⛔ jangan plagiat ❗❗
This is my story version.
Budayakan follow author sebelum membaca.
Oke readers. jadi di balik cover ungu bergambar cewek dengan skateboard satu ini, menceritakan tentang kisah seorang anak perempuan bungsu yang cinta mati banget sama benda yang disebutkan diatas.
dia benar-benar suka, bahkan jagonya. anak perempuan kesayangan ayah yang diajarkan main begituan dari sekolah dasar cuy.
gak tanggung-tanggung, kalo udah main kadang bikin ikut pusing satu keluarga, terutama Abang laki-lakinya yang gak suka hobi bermasalah itu.
mereka kakak-adik tukang ribut, terutama si adik yang selalu saja menjadi biang kerok.
tapi siapa sangka, perjalanan hidup bodoh mereka ternyata memiliki banyak kelucuan tersendiri bahkan plot twist yang tidak terduga.
salah satunya dimana si adik pernah nemenin temen ceweknya ketemuan sama seseorang cowok di kampus seberang sekolah saat masih jam pelajaran.
kerennya dia ini selalu hoki dan lolos dari hukuman.
_Let's read it all here✨✨
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Daisyazkzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
•Dua ujian•
Itu adalah hari terburuk. hari dimana perasaan Zyle terbelah-belah bagai sebuah kepingan remuk.
Kecelakaan besar terjadi di sebuah persimpangan jalan dekat universitas Zyle. satu mobil ditabrak truk muatan, sampai besi-besi canggih itu berubah menjadi lempengan menyedihkan.
dua orang laki-laki menjadi korban nyawa. Mati di tempat dalam sekali hantaman, menerbangkan dua jiwa sekaligus ke langit.
Jalanan mendadak macet, polisi berdatangan, orang-orang berkerumun turut berdukacita.
Sama seperti gadis muda yang menangisi sang ayah. Di negara antah berantah, orang tersayangnya pergi.
andai waktu bisa diulang. Andai sejak awal ia mengabari sang ayah yang begitu khawatir akan putri tercintanya. Andai ia tak ada, andai....
"Kenapa....ayah mati? Kenapa ayah pergi? Kenapa ayah tidak pulang dengan selamat?" Zyle sudah lelah menangisi jasad bersimbah darah itu. Rasanya tak sanggup lagi melihat sang bunda menahan tangis di depan mayat suaminya.
Tak jauh beda dengan sang kakak yang berdiri sibuk, sibuk menyembunyikan kesedihannya, sibuk berusaha kuat.
Ternyata kecerobohan remeh bisa menjadi awal rasa bersalah yang begitu mendalam. Entah kapan semua ini akan terbalaskan.
penyesalan itu adalah pelajaran yang menyisakan sebuah luka. Namun Zyle malah kehilangan seseorang untuk melewati prosesnya.
Flashback on.
"Sayang, kenapa Zyle belum tidak datang ke sini ya? Apa dia sudah ke asramanya?" bunda bertanya sambil menunggu pesan dari putrinya.
Sejak malam Zyle tidak mengirim kabar apapun setelah selesai acara pernikahan Ren. Bunda merasa cemas.
"biar aku jemput kesana. Aku juga ingin mengajaknya jalan-jalan." kata ayah. Mencium lembut punggung tangan sang istri, berpamitan.
"tidak usah sayang. Zyle saja suruh datang kesini."
"tidak apa-apa, aku sekalian ingin melihat aktifitasnya."
Suaminya langsung pergi. Bunda tersenyum tipis, yasudahlah.
ia pun masuk ke toilet untuk mandi. Setelah selesai lima belas menit kemudian, ada notifikasi pesan dari nomor Devano, mengatakan kalau sang putri sedang diantarkan ke sana.
Bunda tersenyum lega. Tapi bagaimana dengan suaminya?
Perempuan itu segera memakai pakaian, turun ke lobi lalu berjalan untuk menunggu Zyle di depan hotel. Mungkin sebentar lagi sampai.
flashback off.
Zyle terdiam dengan wajah sembap di pelukan Ren. Kakaknya terus berkata, tidak apa-apa. Berulang kali sampai tangisnya mereda.
