Mengetahui kebenaran identitasnya sebagai anak angkat, tak membuat perempuan berumur 18 tahun itu bergeming. Bahkan kematian ibu angkat dan ayah angkat yang mengusirnya dari rumah, tidak membuatnya membenci mereka. Arumi Maharani, gadis lulusan SMA yang dibesarkan di keluarga patriaki itu memilih mencari jati dirinya. “Aku tunanganmu. Maafkan aku yang tidak mengenalimu lebih awal.” Izqian Aksa. Siapa Izkian Aksa? Bagaimana Arumi menjalani kehidupan selanjutnya? Dan akankah pencariannya mendapatkan hasil? Haloo semuanya… ketemu lagi dengan author.. semoga semua pembaca suka dengan karya baru author…
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Luka
Sekitrar pukul 3 pagi, Aksa terbangun dan segera ke kamar mandi. Ia keluar dan pergi ke belakang untuk mengambil wudhu. Saat ia kembali, ia bertemu Arumi yang ingin masuk ke dalam kamar mandi.
“Apa Kakak habis ambil wudhu?” tanya Arumi.
“Iya. Apa kamu juga?” Arumi mengangguk dan pamit masuk ke dalam kamar
Aksa tersenyum dan kembali ke kamarnya. Semakin mengenal Arumi, ia semakin yakin. Dalam doanya, ia meminta agar Allah merestui niatnya yang ingin mempersunting Arumi. ia meminta untuk didekatkan jika mereka berjodoh dan diberikan kelapangan jika tidak.
Sementara Arumi, dalam doanya ia meminta agar kunjungan ke rumah orang tuanya berjalan lancar. Arumi juga meminta agar Allah membukakan pintu hati orang tua dan kakak-kakaknya agar bisa menerima kehadirannya.
Selesai melaksanakan sholat, Arumi ke belakang untuk memanen pokcoy dan daun bawangnya. Aksa yang tidak bisa kembali tidur, hanya memainkan ponselnya.
Bruk!
Aksa terperanjat saat mendengar suara sesuatu terjatuh. Segera ia keluar kamar dan mencari sumber suara. Di ruang tamu ia tidak menemukan apapun, ia ke belakang dan melihat pintu belakang yang terbuka.
Berpikir jika kemungkinan ada pencuri, Aksa keluar dengan hati-hati. Pandangannya justru mendapati Arumi yang sedang duduk bersimpuh memegangi kakinya.
“Kamu kenapa?” tanya Aksa yang duduk di hadapan Arumi.
“Aku tidak sengaja menyandung kaki rak, Kak.”
Aksa melihat ke jari jempol kaki Arumi yang berdarah. Tanpa pikir Panjang, Aksa mengangkat tubuh Arumi dan membawanya ke ruang tamu. Arumi yang terkejut sampai menutup mulutnya agar tidak memekik.
“Ma-maaf.” kata Aksa yang sadar dengan Gerakan impulsifnya.
“Dimana kotak obat?”
“Tidak punya, Kak. Aku lupa tidak membeli peralatan first aid.”
Aksa mengambil tisu dan membersihkan darah di jari kaki Arumi.
“A-aku bisa melakukannya sendiri, Kak!”
“Tidak apa. Ini pasti sakit.” Hanya tisu tidak akan bisa membersihkan luka, Aksa ke dapur mengambil ember dan gayung berisi air untuk membasuh luka.
“Tahan sebentar.” Arumi mengangguk pasrah.
Dengan mengeratkan kedua bibirnya, Arumi menahan rasa perih. Setelah selesai dibasuh dan darah tidak lagi keluar, baru terlihat jika daging di dekat kuku jempol Arumi terbuka. Kemungkinan saat menabrak rak, ada sesuatu yang tajam merobek kulit Arumi.
Aksa membalut luka Arumi menggunakan sapu tangannya dan meminta untuk tidak bergerak sementara waktu.
“Apa yang kamu lakukan di pagi buta seperti ini?”
“Saya mau memanen sayur, Kak. Besok aku ingin menitipkannya kepada tukang sayur.”
“Kenapa melakukannya sendiri? Kamu bisa meminta bantuan.”
“Kakak tamu di sini. Saya tidak ingin semakin merepotkan Kakak.”
“Duduk manis saja! Aku akan memanennya untukmu.” Aksa berjalan ke belakang.
Arumi mengikutinya dengan jalan sedikit pincang karena rasa nyeri di lukanya. Aksa tidak melarang Arumi, ia justru tersenyum.
Setelah bertanya bagaimana memanen sayuran, Aksa memanen sayur dan mengumpulkannya di keranjang yang tersedia. Arumi tidak hanya diam melihat. Ia menyatukan 3 bonggol pokcoy dan mengikatnya dengan karet.
Aksa yang sudah selesai lebih dulu, membantu Arumi. Hasilnya, mereka mendapatkan 15 ikatan dan sisanya Arumi pisahkan untuk stock di kulkas.
