jeritannya sendiri berubah menjadi gema ribuan bisikan yang berputar di sekelilingnya.

“Lihatlah dunia yang menolakmu.”

“Dengar bagaimana mereka memanggil kekuatan yang telah menolakmu.”

“Jangan lupakan darah yang telah mengalir demi keteguhanmu.”

Liang Chen memejamkan mata, menggigil. Suara-suara itu datang dari segala arah, seperti ribuan ular yang membelit tubuhnya. Ia mengenali nada mereka, bukan kebencian, tetapi bujukan, seperti nyanyian lama yang mendesak hati manusia untuk menyerah.

Kemudian satu suara terdengar lebih jelas dari yang lain, dalam dan rendah, bagaikan gema dari dasar gunung.

“Kau ingin menghormati ayah dan ibumu, bukan?” Suara itu tidak menakutkan, tetapi menenangkan. “Mereka mati karena lemah, karena langit tidak adil. Kau ingin melindungi yang lain seperti mereka? Maka, jadilah lebih dari manusia.”

Liang Chen membuka mata. Di hadapannya kini terhampar sungai darah, panjang dan berkilauan di bawah cahaya merah. Di tengah sungai itu berdiri sosok kabur, tinggi, berjubah hitam, dengan sepasang mata merah berputar seperti pusaran. Sosok itu tidak bergerak, tetapi Liang Chen merasakan getaran di dadanya, di tempat luka lamanya berada.

“Siapa kau?” bisiknya.

Sosok itu tidak menjawab. Ia hanya mengangkat tangannya yang bersimbah darah, dan dari dalam arus sungai itu muncul ribuan pedang hitam yang menari di udara, masing-masing berkilau seperti sayap burung gagak.

“Ini kekuatan yang menunggumu,” kata suara itu lagi. “Kau tidak perlu berdoa pada langit. Langit telah menolakmu. Kau hanya perlu berdiri, dan darahmu akan menjawab.”

Liang Chen merasakan amarah dan duka bercampur dalam dirinya. Wajah ibunya yang penuh kasih muncul kembali dalam pikirannya, lalu lenyap ditelan bayangan. Ia menjerit, bukan karena takut, tetapi karena rasa kehilangan yang tak tertanggung. Dari jeritan itu, tanah di bawahnya bergetar.

Sungai darah itu bergolak, dan dari permukaannya muncul bayangannya sendiri, Liang Chen yang bermata merah, memegang pedang hitam yang berdenyut hidup. Sosok itu tersenyum kepadanya, senyum yang sama dengan yang pernah ia lihat pada musuh-musuh yang ia benci.

“Tidak,” bisiknya. “Aku bukan kau.”

Namun suara itu hanya tertawa kecil. “Kau adalah aku. Aku adalah janji yang kau buat di bawah rembulan purnama. Aku adalah tekad yang tidak bisa ditebus oleh doa.”

Liang Chen terdiam. Ia menatap sosok itu lama, lalu menunduk. Tetesan air, atau darah, jatuh dari matanya ke sungai, dan pada saat itu, seluruh dunia di sekitarnya menjadi sunyi.

“Kalau memang kau ada untuk melindungi kenangan mereka,” katanya perlahan, “maka aku tidak akan melawanmu.”

Sosok itu mengangguk, dan segala sesuatu di sekelilingnya mulai mengabur. Sungai darah itu berputar, menelan dirinya sendiri, dan Liang Chen tenggelam ke dalamnya.

Ia tidak lagi mendengar teriakan, tidak lagi melihat api. Hanya satu suara tersisa, berbisik lembut di telinganya, seperti janji yang tertulis dalam darah.

“Tidurlah, Asura kecil. Waktu akan datang untuk membangunkanmu.”

Malam turun perlahan di lereng gunung, menumpahkan warna lembayung tua di atas pondok sunyi itu. Kabut dingin menggulung, menelusup di sela-sela bambu dan bebatuan, sementara aroma arak dan kayu terbakar berbaur, menebarkan rasa hangat yang lembut.

Di dalam pondok, tubuh Liang Chen terbaring diam, wajahnya masih pucat namun tidak lagi kaku. Nafasnya mulai teratur, bagai hembusan napas daun-daun yang disentuh angin lembah.

Guru Kui Xing duduk di atas batang pohon tua di luar pondok, labu arak di tangannya setengah kosong. Ia menatap langit malam yang dihiasi bintang redup, lalu menatap kembali pada murid yang belum sadar di bawah sana.

