NovelToon NovelToon
Married By Mistake (Terpaksa Menikahi Sahabat)

Married By Mistake (Terpaksa Menikahi Sahabat)

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintamanis / Konflik etika / Pernikahan Kilat / Persahabatan / Romansa
Popularitas:3.7k
Nilai: 5
Nama Author: Moira Ninochka Margo

"Aku hamil, Fir, tapi Daniel tidak menginginkannya,"

Saat sahabatnya itu mengungkapkan alasannya yang menghindarinya bahkan telah mengisolasikan dirinya selama dua bulan belakangan ini, membuatnya terpukul. Namun respon Firhan bahkan mengejutkan Nesya. Firhan, Mahasiswa S2, tampan, mapan dan berdarah konglomerat, bersedia menikahi Nesya, seorang mahasiswi miskin dan yatim-piatu yang harus berhenti kuliah karena kehamilannya. Nesya hamil di luar nikah setelah sekelompok preman yang memperkosanya secara bergiliran di hadapan pacarnya, Daniel, saat mereka pulang dari kuliah malam.

Di tengah keputus-asaan Nesya karena masalah yang dihadapinya itu, Firhan tetap menikahinya meski gadis itu terpaksa menikah dan tidak mencintai sahabatnya itu, namun keputusan gegabah Firhan malah membawa masalah yang lebih besar. Dari mulai masalah dengan ayahnya, dengan Dian, sahabat Nesya, bahkan dengan Daniel, mantan kekasih Nesya yang menolak keras untuk mempertahankan janin gadis itu.

Apa yang terjadi?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moira Ninochka Margo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

DUAPULUH ENAM Kelakuan Ayah

    BEGITU pintu besar dibuka oleh tangan dua orang pelayan bersarung putih, kilatan cahaya keemasan langsung menyambut—terang, hangat, mewah. Ribuan lampu gantung kristal memantulkan cahaya bak bintang-bintang yang menari di langit-langit ruangan, menciptakan gemerlap yang nyaris tak nyata, menyinari setiap sudut ruangan dengan warna keemasan. Musik mengalun pelan, cukup untuk terasa, tapi tidak mengganggu, seolah mengalir bersama aroma minuman mahal dan bunga segar yang memenuhi udara.

Karpet merah terbentang panjang di bawah kaki mereka berdua—lembut, tebal. Di ujung karpet itu, sebuah gerbang megah yang seluruhnya dirangkai dari bunga mekar berdiri sebagai pintu masuk ke dunia pesta para orang penting, orang-orang konglomerat yang bahkan terkenal dan berpengaruh di negara ini.

Begitu Firhan dan Nesya melewati gerbang di depan, suasana berubah. Beberapa orang langsung menoleh. Suara percakapan melambat. Ada yang mengangguk hormat, ada yang tersenyum penuh makna. Firhan sempat menemukan keberadaan Sekretarisnya yang tak jauh darinya. Sesuai arahannya, khusus malam ini, pria berotot itu tidak boleh berdiri dekat dengannya. Ia cemas Nesya tidak nyaman dengan kehadiran sekretarisnya, setidaknya tidak di pesta ini hingga membuat istrinya merasa di awasi. Pria itu mengangguk yakin pada Tuan mudanya, seolah bertukar informasi kalau sejauh ini aman. Setelah itu, Firhan kembali fokus pada perempuan di sampingnya.

Di balik gerbang bunga ini, keramaian sudah menunggu. Tamu-tamu berpakaian mahal tampak santai. Ada yang mengobrol sambil tertawa kecil, ada yang bisik-bisik, ada yang berdansa, dan lainnya menyesap minuman dengan satu tangan sambil memegang piring kecil berisi makanan atau dessert dengan tangan yang lain.

Halaman belakang telah bertransformasi menjadi taman rahasia bergaya klasik—hangat, anggun, dan memabukkan. Cahaya lampu gantung menjuntai dari dahan-dahan pohon tua, menciptakan bayangan lembut di atas rerumputan yang tertata rapi. Di tengahnya, sebuah meja persegi panjang berdiri megah, diselimuti linen gading dan dihiasi rangkaian bunga mawar putih dan biru muda. Hidangan disusun seperti karya seni—canapés mungil, dessert yang berkilau, dan minuman eksklusif dalam gelas kristal.