Bagaimana tidak? Kematian ini begitu mendadak. Terlalu menyedihkan, terlalu tega.
Setelah ditelfon oleh petugas, ia dan bundanya segera datang ke lokasi kecelakaan dan malah menemukan kondisi seperti ini.
Ren sempat menangis sejenak, namun dia langsung menghampiri Zyle, memeluknya.
"Zi, bukan salahmu. Bukan. Ini keinginan ayah sendiri. Ayah yang mau menjemputmu."
"tapi Zyle yang salah!"
Wajah gadis itu sepenuhnya lemas, shock berat, hanya bisa memendam wajah di dada Ren. Isakan tangis tak kunjung reda.
"Zyle, ayah juga sedih melihatmu begini." Gwen ikut membelai lembut punggung Zyle.
"Zi, kakak mau pergi sebentar." kata Ren sambil mengiyakan panggilan seorang petugas. "by, tolong temenin bunda dulu."
Gwen mengangguk. "Zyle, kakak mau ke bunda dulu ya. Kamu mau ikut?" tanyanya lembut pada adik sang suami.
Zyle menggeleng, masih menangis, berjongkok begitu Ren melepas pelukannya.
Semua orang mengerti gadis yang menangis di pinggir trotoar itu adalah putri korban. Mereka ikut prihatin, namun tidak bisa berbuat apa-apa karena dihalangi pembatas.
dari balik sana, seseorang datang setelah meminta izin pada Ren. Sosok itu berjalan mendekat menghampiri Zyle.
Zyle tidak bergerak sama sekali dari posisinya. Ia hanya meringkuk sendirian. Mungkin saja air mata ini adalah hukuman alami atas kesalahannya selama ini, seolah untuk membayar semuanya.
"Zyle, apa keluhanmu sekarang? ceritakan semua. anggap saja ini adalah proses pendewasaan, tangisan itu berkontribusi atas semua proses yang menyakitkan. Dan itu wajar."
Zyle tahu siapa yang bicara. namun entahlah, ia tidak ingin memandangnya lagi. Karena itu akan kembali membuatnya terlena.
"Zyle, kau marah padaku?" "apa yang membuatmu kesal dariku?"
spontan saja, mulut Zyle menjawab refleks, "kamu kan mau menikah!!"
"menikah?" tanya suara itu bingung. "Aku tidak akan melakukan itu sekarang."
"nggak usah menghibur Zizi, nanti calon Depan cemburu.." lirih Zyle.
tiba-tiba saja Devano menggenggam lengan kecil Zyle, erat, itu kali pertama dia berbuat sampai menyentuh.
Zyle terkejut, menunjukkan wajah merah dengan ekspresi tak mengerti.
Lagi-lagi tatapan penenang itu menuju ke arah kedua matanya, Devano mengatakan, "nggak ada siapapun yang bisa mengulang waktu ke masa lalu untuk mencegah keburukan. Tapi kita bisa memulai sesuatu yang baru untuk kebaikan di masa depan."
Dia menarik berdiri Zyle, dan tanpa aba-aba memasukkan tubuh kecil itu ke dalam pelukannya. "maaf, tidak sopan.."
Saat itu Zyle benar-benar ingin menangis lagi, rasanya hangat, sayang sekali kalau sosok ini bukan menjadi miliknya.
Devano membelai lembut rambut Zyle, berbisik, "Zi, apa kamu kecewa dengan aku yang sekarang?" suaranya berat namun penuh kelembutan.
Devano terus memeluknya sampai mayat penuh darah itu dipindahkan oleh petugas, barulah dia melepas Zyle yang kelihatan seperti kepiting rebus. Merah padam.
"kemana a-yah?"
"sudah dipindahkan. Jangan terus berlarut dalam kesedihan dengan melihat bekas-bekas kecelakaannya. Mau jalan-jalan denganku?"
"Nanti...ca-"
"tidak ada calon. Oke? Aku cuma menyukai seseorang, sayangnya dia begitu cengeng." kekeh Devano sambil menurunkan tubuhnya yang tinggi agar setara dengan Zyle.
"cengeng? Berarti Depan suka perempuan tukang nangis?"
"tidak juga." Devano tersenyum. "ayo kita jalan-jalan. tapi sepertinya bundamu tidak mau ikut."
