Semua orang melihat Claire Hayes sebagai wanita yang mengandung anak mendiang Benjamin Silvan. Namun, di balik mata hijaunya yang menyimpan kesedihan, tersembunyi obsesi bertahun-tahun pada sang adik, Aaron. Pernikahan terpaksa ini adalah bagian dari rencana rumitnya. Tapi, rahasia terbesar Claire bukanlah cintanya yang terlarang, melainkan kebenaran tentang ayah dari bayi yang dikandungnya—sebuah bom waktu yang siap menghancurkan segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leel K, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26. Menginginkanmu?
Malam itu, di kamar tidur yang gelap, Claire memunggungi Aaron. Bahunya sedikit bergetar, dan Aaron tahu itu bukan karena dingin. Ia bisa merasakan energi kesedihan yang memancar dari Claire, meskipun tidak ada suara isakan.
Aaron menatap punggung Claire, pandangannya lurus ke depan, namun pikirannya berkecamuk. Ia merasakan adanya perubahan. Claire yang biasanya menempel padanya, yang begitu manja dan tidak segan meminta perhatian, kini terasa menjauh.
Sejak pagi, Claire tampak lebih pendiam. Senyum riangnya menghilang, digantikan oleh ekspresi murung yang samar. Ia tidak lagi duduk begitu dekat dengannya di sofa. Permintaan-permintaan manjanya berkurang drastis, nyaris tidak ada. Aaron menyadari itu. Ia, yang biasanya tidak terlalu memperhatikan detail emosional orang lain, kini merasa ada sesuatu yang tidak beres pada Claire.
Aaron membalikkan tubuhnya, berbaring telentang. Ia menghela napas panjang, menerawang ke langit-langit. Ada apa dengannya? Apa karna hormon kehamilan lagi? Pertanyaan itu berulang di benaknya. Ia sudah melakukan semua yang terbaik, bukan? Ia sudah bersikap lebih lembut, mau membantunya, bahkan membiarkannya tidur di kamar yang sama. Apa lagi yang diinginkan Claire?
Aaron Silvan tidak terbiasa dengan emosi yang tidak terdefinisi. Ia adalah pria logika, efisiensi, dan kontrol. Perasaan tidak nyaman yang ia rasakan belakangan ini, yang muncul setiap kali Claire terlihat sedih atau menjauh, adalah hal baru. Ia tidak tahu bagaimana menanganinya, apalagi memahami pemicunya.
Pikirannya kembali ke momen di kamar mandi. Ia membantu Claire, menyentuh kulitnya, melihat tubuhnya yang berubah karena kehamilan. Aaron tidak bisa menafikan bahwa Claire memiliki pesona. Wajahnya yang polos, mata hijaunya yang besar, bibirnya yang penuh. Dulu, ia sengaja mengabaikan semua itu. Tapi sekarang, sulit untuk mengabaikan. Namun, kenapa ia tidak merasakan dorongan yang sama seperti yang ia lihat pada pria lain ketika melihat seorang wanita menarik? Atau yang digambarkan dalam novel-novel romantis yang kadang secara tak sengaja ia baca di tablet Claire?
Aaron menggenggam tangannya, meremasnya. Ia tidak mengerti. Apakah ia memang tidak punya ketertarikan fisik pada Claire? Atau pada siapa pun? Atau, apakah ia terlalu fokus pada tanggung jawabnya sebagai pelindung dan calon ayah sehingga aspek lain dari hubungan itu terabaikan?
Aaron selalu memandang Claire sebagai amanat, seorang wanita rapuh yang harus ia jaga dan lindungi dari kerasnya dunia, juga dari dirinya sendiri. Benjamin telah gagal dalam tugas itu. Aaron tidak boleh mengulangi kesalahan saudaranya.
Bayangan Benjamin kembali muncul. Benjamin, yang terlalu mudah terbawa nafsu, yang tidak memikirkan konsekuensi. Aaron tidak ingin menjadi seperti itu. Ia ingin menjadi pria yang bisa diandalkan Claire, yang memberinya stabilitas. Mungkin, tanpa sadar, ia telah membangun tembok untuk melindungi Claire dari dirinya sendiri, dari potensi kesalahan yang sama dengan Benjamin. Atau mungkin, ia hanya tidak tahu bagaimana caranya. Ia tidak pernah diajari untuk mengekspresikan hal-hal semacam itu. Hidupnya selalu tentang angka, strategi, dan hasil.
Keheningan di kamar semakin pekat, namun bagi Aaron, itu terasa seperti badai di dalam dirinya. Ia harus melakukan sesuatu. Ia tidak suka melihat Claire seperti ini. Aaron berbalik, menatap Claire. Wanita itu terisak pelan, bahunya bergetar.
"Nona Hayes," panggil Aaron pelan, suaranya serak.
Claire tersentak, terlihat dari bahunya yang sedikit menegang. Namun ia tidak menoleh.
"Aku tahu kau belum tidur," tambah Aaron.
Claire dengan cepat mengusap matanya, berusaha menyembunyikan kesedihannya. "Ya, Aaron?" Suaranya masih parau.
Aaron beringsut mendekat, memposisikan dirinya di samping Claire. Ia tidak menyentuh, hanya mendekat. "Ada apa?" tanyanya, suaranya kini lebih lembut.
Claire menggeleng, air mata kembali menggenang. "Tidak ada."