Pelayan-pelayan berpakaian serba hitam dengan sarung tangan putih bergerak anggun di antara tamu—membawa baki perak berisi minuman manis, anggur, menyajikan appetizer, dan dengan senyum ramah, memenuhi segala kebutuhan para undangan. Di sudut-sudut tak mencolok, beberapa bodyguard berdiri tegak dengan tatapan tenang namun siaga, memastikan semua tetap aman di tengah pesta megah ini.

Di sisi kanan halaman, area kosong dibiarkan terbuka—tempat orang-orang berdiri santai, mengobrol, atau menikmati makanan sambil berdiri. Beberapa pasangan terlihat berdansa dengan langkah lambat, mengikuti irama jazz lembut yang mengalun dari panggung kecil. Musik dimainkan live, menciptakan atmosfer yang intim, seolah waktu berjalan lebih pelan malam itu.

Sementara itu, di sisi lainnya, area bawah halaman ditata dengan deretan meja bundar berbalut linen putih yang berjajar horizontal, seperti balkon kecil yang menghadap ke seluruh area pesta. Di sanalah para tamu bisa duduk, menikmati hidangan sambil sekadar memandangi dan menikmati suasana pesta dari kejauhan, di hadapan mereka.

Pria itu berjalan tenang, sesekali melempar senyuman kepada para tamu yang tak sengaja bersitatap dengannya. Ia melangkah beriringan bersama sang istri seraya menuntun istrinya di sisi sambil tangan satunya melingkar di pinggang sang istri. Langkahnya stabil, tidak tergesa, tapi penuh kendali. Ia tak bicara apa-apa, begitu pula sang istri. Tapi mereka tak perlu berkata. Malam itu, semua mata tertuju pada mereka. Beberapa di antara mereka tersenyum karena telah mengetahui siapa di samping Firhan, tamu yang merupakan keluarga Firhan karena sudah sore tadi mengetahuinya lebih dulu, ada pula yang bertanya-tanya bahkan berbisik-bisik membicarakan kehadiran wanita di samping lelaki tampan itu. Tak ada kalimat yang diucapkan. Karena malam itu, cara mereka berdiri bersama … sudah menjelaskan segalanya.

Senyum keduanya tersungging lebar saat melihat ibunya Firhan dan Isti tengah berdiri menantikan mereka.

"Wah, kak Nesya sangat cantik malam ini!" seru Isti antusias sembari berhambur di pelukan Nesya.

"Terima kasih. Isti juga cantik." ujar Nesya memberi komentar juga sambil tersenyum menatap adik iparnya.

"Dan ibu ... Terlihat seperti umur tujuhbelas tahun malam ini, ya, kan, Sayang?" sela Firhan menimpali di tengah obrolan mereka yang melirik Nesya dan Isti bergantian di akhir kalimat. Matanya sejenak mengerling pertanda dia sedang menggoda ibunya dalam gurauan.

Gelak tawa terdengar bersamaan.

"Kamu ini!" timpal ibunya menatap putera satu-satunya itu sambil menyentuh wajah Firhan penuh sayang dalam kekehannya. Lelaki itu hanya tertawa lalu merangkul ibunya.

"Hey, jangan manja begitu, Nak! Lihat itu, para tamumu banyak di sini, kamu tidak malu, mereka melihatmu seperti itu?" tegur ibunya dalam candaan.

Lelaki itu semakin tersenyum lebar, diikuti gelak tawa Nesya dan Isti. Bukannya melepaskan rangkulannya pada ibunya, Firhan semakin menarik ibunya dalam dekapannya, kemudian memeluknya bahkan mengecup kepala wanita paruh bayanya itu.

