Hanina Zhang, merupakan putri seorang ulama terkemuka di Xi’an, yang ingin pulang dengan selamat ke keluarganya setelah perjalanan dari Beijing.
Dalam perjalananya takdir mempertemukannya dengan Wang Lei, seorang kriminal dan kaki tangan dua raja mafia.
Hanina tak menyangka sosok pria itu tiba tiba ada disamping tempat duduknya. Tubuhnya gemetar, tak terbiasa dekat dengan pria yang bukan mahramnya. Saat Bus itu berhenti di rest area, Hanina turun, dan tak menyangka akan tertinggal bus tanpa apapun yang di bawa.
Di tengah kebingungannya beberapa orang mengganggunya. Ia pun berlari mencari perlindungan, dan beruntungnya menemui Wang Lei yang berdiri sedang menyesap rokok, ia pun berlindung di balik punggungnya.
Sejak saat itu, takdir mereka terikat: dua jiwa dengan latar belakang yang berbeda, terjebak dalam situasi yang tak pernah mereka bayangkan. Bagaimana perjalanan hidup Dewi Hijab dan iblis jalanan ini selanjutnya?
Jangan skip! Buruan atuh di baca...
Fb/Ig : Pearlysea
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pearlysea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab_26 Permintaan Maaf
Sementara dunia di luar sana bersorak atas kemenangan dalam gelap, di dalam kamar kecil yang remang, Hanina duduk bersimpuh menghadap kiblat. Wajahnya tenang, meski tubuhnya menggigil oleh dingin malam dan kekhawatiran yang belum juga reda.
Sebuah kain terhampar di lantai, menjadi saksi bisu perjalanannya yang belum berujung. Suaranya lirih di tengah kesunyian orang-orang yang terlelap, dia justru tenggelam dalam bisikan malam kala melafalkan ayat demi ayat yang dia hafal sejak kecil.
"Inna ma’al ‘usri yusra…" Setelah kesulitan ada kemudahan. Ayat itu menenangkan hatinya yang dilanda gelisah. Menyelimuti dadanya yang sesak.
Tangannya terangkat. Air matanya jatuh karena rindu dan harap yang tak tahu harus dititipkan pada siapa, kecuali Dia.
"Hasbunallahu wa ni’mal wakeel..."
Cukuplah Allah menjadi penolong kami, dan Dia sebaik-baik pelindung.
"Ya Rabb…" bisiknya, "Engkau tahu aku asing di tempat ini. Di antara orang-orang yang tak mengenal-Mu. Di antara jalan yang gelap, niat yang jahat, dan wajah-wajah yang haus kekuasaan…"
Dia menggenggam dadanya.
"Jangan cabut cahaya-Mu dariku, ya Allah. Teguhkan hatiku. Jagalah aku dari dalam, dari luar… Dari niat buruk mereka dan dari kelemahanku sendiri…"
Dia berdoa dengan suara lirih, dengan hati yang retak dan jiwa yang menggantungkan seluruh hidupnya pada penguasa langit dan bumi.
"Aku tak tahu apa yang akan terjadi besok, Ya Allah... Tapi jika harus bertahan, kuatkan hatiku. Jika harus melawan, maka teguhkan langkahku…"
"Rabbana aatina fid-dunya hasanah wa fil-aakhirati hasanah wa qina ‘adzaaban-naar. Aaminn ya mujaibasa'ilin..." Hanina memejamkan mata, meraupakan telapak tangan ke wajahnya yang bersinar diantara untaian doa yang naik ke langit.
Hanina menoleh, langit malam di luar jendela tampak pekat. Dia menghela napas dalam, meyakini bahwa alam akan menjaga orang-orang yang bertawakal atas perintah Allah, bahkan api yang membakar pun terasa dingin di kulit nabi ibrahim Alaihi salam , dan laut yang membentang luas tak menenggalamkan nabi musa beserta kaumnya.. Inna ma'iya Rabbi sayahdin...
...•<•<•pearlysea•<•<•...
Fajar menyibak tirai malam dengan lembut. Cahaya keemasan menyelinap masuk melalui celah-celah jendela kamar. Udara masih dingin, tapi ada ketenangan yang tersisa dari malam panjang yang dia lewati dengan doa.
Di sana Hanina berdiri di depan cermin, tengah melilitkan hijab yang kemarin dia beli. Sudah dua hari sejak Wang Lei pamit pergi, entah kenapa dia merasa ada sesuatu di hatinya yang membuatnya mengkhawatirkan pria itu.
