Mereka memanggilnya Reaper.
Sebuah nama yang dibisikkan dengan rasa takut di zona perang, pasar gelap, dan lingkaran dunia bawah.
Bagi dunia, dia adalah sosok bayangan—tentara bayaran tanpa wajah yang tidak meninggalkan jejak selain mayat di belakangnya.
Bagi musuh-musuhnya, dia adalah vonis mati.
Bagi saudara seperjuangannya di The Veil, dia adalah keluarga.
Namun bagi dirinya sendiri... dia hanyalah pria yang dihantui masa lalu, mencari kenangan yang dicuri oleh suara tembakan dan asap.
Setelah misi sempurna jauh di Provinsi Timur, Reaper kembali ke markas rahasia di tengah hutan yang telah ia sebut rumah selama enam belas tahun. Namun kemenangan itu tak berlangsung lama. Ayah angkatnya, sang komandan, memberikan perintah yang tak terduga:
“Itu adalah misi terakhirmu.”
Kini, Reaper—nama aslinya James Brooks—harus melangkah keluar dari bayang-bayang perang menuju dunia yang tak pernah ia kenal. Dipandu hanya oleh surat yang telah lusuh, sepotong ingatan yang memudar, dan sua
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BRAXX, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ADA YANG SEDANG MENGAWASI
Beberapa saat kemudian mereka tiba di rumah James. Rumah itu memang tidak mewah, tetapi memiliki kehangatan yang nyata. Sebuah taman kecil menghiasi bagian depan, dan rumah itu sendiri menunjukkan tanda-tanda kehidupan — bukan kemewahan.
Alicia duduk di kursi pengemudi, memandangi rumah itu dengan sedikit terkejut. Jelas dia tidak menyangka akan melihat tempat seperti ini — terutama dari seseorang seperti James. Tidak ada penjaga bersenjata, tidak ada gerbang baja. Hanya rumah biasa.
James keluar dari mobil, tangannya di pintu. "Sampai jumpa hari Senin," katanya sambil mengangguk kecil.
Namun sebelum Alicia sempat menjawab, pintu depan tiba-tiba terbuka.
"Kakaaaaaaak!!" Felix berlari keluar tanpa alas kaki, matanya bersinar penuh kegembiraan, lalu melompat ke pelukan James.
James menangkapnya dengan mudah, tertawa ketika Felix memeluknya erat seperti seekor monyet kecil.
Alicia, yang masih duduk di mobil, sempat terdiam—lalu tersenyum. "Dia lucu sekali..." bisiknya pelan.
Dia menurunkan kaca jendela. "Hai, sayang! Siapa namamu?"
Felix menoleh ke arahnya dengan mata penasaran dan senyum polos. "Namaku Felix!" serunya bangga.
Alicia terkekeh. "Aku Alicia. Kau boleh memanggilku Kakak Cantik."
"Hai Kakak Cantik!" Felix menyapa sambil melambaikan kedua tangannya.
Alicia tertawa kecil, tersentuh dengan tulus. "Sampai jumpa, Felix."
Dia perlahan menjalankan mobil, senyum masih terukir di wajahnya saat dia melirik ke kaca spion, melihat James dan anak kecil itu sekali lagi.
Di dalam rumah, James menggendong Felix di bahunya, melangkah masuk seperti seorang pahlawan yang baru pulang.
Chloe melihat mereka dan langsung berseru kegirangan. "Kakaaaaak!!" Dia berlari ke arah James.
James berlutut ketika Chloe memeluk pinggangnya. Dia mengangkatnya dengan tangan satunya lagi, kini kedua anak itu bergelantungan padanya sambil tertawa riang.
Suara Sophie terdengar dari dapur, "Sarapan sudah siap di atas meja! Dan kalian berdua — kalian masih harus sekolah!"
Kedua anak itu mengeluh bersamaan. "Aku tidak mau sekolah," gumam Felix sambil menyembunyikan wajah di bahu James.
"Aku juga," sahut Chloe sambil memeluk James lebih erat.
James berlutut sambil tetap menggendong mereka. "Hei," katanya lembut, "kalian akan pulang sore nanti, kan?"
Keduanya mengangguk pelan.
James tersenyum. "Bagus. Karena setelah itu... kita akan main seharian. Setuju?"
"Setuju!!" teriak keduanya bersamaan.
James tertawa, menurunkan mereka dan mengarahkan ke meja makan.
~ ~ ~
James berjalan sambil menggandeng tangan Chloe dan Felix di trotoar depan sekolah. Sinar matahari pagi memantulkan cahaya lembut di sekitar lingkungan. Bahunya yang lebar, sikapnya yang tenang, dan aura pelindung di sekitarnya membuatnya menonjol — terutama di antara para orang tua yang sibuk mengantar anak mereka di gerbang sekolah.
Begitu dia melangkah ke halaman sekolah, suasana langsung berubah.
Percakapan di antara para ibu-ibu berhenti sejenak. Beberapa bahkan terhenti di tengah kalimat. Pandangan mereka perlahan tertuju padanya — ada yang pura-pura memperbaiki kacamata hitam, ada juga yang melirik di balik cangkir kopi.
James, dengan jaket hitam pas badan dan celana jeans gelap, sama sekali tidak terlihat seperti seorang ayah biasa. Dia tinggi, tenang, dan memiliki tatapan tajam yang membuat semua orang penasaran.
Salah satu ibu-ibu berbisik pada temannya. "Dia baru di sini?"
"Aku tidak tahu, tapi... wow," jawab yang lain, menatapnya seperti sedang melihat adegan film.