"Tidak ada yang bisa menghentikanku! Biarkan dunia tahu kalau aku sangat manja dengan wanita cantik ini,"

Gelak tawa mereka bertiga semakin terdengar. Firhan hanya tersenyum lebar menanggapi.

Detik kemudian, musik tiba-tiba mulai menurun perlahan. Denting piano yang tersisa menggema pelan saat seorang pria paruh baya melangkah ke tengah panggung kecil. Dia—ayah Firhan—berdiri gagah dalam setelan jas hitam klasik dengan dasi abu perak yang serasi. Ia menggenggam mikrofon, menatap seluruh tamu dengan senyum tenang namun penuh makna.

Cahaya lampu sorot menyapunya lembut. Suasana mendadak hening. Semua mata tertuju padanya.

“Selamat malam." Ucapnya, suaranya dalam dan mantap, yang sejenak memandang orang-orang di sekelilingnya yang sedang menatapnya, menunggu entah apa yang akan dikatakan Tuan besar pemilik acara ini. “Terima kasih telah hadir malam ini. Malam yang … mungkin tidak semua orang tahu maksudnya.” Lanjutnya tenang, masih dalam tatapan ke para tamunya.

Ia berhenti sejenak, lalu matanya menatap ke arah sepasang anak muda yang berdiri di antara istrinya dan anak perempuannya—Firhan dan Nesya, yang kini saling menatap bingung namun tak bisa menyembunyikan senyum.

“Beberapa bulan yang lalu, anak kami Firhan dan menantu tercinta, Nesya, melangsungkan pernikahan secara intim. Sederhana … dan sangat bermakna. Tapi sebagai orang tua, kami ingin memberi mereka sesuatu—bukan hanya hadiah, tapi kenangan.” Lelaki paruh baya itu menarik napas pelan, matanya mulai berkaca. Lalu, “Malam ini … adalah hadiah kami untuk kalian. Sebuah perayaan kecil … kejutan … untuk cinta kalian yang telah menyatukan dua keluarga, dua hati. Semoga pesta kecil ini menjadi awal dari begitu banyak momen indah lainnya dalam hidup kalian," lanjutnya yang meninggalkan senyum lebar dalam tatapan mata berkaca-kaca ke arah puteranya dan menantunya.

"Sekali lagi, terima kasih atas kehadiran kalian semuanya. Silakan menikmati pestanya!" tambah ayah yang menampakkan senyumnya lalu bergegas turun ke panggung.

Tepuk tangan mengalun perlahan, seperti selimut hangat yang membungkus suasana. Beberapa tamu ikut tersenyum haru, ada yang berbisik pelan, tapi semuanya tampak terpaku pada pasangan yang jadi pusat perhatian malam itu. Ibu dan Isti tersenyum hangat menatap Firhan dan Nesya. Lalu mereka pamit untuk menghampiri sang ayah.

Firhan berdiri terpaku. Tatapannya sempat beralih ke arah panggung, lalu kembali ke wajah Nesya—istrinya, yang kini menatapnya dengan mata membulat, berkaca-kaca.

Nesya menutupi mulutnya pelan dengan jemari, berbisik, “Kamu tahu soal ini?”

Firhan menggeleng pelan, senyum kecil muncul di sudut bibirnya. “Sama sekali tidak. Aku pikir ini cuma acara keluarga biasa ... ternyata...” Ia menarik napas, lalu menatapnya lebih dalam. “Ternyata ini semua buat kita. Pantas saja ayah tidak membicarakan apapun mengenai rencana ini yang tiba-tiba mengatakan ingin berpesta di halaman belakang," lanjut Firhan menggeleng kecil masih tak menyangka.

Nesya tertawa pelan, air matanya menetes tanpa bisa ditahan. Ia menggeleng sambil tertawa kecil—antara terkejut, terharu, dan benar-benar tersentuh.

"Ternyata sifat penuh kejutan dan romantismu itu, warisan dari ayahmu!" rutuk Nesya masih terkekeh karena menyadari dan membuat Firhan tergelak.

"Kamu ini! Masih sempat-sempatnya ingat itu!" ujar Firhan menimpali yang membuat keduanya tertawa.