"Aku harap dia baik-baik saja, untuk saat ini hanya Wang Lei yang bisa ku andalkan." gumamnya, menatap pantulanya di cermin, sudah rapih dengan gaun cream dan pashmina merah maroon yang membingkai wajahnya. Cantik.
Dia kemudian melangkah, membuka pintu kamar dan menuruni tangga dengan langkah tegas namun tetap hati-hati.
Hanina berdiri di depan pintu kamar bawah lalu memutar kenopnya, melongok ke dalam dimana Xiao Mei masih meringkuk di atas kasur. Ada rasa iba melihat cara wanita itu menangis tadi malam, tapi sikapnya yang tidak sopan dan ucapan Chen Jie membuatnya tetap harus waspada.
Pintu di tutup kembali tanpa menimbulkan suara, membiarkan wanita itu beristirahat dengan tenang.
Sementara dia mulai bergerak.
Dengan cekatan mulai menyapu lantai yang berdebu, mengepel dengan air yang diberi sedikit sabun, menjemur bantal tipis yang lembab di halaman bekalang, lalu mencuci pakaian yang kemarin dia kenakan.
Tangannya terus bekerja, seolah ingin membersihkan bukan hanya rumah, tapi juga sisa-sisa kekhawatiran yang masih membekas di benaknya. Sekaligus menunjukkan bahwa dirinya tidak sepenuhnya lemah, bahkan dalam tempat asing, dia tetap berdiri dan menjaga harga diri.
Ketika semua hampir selesai, dia membuka pintu depan sambil membawa sapu. Cahaya pagi menyambut, hangat dan segar. Di sana, Chen Jie masih terbaring di tikar dengan kepala ditutup lengan, mulutnya sedikit terbuka menimbulkan dengkur halus yang terdengar samar.
Hanina menggelengkan kepala lalu mendekat. Kemudian menyodok tubuh pria itu pelan dengan ujung gagang sapu.
"Chen Jie bangun... Bangun...hei!"
Chen Jie tetap tak bergerak, hanya mulutnya yang mengatup rapat dan malah ubah posisi miring, membuat gadis itu mendengus kesal.
"Bagaimana cara membangunkannya? Dia tidur kaya orang mati suri. Hei!!!" Hanina mecoba memukul pelan lengan pria itu dengan gagang sapu, Chen Jie sempat mengerjap tapi malah molor lagi.
Hanina mendengus kasar, menyangga tangan ke pinggang. Dia kemudian masuk rumah dan keluar lagi dengan membawa tutup panci.
Hanina berdiri di depan Chen Jie yang masih tergeletak seperti anak yang di telantarkan orang tuanya. Dia memegang tutup panci di satu tangan, dan centong sayur di tangan lain.
"Bismillah…" gumamnya pelan, lalu
PRANG! PRANG! PRANG!
"Bangun.... Pasukan musuh menyerang! Pak jenderal bangun!!! Ratu akan segera di culik..." pekik Hanina, suaranya bercampur bunyi pukulan seng yang langsung memekakan telinga chen Jie.
Mendadak Chen Jie melompat bangun duduk dengan mata merah dan rambut awut awutan. "Siapa yang culik Ratu, dimana musuhnya?! Aku disini! Jenderal siap menyerang! "
PRANG! Hanina menghantamkan centong sayur ke tutup panci, lebih keras ke depan wajah pria itu yang seperti orang sakau.
Chen Jie terlonjak lagi, kali ini benar-benar sadar. Matanya membelalak, napasnya memburu, dia mendongak.
"Hanina... Kau pikir ini lucu? Kau buat aku hampir jantungan, tahu!"
Hanina mendecak pelan. "Kau tidur seperti batu kuburan. Aku hampir menyirammu pakai air pel. Bangun, sudah pagi!"
Chen Jie bangkit perlahan sambil menggosok wajahnya.
"Kau galak sekali! Kau bisa bangunin aku pakai suara lembut, kupikir wanita berhijab seperti itu."
Hanina menggeleng, mengacungkan centong sayur ke arahnya.
"Kau ku pukul pakai gagang sapu saja tidak bangun, apalagi suara lembut, kau pikir aku bidadari yang tidak bisa kesal?"
Chen Jie menatapnya malas sambil menggaruk lehernya dia berkata,
"Iya, kupikir kau Bidadari, ternyata Dewi Kematian."
Hanina spontan melotot.
"Jangan bicara ngawur!" serunya, lalu merogoh saku gamis dan mengeluarkan beberapa lembar uang. "Ini uangnya. Tolong belikan sarapan, tidak pakai lama!"
Chen Jie menatap uang yang Hanina sodorkan, dia menggeleng dan tersenyum miring saat menerimanya.
