Angelo, yang selalu menyangkal kehamilannya, melarikan diri setelah mengetahui bahwa ia mengandung anak Maximilliam, hasil hubungan semalam mereka. Ia mencari tempat persembunyian terpencil, berharap dapat menghilang dan menghindari konsekuensi dari tindakannya. Kehamilan yang tak diinginkan ini menjadi titik balik dalam hidupnya, memaksanya untuk menghadapi kenyataan pahit dan melarikan diri dari masa lalunya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fitri Novianti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
The cupboard is original.
Maximillian mengikuti Angelo hingga wanita itu masuk ke kamarnya. Ruangan itu beraroma samar parfum vanilla dan kopi, dengan cahaya lampu tidur yang redup menerangi dinding-dinding berwarna abu-abu muda. "Kamarmu ada di samping," ucap Angelo, saat melihat Maximillian duduk di tepi kasurnya yang berselimut bulu halus berwarna krem.
"Aku akan tidur denganmu," jawab Maximillian, suaranya berat, hampir berbisik.
Angelo mengerutkan dahi, alisnya membentuk tanda tanya kecil di wajahnya yang cantik. "Kau tahu sendiri, sekarang aku tidak bisa tidur tanpamu di sampingku," jawab Maximillian, nada suaranya lembut namun tegas. Itu memang benar adanya.
Angelo hanya mendelik, kemudian berjalan menuju kamar mandi yang pintunya terbuat dari kaca buram. Dia ingin membersihkan diri, karena merasa tubuhnya lengket dan lelah setelah seharian beraktivitas.
Maximillian berdiri, langkah kakinya pelan. Dia berjalan ke arah foto-foto Angelo kecil yang tergantung di dinding, dibingkai dengan kayu berwarna gelap modern. Senyumnya terbit saat melihat senyum Angelo kecil yang terlihat lebih cerah dan polos, berbeda dengan senyumnya yang dewasa dan sedikit getir sekarang.
Dia mengamati foto-foto Angelo dan juga kedua orang tuanya yang tampak bahagia dalam balutan pakaian modern, hingga tatapannya tertuju pada sebuah lemari kaca yang berada di pojok kamar.
Maximillian berjalan menghampiri lemari itu, sentuhannya yang ringan terasa dingin di permukaan kaca yang masih telihat sangat terawat itu. "Apakah ini lemari itu?" gumamnya, lalu membuka pintu lemari tersebut yang memang tidak pernah terkunci lagi setelah kejadian itu.
Maximillian masuk ke dalam lemari kaca itu. Udara di dalam terasa dingin dan lembap, bau kayu tua dan debu samar tercium di hidungnya. Ia melihat apa yang Angelo jelaskan: dari balik kaca yang kusam, ia bisa melihat seluruh ruangan kamar Angelo dengan jelas, seperti sebuah diorama. Lemari itu memang dirancang khusus, tersembunyi di balik desain yang sederhana.
Lemari itu, dirancang oleh mendiang Ayah Angelo, adalah saksi bisu tragedi yang mengerikan. Dari balik kaca yang tebal, Angelo kecil menyaksikan kematian kedua orang tuanya yang sangat tragis. Detail-detail ruangan di luar lemari—lampu, permadani, bahkan ekspresi terakhir orang tuanya—terukir jelas dalam ingatannya.
Maximillian merasa sesak, bayangan Angelo kecil yang ketakutan dan sendirian di dalam lemari itu menghantuinya. Ia membayangkan kegelapan, keheningan, dan keputusasaan yang dialami gadis kecil itu.
Tak lama, Angelo keluar dari kamar mandi, tubuhnya masih basah, aroma sabun mandi masih tercium samar. Dia tak melihat keberadaan Maximillian. "Dimana dia? Apakah dia sudah pergi?" gumamnya, suaranya terdengar lirih dan sedikit khawatir. Ia mengira Maximillian sudah pergi ke kamar di sebelah.
Wanita itu berjalan menuju walk-in closet yang luas dan mewah, berisi berbagai macam pakaian dan aksesoris, untuk berpakaian. Sementara itu, Maximillian, dengan hati yang berat, keluar dari dalam lemari kaca itu. Bayangan tragedi yang baru saja ia bayangkan masih terasa nyata. Ia menghampiri Angelo yang sedang memilih pakaian di dalam walk-in closet.
Dia memeluk Angel tanpa berkata apa pun, pelukan yang erat dan hangat, membuat Angel terkejut sekaligus bingung. Rambut Angel masih basah, uap air hangat mengepul di udara dingin ruangan. "Ada apa?" tanyanya dengan santai, sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk lembut berwarna putih.