“Aku bahkan belum ganti heels yang lebih nyaman, tahu!" lirih Nesya manja sambil menunduk dalam candaannya, lalu tergelak dan sekilas menyeka airmata di sudut matanya.

Firhan terkekeh menatapnya penuh rasa. Ia menyentuh tangan Nesya pelan, lalu menggenggamnya hangat. “Kamu cantik banget malam ini, Sayang. Dengan atau tanpa heels.”

Nesya mengembuskan napas, lalu meletakkan kepalanya ringan di bahu Firhan. Di sekeliling mereka, lampu-lampu gantung terus berkelip lembut, angin malam menyapu lembut rambutnya yang digelung setengah, dan musik kembali mengalun pelan dari panggung kecil—lagu cinta yang diputar seolah tahu, bahwa malam ini adalah milik mereka.

Beberapa tamu mendekat, memberikan selamat, tapi dunia terasa seperti mengecil untuk mereka berdua. Seakan tak ada lagi yang lebih penting daripada genggaman tangan itu dan perasaan hangat yang melingkupi hati mereka.

“Aku tidak pernah nyangka, mereka bakal buat ini.... " bisik Nesya lagi, suaranya bergetar.

Firhan mencium punggung tangannya perlahan. “Mereka mencintaimu, Sayang. Sama kayak aku. Mungkin malam ini baru awal dari semua kejutan-kejutan lain yang akan kita alami bersama.”

Dan malam pun berjalan dengan cinta yang terasa di udara, menyelinap di antara cahaya, musik, dan langkah kaki para tamu. Tapi bagi Firhan dan Nesya—momen itu, momen kecil penuh makna, adalah pesta paling indah dalam hidup mereka.

...* * *...

Musik mulai berubah perlahan, berganti menjadi melodi lembut dengan denting piano dan gesekan biola yang menyusup ke dalam malam. Seorang penyanyi wanita mulai membawakan lagu cinta yang klasik, suaranya serak manis mengalun sempurna, seperti menyatu dengan angin malam yang membawa aroma mawar dan vanila.

Seolah dunia mengerti apa yang harus terjadi, tamu-tamu perlahan memberi ruang di tengah halaman. Sorot lampu temaram jatuh lembut ke arah Firhan dan Nesya.

Firhan menoleh ke Nesya, tangannya terulur. “Mau berdansa dengan suamimu yang nggak jago ini?”

Nesya tersenyum, matanya masih berair tapi bersinar penuh cinta. “Kalau sama kamu, aku rela kakiku keseleo!"

Firhan tertawa pelan, lalu menariknya pelan ke tengah. Tangan kanannya bertengger di pinggang Nesya, sementara tangan kiri menggenggam erat jemarinya. Keduanya mulai berdansa perlahan, mengikuti ritme musik yang pelan dan syahdu.

Di sekitar mereka, tamu-tamu menyaksikan dengan senyum. Beberapa memotret, beberapa hanya berdiri diam menikmati, dan dari panggung kecil, ayah Firhan tampak tersenyum puas melihat anaknya tenggelam dalam kebahagiaan.

Mata Firhan menatap Nesya dalam-dalam. “Kamu tahu…. ” bisiknya, “Aku masih tidak percaya kamu sekarang istriku,"

Nesya menggigit bibir pelan, lalu bersandar ke dadanya. “Aku juga kadang masih merasa ini mimpi. Tapi kalau ini mimpi, aku nggak mau bangun."

Firhan mencium pelipisnya dengan lembut. Dan saat mereka berputar sekali lagi di bawah lampu gantung yang berkilau seperti bintang, Nesya mengangkat wajahnya dan berbisik sangat pelan, tepat di telinga Firhan. “Terima kasih sudah datang ke hidupku pas aku hampir menyerah dengan hidupku sendiri dan cinta,"

Firhan terdiam. Kata-kata itu masuk ke dalam hatinya seperti sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Ia menarik napas dalam-dalam, menahan rasa yang menumpuk di dadanya.

