Shanaya Sanjaya percaya bahwa cinta adalah tentang kesetiaan dan pengorbanan. Ia rela menjadi istri rahasia, menelan hinaan, dan berdiri di balik layar demi Reno Alhadi, pria yang dicintainya sepenuh hati.
Tapi ketika janji-janji manis tersisa tujuh kartu dan pengkhianatan terus mengiris, Shanaya sadar, mencintai tak harus kehilangan harga diri. Ia memilih pergi.
Namun hidup justru mempertemukannya dengan Sadewa Mahardika, pria dingin dan penuh teka-teki yang kini menjadi atasannya.
Akankah luka lama membatasi langkahnya, atau justru membawanya pada cinta yang tak terduga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
"Ibu nggak ada maksud apa-apa. Kamu bukan anak kecil yang harus dijelasin semuanya. Dari sikapmu selama ini, kamu harusnya bisa nilai sendiri," ucap Astuti tenang, tapi nadanya tajam.
Reno mengepalkan tangan. Ia tahu, sejak kemarin, bahwa dirinya salah. Tapi rasa takut kehilangan Shanaya membuatnya bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Ia pura-pura kuat, padahal hatinya kacau.
"Bagaimanapun juga, kamu udah ngerusak Malika. Mau kamu tolak dia sekarang, tetap aja kamu harus tanggung jawab," kata Astuti mantap.
"Kami melakukan hubungan itu atas dasar saling suka, Bu. Nggak ada yang dipaksa. Dan satu hal lagi, Malika bukan perawan waktu kami tidur bareng. Jadi kalau dibilang dia rusak, jelas bukan karena aku," balas Reno cepat, matanya menatap ibunya lurus-lurus.
Astuti menghela napas berat, menahan kesal. Ia harus segera memastikan Reno menikahi Malika. Itu satu-satunya jalan agar kerja sama bisnis dengan keluarga Qorita bisa berjalan mulus.
"Intinya sekarang dia sama kamu, kan?"
"Enggak, Bu. Aku tetap pilih Shanaya. Ibu lupa? Shanaya dari awal ikut bangun perusahaan ini. Tanpa dia, kita nggak akan sampai sejauh ini."
"Ibu nggak lupa, Ren. Tapi sekarang keadaannya udah berubah. Shanaya nggak bisa jamin perusahaan akan terus kuat. Kita butuh dukungan dari luar."
Reno memandang ibunya tak percaya. "Jadi, aku harus nikah sama Malika demi nyelametin perusahaan?"
"Bukan cuma soal itu," jawab Astuti pelan. "Ibu lihat kamu juga punya rasa sama Malika. Dan sekarang kamu sama Shanaya tinggal tunggu keputusan pengadilan. Kalian bakal berpisah. Jadi nggak ada yang dirugikan. Coba kamu pikirin baik-baik."
Reno diam. Matanya masih menatap ibunya, tapi pikirannya sudah ke mana-mana. Jantungnya berdetak kencang, antara marah, kecewa, dan hancur.
Tanpa sepatah kata pun, Reno melangkah pergi. Pundaknya tegang, napasnya berat. Tapi di balik langkah berat itu, masih ada secercah keyakinan dalam hatinya—bahwa ia belum terlambat untuk kembali.
Bukan lagi soal perusahaan, bukan lagi soal ambisi. Yang ia tahu sekarang, ia hanya ingin satu hal, membawa Shanaya kembali ke sisinya. Kali ini, sepenuh hati.
***
Santi berdiri tak jauh dari sofa, tangan bersedekap, matanya tajam tapi penuh rasa ingin tahu. Di depannya, Sadewa dan Shanaya duduk berdampingan, terlalu dekat untuk ukuran pria anti-sentuhan seperti Sadewa.
Kening Santi berkerut. Ia mengenal anaknya luar dalam. Sadewa tak pernah nyaman duduk dekat dengan perempuan, bahkan keluarganya sendiri kadang harus maklum dengan sikap dinginnya. Tapi kini, bersama Shanaya, dia duduk tenang. Ekspresinya tetap datar, tapi tak ada tanda-tanda ingin menjauh.
Pandangan Santi beralih ke Shanaya—wanita muda yang dikenal sopan, kalem, dan lembut. Ia baru tahu bahwa Sadewa diam-diam menjadikannya asisten pribadi, bukan sekadar staf. Terlalu banyak keanehan dalam waktu singkat.
“Bu, jangan salah paham. Ini gak seperti yang Ibu pikir,” ucap Sadewa. Suaranya tenang, tapi terdengar tergesa. Kalimat itu cukup meruntuhkan tumpukan asumsi di kepala Santi.
Di sisi ruangan, Arya berdiri membawa tablet kerja sambil menahan senyum. Ia sudah lama bekerja dengan Sadewa, dan tahu betul wataknya. Tapi hari ini... jelas bukan Sadewa yang biasa ia kenal.
“Maaf, Pak. Saya cuma memastikan… ini bukan Bapak yang biasanya, kan?” goda Arya pelan sambil menunduk sopan.
Sadewa melirik sekilas. “Besok, gajimu bisa dikaji ulang.”
Arya langsung tegak. “Catatan, jangan komentar di luar laporan kerja,” ujarnya cepat, kembali fokus ke tablet.
Santi mendengus pelan, lalu menunjuk wajah anaknya yang datar.
