Kontrak kerja Tya di pabrik garmen akan segera berakhir. Di tengah kalut karna pemasukan tak boleh surut, ia mendapat penawaran jalur pintas dari temannya sesama pegawai. Di hari yang sama pula, Tya bertemu seorang wanita paruh baya yang tampak depresi, seperti akan bunuh diri. Ia lakukan pendekatan hingga berhasil diajak bicara dan saling berkenalan. Siapa sangka itu menjadi awal pilihan perubahan nasib. Di hari yang sama mendapat dua tawaran di luar kewarasan yang menguji iman.
"Tya, maukah kau jadi mantu Ibu?" tanya Ibu Suri membuyarkan lamunan Tya.
"HAH?!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Nia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26 Tiduran Berdua
Setelah makan siang, kebersamaan dibagi menjadi dua kubu. Ibu Suri melanjutkan berbincang dengan kakaknya di ruang tamu. Dengan sengaja memisahkan diri karena ada pembahasan serius. Sementara Diaz mengajak Ikram bersantai di teras belakang.
Dua kucing warna putih dan abu segera saja berlari mendekat begitu melihat Diaz datang. Berputar-putar di kaki sambil menggesek-gesek kepalanya. Segera saja Diaz duduk sehingga dua kucing bernama Cumi dan Luna berlomba naik ke pangkuan.
"Wah beneran lo udah pantes ngemong anak. Bapakable." Ikram tertawa melihat dua kucing berlomba ingin menciumi wajah Diaz. "Woy Cumi, Luna! Kalian nggak kangen kah sama aku?" sambungnya sambil bertepuk tangan untuk menarik perhatian si kucing putih dan abu itu.
"Kram, nanti malam gua sama Ibu, Tya, mau dinner sama keluarga Mama Selly. Kalau bukan aturan Ayah, males gua. Lo sama Tante Hani ditinggal dulu di rumah." Diaz menurunkan kucing abu yang lalu diambil alih oleh Ikram.
"Santai aja. Enjoy your time sama adik-adik tersayang." Ikram menyeringai.
"Adik-adik durjana."
Ikram tertawa. Tetapi tak lama, ekspresi serius ditampilkannya. "Salut gua sama ibumu yang rela punya madu mantan LC. Mama gua tuh milih menjaga kewarasan. Mama happy jadi single mom. Padahal gua dan Kak Rianti udah support kalau mau nikah lagi it's oke. Tapi Mama nggak mau."
"Ibu beda. Ibu punya pertimbangan tersendiri." Singkat, padat, jawaban Diaz. Meski Ikram berada di pihak yang pro tetapi ibunya mewanti-wanti agar tetap menjaga misi rahasia. Cukup tiga orang saja yang tahu demi keamanan.
Tya datang paling akhir dengan membawa nampan berisi dua gelas es matcha latte. Sebenarnya Diaz menyuruh Mbak Tuti tapi tapi ia berinisiatif yang membawakan minuman itu. Minuman selesai disajikan di meja. "Mas, aku ke atas dulu ya. Mau telepon teman."
"Boleh, yang. Aku ngobrol dulu sama Ikram ya."
"Iya, sayang. Santai aja kangen-kangenan sama saudara." Tya mengedipkan mata sambil menahan senyum karena posisinya menatap Diaz dan membelakangi Ikram. Lebih tepatnya senyum geli oleh karena ucapannya sendiri memanggil Diaz 'sayang'.
Tya beralih memutar badan menatap Ikram yang tengah memegang ponsel. Sebagai bentuk kesopanan, ia pun harus pamit kepada kakak sepupunya Diaz. "Mas Ikram, aku tinggal dulu ya."
"Eh tunggu, Tya. Ini kau kan? Akun cantya_strong." Ikram menunjukkan layar ponsel. Sejak sampai di rumah Diaz, baru sekarang membuka akun Instagram nya. Postingan satu setengah jam yang lalu dari pemilik bio 'Motivator Unfaedah' itu muncul paling atas di berandanya.
"Hehe...iya."
Ikram menjentikkan jari. "Makanya ku bilang familiar. Aku jadi follower kurang lebih 7 bulan yang lalu. Waktu itu pas otak lagi ngebul ngerjain tesis. Lagi scrol-scrol ketemu motivasi nyeleneh tapi bikin ngakak. Nggak pakai mikir dua kali langsung deh follow."
"Masa sih Mas Ikram follower aku?" Tya menatap tak percaya. Tapi begitu kedua kalinya Ikram menunjukkan layar ponselnya, barulah mata Tya berbinar. "Owalah nggak nyangka. Ini sih judulnya follower ku kakak iparku."