“Dan terima kasih.... " jawabnya, suaranya nyaris pecah, “... Sudah bikin aku percaya kalau rumah itu bukan tempat. Tapi kamu. Terima kasih telah bersedia menerimaku, bahkan belajar mencintaiku saat itu," lanjutnya dalam tatapan dalam, meskipun binar mata keduanya penuh sorotan terharu.

Mereka terus berdansa. Perlahan, tapi pasti. Seperti dua jiwa yang akhirnya tahu ke mana mereka pulang.

Acara terus berjalan, dengan musik pelan yang kembali diambil alih oleh band akustik. Para tamu kembali mengobrol, tertawa, dan menikmati hidangan. Di sisi lain halaman, beberapa anak-anak kecil berlarian sambil tertawa, membawa balon putih yang disediakan oleh para pelayan.

Cahaya lampu gantung masih berpendar di antara dedaunan, dan udara malam mulai sedikit lebih dingin. Tapi hati mereka tetap hangat.

Firhan dan Nesya berjalan pelan ke arah meja bulat di ujung sudut halaman—tempat duduk seperti tribun kecil yang sebelumnya hampir kosong. Mereka duduk berdampingan, menghadap ke arah tengah pesta, seolah menonton dunia dari kejauhan.

Firhan menyandarkan punggungnya, meletakkan satu tangan di belakang kursi Nesya. “Lucu ya … dulu waktu kecil aku bahkan tidak pernah membayangkan nikah akan seperti ini!"

Nesya menoleh pelan. “Kenapa? Memangnya kamu bayanginnya kayak apa?”

Firhan tertawa kecil. “Tidak tahu. Mungkin cuma pesta formal yang kaku. Duduk di pelaminan, senyum kaku, tangan keram salaman.”

Mereka tertawa bersama.

“Terus sekarang?” tanya Nesya lembut.

Firhan menatapnya lama, lalu menjawab pelan, “Sekarang aku mengerti ... pernikahan itu bukan soal pestanya. Tapi soal siapa yang duduk di sebelah kita setelah semuanya selesai,"

Nesya diam, lalu mengangguk pelan. “Dan aku senang yang duduk di sebelah aku malam ini … kamu,"

Firhan tersenyum, lalu menggeser tubuhnya lebih dekat. Ia meraih tangan Nesya, menggenggamnya dengan kedua tangan. “Sayang?" bisiknya, “aku nggak tahu hidup kita nanti bakal kayak gimana, tapi aku janji satu hal," Nesya menatapnya, menunggu. “Aku bakal ada di sebelah kamu ... entah itu di pesta mewah kayak gini, atau cuma di dapur sempit sambil makan mie tengah malam," lanjutnya masih dalam tatapan dalamnya.

Nesya tertawa pelan, air matanya menetes lagi—tapi kali ini bukan karena sedih, melainkan karena hatinya begitu penuh haru. “Selama itu kamu, aku mau,” bisiknya.

Dan di sudut malam itu, tanpa keramaian, tanpa sorotan, dua orang yang saling menemukan satu sama lain duduk bersebelahan. Tak butuh banyak kata, karena cinta mereka sudah berbicara lewat segala hal kecil—genggaman, tatapan, dan detik yang tak terasa berjalan begitu lambat.

Saat malam mulai benar-benar turun, para tamu satu persatu pamit pulang. Cahaya lampu gantung masih menyala lembut, menyisakan suasana hangat yang tidak ingin pergi. Musik sudah dihentikan, tinggal suara lembut angin dan obrolan kecil pelayan yang sedang merapikan.

Firhan dan Nesya masih duduk berdampingan di sudut itu. Tenang. Nyaman. Tapi tiba-tiba, suara langkah pelan terdengar dari arah belakang mereka.

Ayah dan ibu Firhan muncul, berjalan beriringan sambil membawa sebuah kotak kecil berbalut kain beludru biru tua. Kotak itu diikat dengan pita emas yang berkilau di bawah cahaya lampu.