"Jangan berbohong," kata Aaron, ada nada kelembutan yang baru dalam tegurannya. "Kau tidak pernah bisa berbohong padaku."
Claire terdiam. Perasaannya terlalu campur aduk untuk ia sampaikan. Rasa takut, rasa tidak aman, rasa malu.
Ia menggigit bibirnya cukup kuat, berpikir bagaimana jika ini adalah kesempatan terakhirnya menanyakan hal ini pada Aaron.
Ia membalikkan tubuhnya, menatap Aaron dengan mata sembapnya. "Apa... apa kau tidak menginginkanku?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibirnya, nyaris tak terdengar.
Aaron terdiam. Matanya membelalak sedikit, terkejut. Ia tidak menyangka Claire akan bertanya hal itu secara langsung. Ada rasa bersalah yang menusuk, melihat betapa hancurnya Claire hanya karena ketidakmampuannya sendiri dalam menginterpretasikan dan mengekspresikan perasaannya.
"Menginginkanmu?" Aaron mengulang, suaranya terdengar canggung. Ia merenung sejenak, memproses pertanyaan itu. Baginya, itu adalah pertanyaan yang tidak pernah ia pikirkan secara spesifik, karena ia menganggap Claire sebagai tanggung jawab yang harus dilindungi. Tetapi melihat tatapan Claire, ia tahu itu lebih dari sekadar pertanyaan biasa.
Aaron mengulurkan tangannya, ragu-ragu, lalu menyentuh pipi Claire, mengusap air mata yang masih tersisa dengan ibu jarinya. "Claire," katanya pelan, suaranya lebih lembut dari yang pernah Claire dengar. "Aku... aku tidak mengerti mengapa kau berpikir begitu." Ia menarik napas dalam, memproses kata-kata selanjutnya. "Aku tidak pernah... merasa tidak menginginkanmu."
Claire menatapnya, matanya penuh harap sekaligus kebingungan.
"Aku hanya tidak terbiasa dengan ini," lanjut Aaron, suaranya mengakui sebuah kelemahan yang jarang ia tunjukkan. "Aku tidak pernah dekat dengan siapa pun seperti ini. Aku tidak tahu bagaimana seharusnya aku bersikap." Ia tidak bisa mengakui bahwa ia terlalu fokus pada tanggung jawab, atau bahwa ia takut mengulangi kesalahan Benjamin. Itu terlalu pribadi, terlalu rumit. Ia hanya tahu bahwa ia tidak ingin Claire merasa tidak diinginkan.
Aaron mendekatkan wajahnya, menatap dalam mata Claire. "Aku ada di sini, bukan? Aku bersamamu. Aku tidak akan pergi." Sebuah janji yang tulus, diucapkan dengan keyakinan penuh. "Aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Aku akan menjagamu dan bayi kita. Itu yang terpenting bagiku."
Claire merasakan kehangatan yang mengalir dari sentuhan Aaron, dari kata-katanya. Meskipun Aaron tidak menjawab secara langsung tentang ketertarikan fisik, ia merasakan ketulusan dalam jaminan Aaron. Pria itu ada di sana untuknya, akan menjaganya. Itu sudah cukup, untuk saat ini. Rasa aman itu, meskipun tidak menghilangkan semua kegelisahannya, meredakan badai di dalam dirinya.
Aaron memeluk Claire dengan hati-hati, merengkuh tubuhnya yang bergetar. Ia bisa merasakan detak jantung Claire yang perlahan mulai tenang di dadanya.
"Aaron," bisik Claire, wajahnya tersembunyi di dada Aaron.
"Hm?" Aaron menjawab, mengelus rambutnya.
Claire mengangkat wajahnya sedikit, menatap Aaron dengan mata berkaca-kaca. "Aku... aku ingin ciuman?" Suaranya seperti anak kecil yang memohon.
Aaron terdiam sejenak. Ia melihat mata Claire yang memohon, begitu rapuh. Hatinya melunak. Ia menunduk perlahan, kemudian dengan lembut mengecup dahi Claire. Kecupan itu terasa hangat dan menenangkan, bagai jaminan tanpa kata-kata.
Namun, Claire tidak puas. Itu bukan ciuman yang ia inginkan. Sebuah rasa kesal yang manis, bercampur dengan keberanian yang mendadak, menyergapnya.
Claire bergerak cepat. Sebelum Aaron sempat mengangkat kepalanya, Claire mengangkat wajahnya lagi, meraih kerah piyama Aaron, dan dengan berani mencuri ciuman di bibir Aaron. Kecupan itu singkat, kilat, namun penuh dengan semua kerinduan dan frustrasi yang ia rasakan.
Aaron terkesiap. Matanya melebar, terkejut dengan tindakan Claire yang tak terduga.
Claire, yang pipinya kini memerah padam, langsung menyembunyikan wajahnya di dada Aaron, bersembunyi dari tatapan terkejut pria itu. Ia bisa merasakan jantung Aaron berdetak lebih cepat di bawah pipinya, dan itu membuat senyum kecil terukir di bibirnya.
Apa... itu tadi? Aaron mengerjapkan mata, masih memproses apa yang baru saja dilakukan Claire padanya.
Ia menundukan pandangannya, melihat wajah itu tersembunyi dalam dekapannya, hanya memperlihatkan pucuk kepalanya. Benar-benar tidak tahu malu, Aaron tersenyum, bertanya-tanya apakah Claire bisa mendengar debaran bodoh didadanya saat ini?