Ikram tertawa renyah. "Bisa aja. Ini post terbaru... Pantesan beberapa komen nyindir manten anyar. Emang relate ngamar terus kan kalian berdua," ujarnya kembali tertawa.
"Hihi. Jadi malu. Harusnya aku cuti dulu posting. Tapi jempolku malah gatel pengen ngetik. Jadi harus kuat mental teh pengantin baru digoda terus." Tya menoleh pada Diaz yang ternyata tengah menatapnya dengan ekspresi berbeda. Dahi sedikit mengkerut serta sorot mata tajam. Dia kenapa?
***
Padahal segala persiapan hinga hari pernikahan yang sudah dijalani tidak terlalu menguras tenaga dan pikiran, tapi rasa lelah masih terasa di hari kedua ini. Sehingga begitu Tya pamit ke kamar dan menelepon balik salah satu temannya yang ada di Jakarta yang mengajak bertemu, ia terserang rasa kantuk yang tidak bisa ditahan—tertidur begitu saja di sofa dalam posisi telungkup dengan satu tangan terkulai ke bawah menyentuh lantai.
Diaz masuk ke kamar setelah tak terasa hampir dua jam ngobrol santai dengan Ikram yang kemudian disambung ngobrol berempat dengan Ibu dan Tante Hani.
"Tya." Diaz mengetuk pintu walk in closet dengan pelan. Satu menit menunggu tak ada sahutan, ia mengulang memanggil disertai ketukan lagi.
Tya lagi ngapain ya. Apa aku masuk aja? Alasan mau ke kamar mandi.
Diaz memutuskan untuk masuk setelah mendorong pintu yang ternyata tidak dikunci. Pantesan dipanggil tidak menyahut, rupanya sedang salat Ashar. Ia memutuskan merebahkan badan di sofa dan menggunakan bantal yang mulai tadi malam dipakai oleh Tya. Baru pertama kalinya ia mengendus aroma lain di kamarnya. Aroma lembut tapi terkesan manis. Terasa menenangkan saat diendus sambil memejamkan mata.
Masih dengan berbalut atasan mukena karena menyadari ada yang masuk, Tya beranjak dari sajadah dan melihat adanya Diaz di sofa. "Mas Diaz ada apa? Aku dengar Mas bos manggil-manggil tapi aku tanggung lagi salat."
Begitu membuka mata, Diaz melihat Tya berdiri berbalut mukena polos warna biru tua dengan hiasan renda sepanjang sisi mukena. Wajah tanpa riasan itu tampak sejuk dipandang mata.
No! Profesional, Diaz. Nggak ada yang spesial dari cewek ini. Wajar kan aura orang abis salat emang suka adem.
"Ini sofa kayak nggak pernah dibuka jadi bed?" Pertanyaan Tya dijawab dengan pertanyaan lain yang tiba-tiba muncul di kepala Diaz usai menegakkan goyah yang baru saja menggelitik hatinya.
"Segini juga udah lebar. Cukup buat aku tidur sendiri masih bisa gerak miring ke kiri dan ke kanan."
"Tapi nggak leluasa. Nggak bisa berguling. Gimana kalau suatu waktu kau jatuh, patah tulang. Target waktu project kita bisa molor karna kau sakit."
Kirain khawatir beneran, eh ternyata nggak mau rugi dia.
Tya mencibir saat Diaz bangun dan mulai menarik bagian depan sofa seperti laci dan bagian sandaran sofa direbahkan dalam satu kali klik. Meski sudah diberitahu tutorialnya, tapi tidak menyangka hasilnya selebar itu.
"Sini kita tes tidur berdua." Diaz lebih dulu berbaring dengan posisi berubah. Bantal yang tadinya di ujung sofa dipindahkan ke sandaran sofa yang sudah rebah. Ia sendiri merebahkan badan dengan menggunakan bantal sofa sebagai penyangga kepala.
"Ish... Mas Diaz jangan langgar pasal ya!" Tya menggeleng kuat.
"Tadi pagi kau bilang ke Ayah aku tidurnya mepet-mepet kan? Berarti otak kau udah traveling. Kalau pengen dipeluk aku bilang aja. Tapi ada denda baru." Diaz menyeringai.
"Oh tidak. Tadi kan harus akting natural. Kan Mas Diaz sendiri yang bilang kalau aku harus bisa ambil hati Ayah Hilman, harus jadi mantu kesayangan."
"Kapan aku bilang gitu?"
"Ish, masih muda udah pikun."
Diaz tersenyum lebar dengan tatapan menyipit. "Makasih udah menghina. BAYAR DENDA!"
Tya spontan menangkup bibir dengan mata melebar. Benar-benar yang diucapkannya barusan adalah spontanitas. "Emang barusan menghina? Fakta kali ah." Tya mencoba peruntungan dengan membela diri.