Dari jarak itu, ia dapat mendengar suara napas lemah yang keluar dari dada anak itu, juga suara pelan detak Warisan Asura, denyut yang masih hidup, tapi terikat.

“Menakjubkan,” gumamnya. “Ia masih bisa bernapas setelah menanggung amuk sebesar itu.” Ia meneguk arak, menunduk. “Tapi napas yang panjang tak selalu berarti hidup yang damai.”

Di dalam pondok, nyala lentera bergoyang perlahan. Di meja rendah, ramuan pahit yang direbusnya sejak siang hari mengeluarkan aroma tanah dan akar. Asap tipis dari ramuan itu membentuk pusaran lembut di udara, lalu mengalir ke arah Liang Chen, seolah mencari jalan untuk menenangkan amarah yang masih bersembunyi di bawah kulitnya.

Di luar, angin membawa suara nyaring seekor burung malam yang menjerit dari kejauhan. Guru Kui Xing menutup matanya, mendengarkan. Setelah lama terdiam, ia membuka mata dan menatap langit, bibirnya bergetar melafalkan kata-kata yang samar, seperti doa yang tidak ditujukan kepada siapa pun.

“Anak muda,” katanya perlahan, “jalan yang akan kau tempuh bukan jalan bagi yang ragu. Warisan Asura adalah sungai yang mengalir melawan arah langit. Bila kau mengikuti arusnya tanpa kendali, kau akan menenggelamkan diri. Tetapi bila kau menahannya, mengendalikan derasnya, mungkin kau bisa membentuk dunia baru darinya.”

Suara itu jatuh pelan, namun di dalam pondok, Liang Chen yang masih terlelap mengerutkan keningnya. Dalam mimpinya yang masih merah, ia mendengar kata-kata itu bagaikan gema dari atas gunung. Ia tidak memahami sepenuhnya, namun sebagian dari jiwanya menyimpan bunyi itu, menanamkannya dalam kedalaman yang tak tersentuh.

Guru Kui Xing menatap wajah murid barunya yang masih belum mengenalinya. Di mata tua itu, tersimpan kelelahan yang tak dapat diukur waktu. Ia menatap luka lama di dada Liang Chen, luka yang kini berdenyut samar oleh energi merah.

“Luka itu bukan kutukan,” bisiknya, “itu peringatan dari langit bahwa bahkan darah yang kelam pun masih bisa melindungi sesuatu.”

Ia bangkit perlahan, berjalan ke dalam pondok. Setiap langkahnya ringan, tak meninggalkan jejak di lantai bambu. Ia duduk di sisi Liang Chen, menatap wajah muda yang tampak damai, damai dalam penderitaan yang belum selesai.

“Terkadang, orang-orang muda berpikir bahwa kemarahan adalah jawaban,” ujarnya seolah berbicara kepada dirinya sendiri. “Tapi amarah hanyalah lentera yang cepat padam bila tidak dijaga.” Ia mengambil kain basah,

membersihkan darah kering di tepi luka Liang Chen dengan gerakan lembut, seperti seorang ayah yang membersihkan debu dari wajah anaknya.

Kemudian ia menatap Pedang Kesunyian Malam yang bersandar di dinding pondok. Bilah hitam itu bergetar sangat pelan, hampir tak terdengar.

Getaran itu bukan ancaman, melainkan tanggapan, seolah pedang itu memahami kata-kata sang guru.

Guru Kui Xing mendekat, menyentuh gagangnya dengan dua jari. Suara berdengung halus terdengar, dan dari bilahnya keluar kilau samar merah pekat.

“Diamlah, anak besi,” katanya lembut. “Kau pun lelah membantai, bukan?”

Pedang itu berhenti bergetar. Kilau merahnya memudar menjadi abu-abu, seperti bara yang kehilangan bahan bakarnya. Guru Kui Xing menarik napas panjang, lalu meneguk arak sekali lagi. “Kau tahu, pedang dan manusia tak jauh berbeda. Keduanya lahir tajam, tetapi keduanya bisa tumpul oleh amarah.”

Ia menatap liang api kecil di tungku, lalu berbicara lagi, suaranya seperti guratan puisi yang lama:

“Dunia ini tidak memiliki tempat bagi mereka yang hanya memotong, tetapi tidak tahu kapan menahan tebasan. Asura kecil itu mungkin akan menebas dunia, atau menebas dirinya sendiri.