Selesai dengan pokcoy, Aksa lanjut memanen daun bawang prei. Kali ini daun bawang dibiarkan karena daun bawang dijual kiloan.
“Kamu jual berapa?” tanya Aksa setelah selesai membersihkan daun bawang.
“Pokcoy ini 3500 per ikat dan daun bawang 25 ribu per kilonya.”
“Kenapa murah sekali? Pokcoy setidaknya butuh waktu satu bulan baru bisa dipanen, daun bawang bisa dua bulan lebih.”
Arumi tersenyum. Ternyata Aksa tahu banyak tentang tanaman. Arumi menjelaskan jika daun bawang yang ia tanam adalah daun bawang prei kecil, sehingga dalam satu bulan sudah bisa panen.
Kenapa harganya murah, karena Arumi memberikan komisi kepada tukang sayur. Jika ia menjual sesuai harga pasar, tukang sayur tidak akan mendapatkan untung.
Mendengarnya, Aksa menganggukkan kepalanya mengerti. Ramlan yang sedari tadi mendengarkan percakapan keduanya, akhirnya menampakkan diri. Ia terbangun saat mendengar suara benda terjatuh.
Ramlan menyunggingkan senyum. Ia merasa Aksa laki-laki yang cocok untuk menjadi pendamping adiknya. Selain menghormati Arumi, Aksa juga memperlakukan adiknya dengan sepenuh hati dan tidak melanggar Batasan.
Meskipun sempat ingin menonjok wajah Aksa saat menggendong Arumi, ia mengalah karena sang adik yang terluka.
“Sudah mau subuh. Lanjutkan nanti saja!” kata Ramlan.
Arumi dan Aksa kompak menganggukkan kepala mereka dan membereskan sayuran. Ramlan melihat rak yang berjajar, pandangannya tertuju pada sambungan kayu yang tidak rapi. Itulah sebabnya Arumi bisa terluka.
“Aku perlu peralatanku untuk membuatnya lebih rapi.” Batin Ramlan.
Adzan subuh berkumandang, Karina bangun dan melaksanakan sholat bersama Arumi sementara Ramlan dan Aksa ke masjid.
Selesai melaksanakan sholat, Karina membantu Arumi memasak. Kali ini Arumi membuat balado telur dan pokcoy bawang untuk sarapan.
Aksa dan Ramlan kembali saat masakan sudah siap karena mereka mengikuti kultum dan berbincang dengan warga yang juga sholat berjamaah, bersamaan dengan tukang sayur yang datang mengambil sayur.
Sekitar pukul 7, mereka berangkat ke Kota Tuak. Di sepanjang perjalanan, Arumi hanya diam. Dalam hati, ia melantunkan dzikir agar urusannya hari ini berjalan lancar.
Melihat Arumi yang hanya diam, Ramlan menceritakan keadaan emak dan adik-adiknya agar Arumi tahu gambarannya.
“Dulu Emak jualan kayu bakar, Dek. Sekarang, Emak membeli barang seperti ayam, pisang, jagung, dan lainnya untuk dijual kembali ke pasar besar. Kakak kedua dan ketigamu saudara kembar, namanya Nana dan Nani. Nana janda dengan 2 anak, suaminya melakukan KDRT makanya mereka berpisah. Nani juga punya dua anak dan suaminya sama denganku, tukang bangunan yang ikut proyek. Kakak keempatmu, Siti. Dia juga sudah menikah tetapi belum punya anak.” Ramlan berhenti sejenak.
“Nana masih tinggal dengan Emak dan Yuni, anak bungsu yang sekarang berumur 11 tahun. Beda tujuh tahun denganmu. Nani tinggal di rumah suaminya yang hanya berbeda desa dan Siti tinggal di rumah suaminya yang ada di Kota Pahlawan.” Imbuh Ramlan.
“Dari ketiga kakak, menurut Kang Lan ada yang bisa menerimaku tidak?” tanya Arumi ragu-ragu.
Pertanyaannya membuat Ramlan, Aksa dan Karina merasa sedih. Tetapi mereka tidak memperlihatkannya.
“Jujur, Siti yang mungkin bisa menerimamu karena dia satu-satunya adik yang dekat denganku dan menjaga kontak. Untuk yang lain, aku tidak yakin. Maaf.”
“Kenapa Kang Lan meminta maaf? Aku tidak apa-apa. Aku hanya bertanya.” Ramlan terdiam melihat dalam ke arah Arumi.
Merasa suasana menjadi berat, Arumi mencairkan suasana dengan mengatakan jika dirinya sudah siap menerima apapun hasilnya. Tetapi niatnya justru semakin membuat beban di hati Ramlan.
“Jika tahu akan seperti ini, lebih baik aku tidak mengatakannya. Lebih bai kia hanya tahu keberadaanku dibandingkan harus memaksakan diri seperti ini.” batin Ramlan.
“Terbuat dari apa hatimu, Arumi?” batin Aksa.
“Perempuan seperti Kak Arumi sangat langka! Awas saja kalau Kak Aksa berani menyakitinya!” batin Karina.