“Sudah, hentikan ekspresi batu nisan itu! Ibu nggak mikir yang aneh-aneh, kok. Cuma satu hal aja…”
Sadewa menaikkan alis. “Apa?”
“Kalian mau menikah?” tanya Santi santai, seolah membahas menu makan malam.
Shanaya langsung tersedak air liurnya sendiri. Ia buru-buru menutup mulut, batuk kecil, pipinya memerah karena malu.
“Bu Santi! Sumpah, ini semua salah paham! Aku dan Pak Dewa… nggak ada apa-apa. Tadi itu cuma... aku ceroboh,” jelas Shanaya gugup.
Sadewa melirik ke arahnya. “Ceroboh jatuh ke aku,” gumamnya lirih.
“Apa, Pak?” tanya Shanaya, ragu.
“Nggak. Maksudku kamu jatuh. Ke arahku. Secara harfiah,” ujarnya cepat, raut wajahnya tetap datar.
Santi menatap mereka lama, lalu tersenyum kecil. Sejak Sadewa patah hati dengan cinta pertamanya, kali ini lelaki itu seperti ingin membuka hatinya.
“Ibu tahu kok. Tapi kalau suatu saat hubungan kalian berubah, ibu harap kalian jujur. Soalnya kalau cuma dari ekspresi, Dewa memang paling susah dibaca.”
Arya, yang tadi sudah diam, kembali bersuara, hati-hati. “Izin bicara, Bu. Sepanjang saya kerja, belum pernah lihat Pak Sadewa membiarkan siapa pun duduk sedekat ini tanpa bilang ‘minggir.’ Jadi kalau ibu merasa ada sesuatu... mungkin intuisi ibu benar.”
Sadewa menatap Arya lama, lalu menggeser tubuh sedikit menjauh dari Shanaya. Suaranya terdengar tajam. “Arya.”
“Siap, Pak. Saya fokus ke laporan,” jawab Arya cepat, menunduk dalam.
Santi tersenyum puas. Ia melirik Shanaya dan berkata lembut, “Kalau nanti ada yang perlu diceritakan, Shanaya, ibu ada kok. Ibu anggap kamu keluarga, ya?”
Shanaya hanya mengangguk, pipinya masih merah. Sementara Sadewa... tetap diam. Tapi jemarinya pelan-pelan menggenggam sisi sofa, tepat di samping tangan Shanaya. Tak menyentuh, tapi cukup untuk membuat jantung Shanaya berdetak lebih cepat.
“Lupakan. Jadi Ibu ke sini ada urusan apa?” tanya Sadewa akhirnya memecahkan kecanggungan dirinya sendiri.
Santi langsung memegang kepalanya. “Aduh… kepala Ibu kok pusing, ya…”
Sadewa segera bangkit, menghampiri ibunya. “Arya, panggil dokter!”
Arya langsung melakukan perintah Sadewa tanpa banyak bertanya.
“Bu, aku kan sudah bilang… jangan banyak pikiran. Kondisi Ibu gak bisa diajak kompromi,” ucap Sadewa cemas.
“Ibu tahu,” sahut Santi sambil menghela napas. “Makanya Ibu harap kamu bisa segera menikah. Biar Ibu bisa gendong cucu yang gemuk-gemuk.”
Sadewa mendengus. “Dibanding memenuhi keinginan Ibu yang satu itu, aku lebih pilih mencangkokan ginjalku.”
Santi langsung memelototinya, kesal. Selama ini ia memang sengaja memilih jalur cuci darah ketimbang operasi transplantasi, hanya agar bisa terus menekan Sadewa untuk menikah. Tapi anaknya satu itu tetap keras kepala. Dan kalau ia memaksa pun, Sadewa pasti benar-benar akan mencangkokkan ginjalnya.
Santi tiba-tiba mengulurkan tangannya, menunjuk ke arah Shanaya.
“Shanaya, malam ini Ibu benar-benar butuh teman. Temani Ibu, ya.”
Sadewa langsung menyela, nada suaranya terdengar menahan.
“Bu, Shanaya itu…”
“Kenapa? Karena dia asisten pribadimu, jadi Ibu nggak boleh memintanya?” Santi menukas cepat. Matanya menatap tajam. “Ingat, Ibu yang pertama kali mengenalnya. Lagipula, kamu sendiri bilang nggak suka sama dia, kan? Jadi biar Shanaya sama Ibu saja.”
Shanaya menahan napas, matanya bergantian menatap keduanya. Hubungan ibu dan anak ini terlalu rumit untuk dipahami. Tapi yang lebih sulit dicerna adalah… kenapa dirinya terasa seperti sedang diperebutkan?
Namun satu hal yang pasti, ia tak bisa terus terseret dalam dinamika keluarga ini.
Dengan suara lembut tapi tegas, Shanaya berkata,
“Maaf, Bu Santi. Pak Dewa. Sepertinya ini sudah melenceng terlalu jauh. Saya hanya ingin menjalankan pekerjaan saya sebagai sekretaris Bapak. Bukan asisten pribadi… apalagi pengasuh.”
Sunyi menggantung di udara.
Sadewa menunduk sedikit, lalu mengepalkan tangannya erat. Rahangnya mengeras, dan untuk sesaat, tatapannya sulit dibaca—entah marah, kecewa, atau...
knp update nya Arsen buk bgt y🫢🫢🫢
Sadewa JD anak tiri 🤔