"Aku males debat ya. Kalau mengelak, denda jadi dua kali lipat durasinya."
"Bisa gempor tangan aku. Iya deh iyaa." Tya menyahut lesu.
"Atau mau impas aja? Aku sih no problem. Jadi nggak perlu transfer 2 juta."
"Oh tidak bisa. Mending bayar denda pijat satu jam dari pada 2 juta ku melayang. Aku kecintaan sama bapak-bapak yang ada di lembaran warna merah."
Ayo katain aku matre, mas bos. Biar dapat 2 juta lagi.
"Ya sudah. Sini buru naik tiduran di sini." Diaz menepuk bantal milik Tya yang ada di sebelah kanannya. "Otak kau jangan mesum. Aku perlu mengetes kekuatan rangka sofa bed ini kalau dipakai berdua bakal kretek-kretek nggak?"
"Tapi kan cuma dipakai tidur aku aja." Tya masih bergeming di tempatnya berdiri. Ia sedikit kecewa karna ekspektasi tambahan dua juta meleset.
Diaz mengembuskan napas, mengusap wajah dengan kasar. "Bisa nggak sih nurut, jangan nyahut terus. Aku tipe irit bicara. Tapi sama kau jadi banyak bicara dan itu bikin kepala nyut-nyutan, tensi naik. Ada yang harus kita diskusikan, Tya. Kita bicaranya sambil tiduran sekalian ngetes kekuatan rangka sofa bed."
"Ohhh...dari tadi kek jelasinnya. Gini mah aku paham." Tya mulai naik ke sofa.
"Buka aja mukenanya. Apa nggak gerah." Suara Diaz kembali melunak. Tatapannya memperhatikan Tya yang menggeser bantal sedikit menjauh.
"Aku nggak pakai jilbab. Nggak gerah karna abis mandi dan AC nyala. Mau bahas apa?"
"Tiduran dulu!"
Tya mengerucutkan bibir. Awalnya ingin duduk saja, terpaksa mengikuti perintah Diaz, tiduran di sampingnya berjarak sekitar 40 cm. Sebenarnya risih.
"Ikram jeli banget. Lagi ngobrol sambil sesekali main ponsel tiba-tiba dia tanya dengan kaget kenapa kita nggak saling follow. Hampir saja tadi aku bingung jawab yang logis."
Tya yang awalnya mendengarkan sambil menatap lurus ke plafon, sontak memiringkan badan. Meski orang yang kini ditatapnya tetap terlentang dengan tatapan mengarah ke lemari. "Mas Diaz jawab apa?"
"Ku bilang saling follow kok. Tapi sama-sama pakai second akun. Alasannya biar bisa mantau kalau-kalau ada komen-komen sarkasme. Untung Ikram percaya."
"Ah, pintarnya mas bos. Bagus-bagus." Tya membulatkan ibu jari dan telunjuknya.
"Bantu ingatkan, Tya. Kira-kira hal-hal sepele apa lagi yang mestinya kita saling tahu."
"Oke, Mas. Nanti malam sebelum tidur aku pikirkan. Oh ya, aku harus bayar denda kapan?"
"LIhat sikon. Kalau nggak nanti sepulang dinner mungkin besok. Aku udah transfer denda 2 juta. Cek aja."
"Oh ya." Tya tersenyum lebar. "Aku belum buka hp lagi setelah tadi ketiduran. Makasih, mas bos."
"Soal dinner nanti. Kau biasa nggak dengan jamuan cutlery?" Diaz sama sekali tak menanggapi keriaan Tya.
"Aku baru denger istilahnya. Jelasin, please. Biar nanti aku nggak malu-maluin."
"Itu peralatan makannya yang lengkap sendok, garpu, pisau. Harus sesuai table manner biar aku nggak diledek si Boby atau Leony, dan kau juga nggak dihina."
"Aduh, Mas. Kenapa nggak dari pagi ngasih tahu aku. Jadi ada waktu buat belajar dulu. Ini satu setengah jam lagi mau Maghrib. Aku paling pakainya sendok dan garpu kalau makan mie ayam atau bakso. Di rumah seringnya pakai sendok aja. Table manner para sultan dan permaisuri ribet nggak sih?"
"Tenang aja. Ini bukan hal serius kok. Ini aku juga sambil mikir solusinya." Diaz mengusap-usap dagunya yang mulai ditumbuhi rambut kasar. "Tya, jangan kaget kalau nanti kau aku treat like a queen."
gpp aku tungguin
heeeemmmm jd penasaran bgaimn tanggapan ayah Hilman bgtu tau anak sulung ny yg manja itu telah berperilaku buruk terhadap mantu kesayangan nya itu.