James, tentu saja, tampak tidak memperhatikan — atau tidak peduli.
Dia berlutut, merapikan kerah Felix dan memperbaiki tali tas Chloe. "Baiklah kalian berdua — bersikaplah baik, ya?" katanya sambil menyibak rambut Chloe dari wajahnya.
"Oke, Kakak!" jawab keduanya riang.
Dia mengetuk lembut dahi mereka dengan buku jarinya, lalu menatap mereka berlari ke pintu sekolah sambil tertawa.
Dari seberang pagar, sekelompok ibu-ibu memperhatikan dengan kagum — dan bukan hanya karena ketampanannya.
"Dia seperti kakak cowok di drama-drama," gumam salah satunya setengah tertawa, setengah terpesona.
Saat James berbalik hendak pergi, beberapa tatapan bertemu dengannya. James memberi anggukan sopan kecil.
Hasilnya langsung terlihat — beberapa dari mereka tersenyum lebar seperti seorang remaja.
Namun James hanya berjalan pergi, kedua tangannya di saku, pikirannya sudah melayang ke hal lain — tentang hari Senin, Alicia, Simon Brooks.
James masuk ke rumah, menutup pintu perlahan di belakangnya. Lalu James melihat Sophie sedang duduk di sofa sambil melipat pakaian.
James berjalan dan duduk di sampingnya, tenggelam di sofa tua itu. Hening sesaat sebelum dia sempat berbicara.
"Mama," kata James tenang. "Aku... akan kuliah."
Sophie berhenti melipat. "Apa?"
James menatapnya sekilas, bibirnya terangkat sedikit. "Hanya sebulan. Kursus singkat. Di Universitas Habsburg."
Sophie menatapnya tak percaya — berkedip beberapa kali, seolah memastikan dia tidak salah mendengar ucapan James.
"Kuliah?" katanya, lalu tertawa — bukan karena tidak percaya, tapi karena bahagia. "Astaga, aku tidak pernah menyangka akan mendengar itu dari mulutmu. Aku bangga padamu, sayang."
Dia menyentuh pipinya lembut, matanya sedikit berembun. "Meskipun sebentar, itu tetap berarti banyak."
James tersenyum dan bersandar ke sentuhannya. Dia belum berkata apapun tentang Simon. Belum saatnya. Beberapa kebenaran masih terlalu berat untuk diungkap.
Tiba-tiba, getaran lembut terdengar dari saku mantel. Dia mengeluarkan perangkat komunikasinya.
Dia menjauh sedikit dan menjawab pelan. "Paula?"
Suara Paula terdengar tegas dan rendah. "Bos, seseorang baru saja mencoba mengakses data wajahmu di catatan pemerintah."
Tatapan James langsung mengeras. "Apa? Siapa?"
"Seorang pegawai rendah di kantor catatan sipil kota. Kami sedang menyelidiki siapa yang memberi perintah. Tapi ada hal lain—"
Dia terdiam sejenak.
"File-mu disegel. Segel merah. Perintah presiden. Siapa pun yang mencoba membukanya tidak hanya gagal, tapi langsung memicu alarm. Sekarang hal itu sedang naik ke rantai komando."
James menarik napas perlahan, rahangnya mengeras. "Sayang sekali... Dia melakukan itu."
"Kami akan menelusuri sumbernya," lanjut Paula. "Tapi seseorang sedang sangat penasaran... atau sangat putus asa."
"Beritahu aku perkembangannya," kata James, lalu memutus panggilan.
Dia menyimpan perangkat itu kembali ke dalam mantelnya dan berbalik. Sophie masih tersenyum lembut, bersenandung sambil melipat baju kecil — mungkin milik Felix.
James memperhatikannya sejenak, badai masa lalunya berputar di balik tatapan tenangnya.
Kuliah... keluarga... file tersegel... Permainan sudah dimulai.
Sophie menatapnya, keningnya berkerut sedikit. "Apakah kau baik-baik saja, James? Mengapa kau tiba-tiba diam."
James berkedip, lalu tersenyum lembut. "Tidak, Semuanya baik-baik saja," jawabnya pelan, duduk kembali di sampingnya. "Hanya... sedang berpikir."
Sophie menatapnya sejenak, naluri keibuannya menangkap sesuatu di balik ketenangan itu, tapi dia memilih untuk tidak menekan. Dia tersenyum, lalu menepuk lengannya ringan.
"Kalau begitu, Tuan Mahasiswa, bagaimana kalau kita merayakannya?"
James mengangkat alis. "Merayakan?"
Sophie tersenyum lebar. "Besok kita akan pergi berbelanja, hanya berdua. Kita akan memilih-milih pakaian yang bisa membuatmu benar-benar terlihat seperti seorang mahasiswa."
James terkekeh. "Apa salahnya dengan bajuku yang sekarang?"
"Tidak ada," jawab Sophie sambil menyeringai. "Kalau kau mau menakuti para dosen."
James tertawa sungguh-sungguh kali ini. Ketegangan itu mencair, meski hanya sesaat.
"Baiklah, besok kita akan pergi berbelanja," katanya. "Tapi aku hanya ingin mencoba tiga kemeja. Setuju?"
Sophie menatapnya tajam penuh canda. "Kau harus mencoba sepuluh. Titik."
James mendengus kecil dengan senyum. "Baiklah... tapi Mama yang bayar kopi setelahnya."
Sophie meraih tangannya dan menggenggam erat. "Setuju.”
kapan lanjutan sistem kekayaan itu author tiap hari saya liht tapi blm ada lanjutan
lanjutkan