Firhan berdiri refleks, membantu ibunya yang mengenakan shawl tipis. “Ayah, Ibu, belum istirahat?”

Ibu Firhan tersenyum hangat. “Belum. Kami masih ada satu hal kecil yang ingin kami kasih ke kalian.”

Nesya berdiri, ikut tersenyum bingung. “Hadiah lagi?”

Ayah Firhan tertawa pelan. “Tenang saja, ini bukan hadiah mahal. Tapi ... ini sesuatu yang dulu sangat berharga buat kami,"

Pria paruh baya itu menyerahkan kotak pada Firhan. Perlahan, Firhan membuka pita emasnya. Begitu tutup kotak terangkat, di dalamnya ada sepasang cincin emas putih yang tampak tua, tapi berkilau bersih seperti baru dipoles.

“Kami pakai ini,” ujar ibunya lembut, “di hari pernikahan kami dulu. Dan sekarang ... kami ingin kalian yang menyimpannya,"

Nesya menutup mulutnya, matanya langsung basah lagi. “Bu … Ayah …”

Ayah Firhan menepuk bahu anaknya. “Kami ingin kalian ingat ... pernikahan bukan soal besar-kecilnya pesta. Tapi tentang bagaimana kalian tetap memilih satu sama lain, bahkan saat dunia berubah. Sama seperti kami dulu,"

Firhan menatap cincin-cincin itu lama, lalu meraih tangan Nesya. Ia peluk tangan itu erat-erat. “Terima kasih, Ayah … Ibu… ini lebih dari sekadar hadiah. Ini sejarah,"

Ibu Firhan tersenyum sambil mengelus rambut anaknya. “Dan sekarang, sejarah itu milik kalian.”

Suasana hening sejenak. Tapi hening yang indah. Yang bikin dada hangat.

Lalu tiba-tiba, ayah Firhan bercanda, “Tapi cincin ini jangan dipakai kalau lagi nyuci piring ya, Nesya!"

Semuanya tertawa. Bahkan Nesya sambil menyeka airmatanya. “Siap, Ayah!"

Dan malam pun diakhiri dengan pelukan hangat. Tanpa pesta. Tanpa keramaian. Hanya empat orang dan dua hati yang baru saja diberi restu paling indah yang bisa diberikan orang tua—kepercayaan dan cinta yang diturunkan dari generasi ke generasi.

...* * * *...

1
**plyrc.ai(Junho wifey):v**@❤️
lucu banget sih, cemburuan banget bocah satu itu utututu
**plyrc.ai(Junho wifey):v**@❤️
ayo semangat!!
**plyrc.ai(Junho wifey):v**@❤️
shhh udah biarin ajah!
Moira Ninochka Margo: biarin apa kak? biarin abisin duitnya?haha
total 1 replies
Drezzlle
semangat menulis, nanti aku mampir lagi
Drezzlle
mampir nih
**plyrc.ai(Junho wifey):v**@❤️
lanjutt!! aku tungguin Thor! hihi:)
**plyrc.ai(Junho wifey):v**@❤️
lanjut!!! aku penasaran loh:)
**plyrc.ai(Junho wifey):v**@❤️
ihh lanjut oke?
aku mau tau kelanjutannya!:?
iqbal nasution
lanjut
Moira Ninochka Margo: siaaap
total 1 replies
Drezzlle
hadiah bunga untukmu /Wilt/
Moira Ninochka Margo: aww makasih
total 1 replies
**plyrc.ai(Junho wifey):v**@❤️
ihhh seru!!!
mampir juga yuk ke karya ku:)
iqbal nasution
lanjut
Drezzlle
mampir juga ya ke novelku
Drezzlle
romantis banget
Drezzlle
bagus ceritanya
tasha angin
Gak sabar nunggu kelanjutannya!
Moira Ninochka Margo: halo kak, makasih udah baca, udah di up ya sampai bab 10
total 1 replies
Sky blue
Salah satu cerita terbaik yang pernah aku baca, mantap!
Moira Ninochka Margo: halo, makasih udah mampir dan support. Moga betah, hehe
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!