Zyle menatap bunda di ujung jalan, gadis itu menunduk sedih. "gara-gara aku bunda kehilangan ayah.."
"Jangan menangis. Ayo, biar kubelikan apapun yang kamu mau. Kamu mau minta apa?"
Zyle mengulum senyum, menunjuk Devano. "mau ini."
"Jangan bercanda begitu..tolong.." di luar dugaan, respon Devano malah membuat Zyle semakin menjadi-jadi.
Dia berpaling, tersenyum malu, menahan ekspresinya. Bisa dibilang nge-shy. pokoknya itu membuat Zyle terhibur.
"boleh kan, mau yang ini? iya kan, ganteng?" goda Zyle berani. "apakah pernah ada yang mengatakan padamu kalau kamu punya senyum yang manis?" Zyle mulai tersenyum lagi, bergaya seolah seorang gentleman.
"aku pergi saja." balas Devano bercanda.
"Dasar cowok datar. Nggak seru! Nggak peka! Nggak suka dibercandain!" manyun Zyle, buru-buru berlari kecil menyamai langkah Devano.
tuhan, semoga Zizi mendapat pengganti ayah sebaik Devano...
***
tiga hari kemudian, kabar duka itu sampai ke keluarga ayah. mereka berdatangan menaiki pesawat demi melayat beliau.
Di hari kelima mereka semua berpamitan pada Ren dan Zyle, termasuk bunda yang memilih tetap tinggal di rumah lama tempat masa kecil dua kakak-beradik itu dibesarkan.
Rasanya masih tak menyangka ayah sudah tiada. Zyle merindukan masa-masa dimana ia dimanja, diberi kasih sayang. Semua itu telah lewat terhalang tanah.
Kehidupan kuliah Zyle berjalan normal kembali. Rutinitas penuh kesibukan anak kampus, belajar, mencari kebahagiaan baru.
meskipun ayah tak ada lagi, Zyle tahu beliau menginginkan putrinya tumbuh dengan baik menjadi wanita luar biasa. Tanpa ayah pun, Zyle bisa menjadi pribadi yang lebih mandiri.
Ya, mandiri. Zyle sekarang sedang asyik bernyanyi kecil sambil menyapu sembarangan halaman taman kampus.
Ada semacam kegiatan bebersih bersama bulan ini. sekaligus pertama kalinya Zyle ikut, disuruh bebersih sendiri pula.
sempat-sempatnya Damara memasukkan kegiatan menyebalkan ini ke dalam kontennya. Dia sibuk membuat video.
"Ada kodok!" Zyle menceletuk senang sendiri. Tak ada yang memperhatikan.
Di dekat kran air samping bangunan kelas, gadis itu menemukan seekor kodok gemuk, tubuhnya basah, kelihatan lengket.
Zyle senyum-senyum, ide jahilnya muncul. Dengan pengki plastik, ia menyerok si kodok. "gendut banget, kebanyakan makan.."
"berlendir gitu sih. Tapi mukanya kok sedih? Jangan-jangan anaknya baru mati ya?" Zyle terus bicara sendiri. Memperhatikan lebih dekat.
"mukanya begini.." Zyle berusaha membuat ekspresi sama dengan si kodok.
Aksi aneh itu diperhatikan Devano dari jendela ruang istirahat di lantai dua seberang, wajah seriusnya perlahan berubah.
Zyle lanjut memutarkan pengki, kodoknya ikut berputar-putar seperti gadis itu. Ia mengiringi dengan nyanyian asal.
Devano benar-benar menahan tawa. Terkekeh di balik jari-jari besarnya.
"eh ada Depan!" ternyata dia ketahuan, Zyle melambai kencang-kencang kepadanya dari bawah. "Depan lagi ngapain?"
"pelajarin materi buat nanti zi."
"Oh! pak dosen boleh gak nanti Zizi rekam? Kata kak Ren dia mau bukti belajar!" pinta Zyle setengah berteriak. Untung sepi.
"boleh!" balas Devano.
Zyle bersorak bersama kodoknya.
***
Di pelajaran pertama itu, Zyle sengaja duduk di baris kedua agar bisa merekam Devano yang sedang mengajar dengan jelas.