"Baiklah Dewi Kematian, siap laksanakan!"
Hanina menyipitkan mata dan mendengus lalu melangkah hendak masuk kerumah, tapi sebelum sampai pintu dia menoleh ke arah pria itu.
"Oh iya, ingat! Makanan Halal."
Chen Jie menjawab dengan nada kesal.
"Iya, Ratu Bawel!"
Gadis berhijab itu memutar bola mata malas lalu masuk rumah dan menutup pintunya. Chen Jie mendengus pasrah dan mulai bergerak mendekati motornya yang terparkir di garasi.
Di dalam, Hanina kembali bergerak lagi mengelap benda-benda antik yang terpajang di lemari hias sambil melantunkan ayat-ayat suci Al-qur'an yang sudah dia hafal.
Sebuah langkah kaki mendekatinya.
"Hanina..." suara itu pelan tapi cukup untuk mengalihkan gadis itu dari pekerjaanya, Hanina berbalik badan, matanya melebar sedikit.
"Xiao Mei, kau sudah bangun..." ucapnya dengan suara ramah seperti biasa. Xiao Mei hanya mengangguk lemah sambil memainkan jari-jarinya, terlihat gugup.
"Hanina... aku... aku... mau minta maaf padamu, kemarin aku sudah keterlaluan... Kau mau maafkan aku, kan?" Suara Xiao Mei patah-patah. Hanina menatap wajah Xiao Mei yang tampak sembab dan menyesal.
Gadis berhijab itu tersenyum kecil, lalu meletakkan kain lap di atas meja.
"Tentu saja aku mau, semua manusia pasti pernah bersalah, aku juga bersalah, kemarin aku menamparmu. Maafkan aku juga Xiao Mei.."
Xiao Mei memeluk dirinya sendiri, bibirnya bergetar.
"Tidak Hanina, kau tidak bersalah. Aku memang pantas di tampar, wanita sepertiku memang pantas diperlakukan seperti itu, kau tidak perlu minta maaf. Aku sudah terbiasa dengan hal itu." ucap Xiao Mei lirih dengan mata yang berlinang. Hanina menatapnya dalam lalu mendekat, memegang kedua tangan Xiao Mei.
"Jangan bicara seperti itu Xiao Mei... Kau tidak seburuk itu, mungkin kau hanya sedang merasa kecewa, sebagai sesama wanita aku bisa memahamimu... Kalau kau mau cerita, aku siap mendengarkan."
Xiao mengangguk lemah, air matanya menetes, menggenggam tangan Hanina erat.
"Iya Hanina.. Aku hanya sedang merasa kecewa," ucapnya menahan tangis, Hanina menyipitkan mata, penuh rasa iba.
"Ayo kita duduk, ceritakan padaku, supaya hatimu tenang." ajaknya, dia menuntun Xiao Mei untuk duduk di sofa.
"Ini semua karena Wang Lei..." ucap Xiao Mei parau, begitu mereka duduk berdampingan.
Hanina agak tersentak saat Xiao Mei menyebut nama pria itu, tiba tiba dia merasa penasaran. Gadis itu menoleh cepat, menatap wajah Xiao Mei yang sendu.
"Xiao Mei... apa yang terjadi? Apa yang dia lakukan padamu?"
Xiao Mei mengusap air matanya, kemudian menatap lurus ke depan.
"Wang Lei, dia itu pria yang manipulatif Hanina... Sebelum mengenalnya aku tidak seburuk ini. Dia menganggapku istimewa sampai aku rela melakukan apapun demi menyenangkan fantasi gilanya." isaknya, lalu menatap Hanina yang nampak tercengang.
"Karena sudah terlanjur kotor, aku melanjutkan hidup dengan cara itu, karena orang tuaku bahkan tidak menginginkan kehadiranku."
Dada Hanina mencelos tak menyangka, antara harus percaya atau tidak.
"Wang Lei? Dia melakukan ini padamu?"
Xiao Mei mengangguk lemah, air matanya terus menetes.
"Kalau kau tidak percaya tanyakan saja, tapi pasti dia tidak akan mau mengaku. Semua laki-laki itu sama. Bajingan keparat! Manis hanya di awal kalau sudah bosan diperlakukan seperti sampah!"
Hanina menarik napas panjang. Hatinya berkecamuk, antara terkejut, prihatin, dan... bingung. Wang Lei yang selama ini dikenalnya, memang misterius, namun tak pernah sekalipun pria itu menunjukkan sisi seburuk itu padanya. Tapi siapa dirinya untuk menghakimi?