Tugasku bukan menahannya, tapi mengajarinya kapan harus berhenti.”

Angin berhembus perlahan, meniup abu dari tungku hingga menari-nari di udara. Cahaya lentera menimpa wajah Guru Kui Xing, menyingkap kerutan yang dalam di sekitar matanya, dan bayangan lembut yang menyerupai senyum singkat di bibirnya.

Ia meneguk arak lagi, lalu menatap Liang Chen yang kini tampak lebih tenang. “Kau berjuang dalam tidurmu, bukan? Aku bisa mendengar jeritanmu dari dalam mimpimu.” Ia meletakkan labu araknya di lantai, dan untuk sesaat menatap sekeliling pondok yang sederhana, rak penuh gulungan bambu, meja kecil berisi tumbuhan kering, dan tungku yang selalu menyala lemah.

“Dunia mungkin akan membencimu, anak muda. Tapi dunia juga membutuhkanmu,” katanya lirih. “Hanya mereka yang berjalan di tepi kegelapan yang tahu betapa berharga cahaya itu.”

Ia berdiri, keluar dari pondok, memandang lembah yang terselimuti kabut malam. Jauh di bawah sana, suara serangga bergema lembut, seperti doa yang tak diminta. Ia menatap lembah itu lama, lalu bergumam dalam hati, “Kau mengingatkanku pada seseorang… seseorang yang juga berjalan di antara darah dan bintang.”

Langit di atas tampak sepi, bintang-bintangnya berkelip samar di balik kabut. Guru Kui Xing membuka labu araknya, meneguk lagi, lalu duduk bersila di atas dahan tertinggi pohon di depan pondok. Di sana, di antara kabut, siluetnya terlihat samar seperti bayangan tua yang sedang menjaga dunia dari jauh.

“Tidurlah, Liang Chen,” katanya pelan, seolah berbicara pada angin. “Bangunlah hanya ketika jiwamu sudah tahu untuk apa kau hidup, bukan untuk siapa kau membunuh.”

Di bawahnya, Liang Chen terbaring dalam diam yang sempurna. Nyala lampu lentera menari pelan di wajahnya, dan dalam ketenangan itu, sebuah getaran halus muncul dari dada anak itu, denyut Warisan Asura yang kini berirama pelan, selaras dengan napas malam gunung.

Guru Kui Xing memejamkan matanya, tersenyum samar. “Begitulah,” katanya dalam hati, “perjalanan Asura dimulai bukan dengan darah… tetapi dengan penyesalan.”

Dan malam itu pun menutup matanya sendiri, seolah seluruh alam ikut tidur di bawah penjagaan sang pertapa pemabuk.

1
Nanik S
💪💪💪
Nanik S
Lanjutkan 👍👍👍
Nanik S
Hadir
Fairuz
semangat kak jangan lupa mampir yaa
Tiandi: terimakasih udah mampir kak
total 1 replies
[ZH_FELRIX]™√
semangat berkarya kaka 😄
[ZH_FELRIX]™√: iyah sama sama kaka baik 😄
total 2 replies
Tiandi
Halo semuanya. Saya berharap kalian tidak merasa bosan ketika membaca Dewa Pedang Asura. Bagi pembaca yang belum terbiasa dengan novel berdurasi panjang, jumlah kata setiap bab yang berkisar antara 1500–2500 mungkin terasa melelahkan, terutama karena alurnya bergerak dengan ritme yang cukup tenang. Namun, gaya penyajian tersebut memang mengikuti outline dan struktur arc cerita yang telah saya rancang sejak awal.

Jika ada yang bertanya apakah novel ini layak dibaca, jawabannya kembali pada selera masing-masing pembaca. Saya tidak bisa menyebut karya ini bagus bagi semua orang, karena setiap orang memiliki preferensi yang berbeda. Karena itu, saya menyarankan kalian untuk mencoba membaca beberapa bab terlebih dahulu, lalu tentukan sendiri apakah ingin melanjutkan atau tidak.

Jika kalian merasa ceritanya kurang sesuai dengan selera, saya sepenuhnya memahami. Namun jika kalian menikmati perjalanan cerita ini, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas dukungan kalian.

Sekian pesan dari saya.
Selamat membaca, dan semoga kalian menikmati perjalanannya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!