Ini semua permintaan Ren setelah ayah meninggal. Katanya dia bertanggung jawab memantau kondisi sang adik.
Sialnya Zyle agak kelelahan akibat pekerjaan sapu-menyapu tadi. Rasanya untuk merekam pun ia tak sanggup.
Untungnya Zyle punya alat untuk penopang hp diatas meja yang tinggi rendahnya bisa diatur.
Jadilah saat Devano datang, pembukaan, Zyle bagai seorang kamerawan ahli, dia menyetel hp nya sedemikian rupa. Lalu memberi senyum lucu pada Devano.
Disitu Devano memakai masker, jadi Zyle tidak bisa melihat full wajahnya. Menyebalkan. Padahal ia mau sekalian modus men-zoom wajah ganteng itu.
Di tengah pelajaran Zyle agak kesusahan menyorot Devano karena dia berdiri terlalu jauh di samping layar proyektor. Menyadari itu, Devano mendekat ke arah kamera.
Zyle tersenyum senang.
"Pak!" acung seorang mahasiswa bernama Zheng tiba-tiba.
"Ya? Ada apa?"
Zheng tersenyum, agak malu, "bapak tahu challenge yang sekarang sedang viral tidak?" tanyanya lantang.
Devano diam. Mana ia tahu hal-hal kekanakan begitu.
"itu pak, diviralkan oleh Damara di sosmed! Semacam tantangan untuk dosen." kata Zheng lagi.
Mendengar nama adiknya, Devano menurunkan masker. Zyle yang kegirangan.
"bagaimana itu?" tanya Devano.
Zyle diam-diam mengatakan dalam hati, kenapa dia gak tahu hal-hal begituan sih? Masa masih muda, umurnya baru dua puluh empat tahun tapi sibuk banget....
Zheng melanjutkan, "Jadi dosen yang menetapkan tantangan untuk dirinya, kita yang melakukan!"
Devano tersenyum. "oke tak masalah. Kalau kalian menang, kelasnya selesai."
Semuanya berseru puas.
Devano juga tak habis pikir. Dosen mana yang berani diperlakukan begini oleh Damara. Dasar anak itu.
"Hmm...baik, yang bisa membuat saya tertawa, kalian menang." tukas Devano mantap. Toh ia kan memang tidak mudah tertawa.
Tapi tenang saja, ada satu anomali yang sangat pro menghadapi situasi seperti ini.
Yang lain maju satu-persatu ke samping sang dosen dan mulai mengeluarkan lelucon maupun kelakuan absurd mereka tanpa malu sedikitpun, beruntung Zyle merekam aib-aib mereka. Lumayan buat dapat sogokan.
Zheng sendiri mengeluarkan kata-kata keramat yang biasanya membuat orang tertawa. tapi Devano hanya tersenyum tanpa terlihat gigi-giginya.
Disaat kritis ini, mereka takut akan kalah, berdirilah seorang pahlawan. Mengenakan kemeja slim putih, rok lipit pendek abu-abu, sepatu pantofel dan kaus kaki dengan rambut digerai dan dikepang kecil di samping, berponi pula.
siapa lagi kalau bukan Zyle.
Gadis itu tidak mengatakan apapun, berdiri membawa tas selempang nya maju ke depan, lalu dia mengeluarkan sesuatu yang benar-benar mengagetkan.
Devano sampai tertawa dua detik kemudian, berdecih sambil tertawa, terlihat deretan gigi yang putih bersih.
Sebagian mahasiswi perempuan agak jijik, namun yang laki-laki tertawa terbahak-bahak. Seketika kelas heboh.
Bagaimana bisa dia membawa kodok gemuk, dan satu kodok kecil di dalam sana?
Kodok itu diambil Zyle dengan tangannya, diangkat kedua kaki si kodok, lalu diayun-ayunkan. Puas melakukan atraksi, gadis itu tersenyum bangga sambil balik ke tempat duduknya.
ada yang jijik, tapi senang karena akhirnya mereka menang tantangan. Zyle resmi besar kepala sampai besok.
Ia lupa sama sekali kalau aksi itu terekam di video yang akan dikirimkan ke Ren.
***