"Aku mencintaimu," jawab Maximillian, suaranya rendah dan penuh emosi, kata-kata itu terasa ambigu, mengungkapkan perasaan yang dalam namun tak terungkapkan sepenuhnya.
Angelo hanya mengerutkan dahi, tatapannya masih tertuju pada cermin, dan tak lagi bertanya. Setelah selesai berpakaian, Butler, dengan seragamnya yang rapi dan sikapnya yang sopan, mengetuk pintu kamar Angelo, untuk meminta nona dan tamunya makan malam.
"Terima kasih, Butler," jawab Angelo, suaranya lembut.
Butler hanya mengangguk hormat, pria itu berjalan di belakang Angelo dan Maximillian, langkahnya tenang dan senyap, mengantar mereka ke ruang makan yang mewah dan elegan.
"Butler, apakah kau tahu Jacob akan menikah?" tanya Angelo, suaranya terdengar sedikit penasaran.
"Tentu, Nona. Tuan Jacob sudah memberitahu saya," jawab Butler, suaranya tenang dan terukur.
Angelo mengangguk, kini mereka sampai di ruang makan yang dipenuhi aroma makanan lezat. Dan seperti saat datang tadi, Maximillian benar-benar bungkam, ia tak mengeluarkan suara sedikit pun, hanya sesekali melirik Angelo dengan tatapan yang penuh makna.
...
Angelo dan Maximillian pergi ke taman belakang, setelah makan malam yang hening. Keduanya duduk di gazebo di tengah taman, ditemani dengan teh hangat yang mengepulkan uap di udara malam yang dingin. Bulan purnama bersinar terang, menyinari taman yang indah dan tenang.
"Angelo, mengapa kau masih menyimpan lemari itu di dalam kamarmu?" tanya Maximillian pada akhirnya, suaranya lembut, mencoba untuk memulai percakapan yang sulit.
Angelo melirik Maximillian, keningnya berkerut, sejenak ia terdiam, kemudian ia mengerti apa yang dimaksud Maximillian. "Ayahku yang membuatnya untukku. Tak mungkin aku membuangnya, atau memindahkannya ke dalam gudang," jawab Angelo, matanya menatap langit malam yang dihiasi bintang-bintang yang berkelap-kelip.
"Tapi, bukankah itu hanya akan membuatmu tersiksa?" tanya Maximillian lagi, suaranya penuh keprihatinan.
Angelo mengangguk kecil, suaranya hampir tak terdengar. "Memang, tapi dengan mengingat itu, aku menyadari jika aku bisa menjadi seperti ini, karena kejadian itu. Kejadian itu membentukku menjadi seperti sekarang."
"Tapi, dengan mengingat itu, bukankah rasa bencimu pada Cyne juga ada?" sahut Maximilliam, suaranya sedikit lebih tegas.
Angelo menggeleng pelan. "Aku memang mengingatnya, dan aku membenci kedua orang tuanya. Tapi, selama ini aku hidup bersamanya, bahkan dia dan keluarganya sudah menganggapku bagian dari keluarga mereka."
Angelo menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk merangkai kata-kata yang tepat. "Seperti padamu, sekarang aku hanya membenci ibumu, tidak denganmu, Janet, dan Paman Theodore." Ia melanjutkan, suaranya terdengar mantap dan penuh keyakinan.
Maximillian menatap Angelo dengan tatapan penuh arti, tatapan yang dalam dan penuh kasih sayang, mencoba untuk memahami perasaan wanita yang dicintainya itu. "Aku hanya ingin berdamai sekarang, aku lelah jika harus terus berlari dari bayang-bayang masa lalu. Lagipula, mereka sudah mati. Tak ada lagi mereka di hidupku. Kau, aku, dan Cyne… pernah sama-sama hancur karena mereka. Jadi… untuk apa aku terus mendendam?" lanjut Angelo, suaranya terdengar mantap dan penuh penyesalan. Bulan purnama menerangi wajahnya yang cantik, menampakkan kelembutan dan kekuatan dalam dirinya.
Maximillian menggenggam kedua tangan Angelo, sentuhannya lembut namun tegas, menunjukkan kekuatan dan komitmennya. "Hiduplah denganku. Aku akan menebus semua yang telah dilakukan oleh mereka padamu. Aku akan kembali membahagiakanmu, mengembalikan senyummu, dan semua hal yang pernah hilang darimu," ucapnya, matanya menatap tepat pada mata Angelo yang sedikit berkaca-kaca, menunjukkan kesungguhan dan ketulusan hatinya. Suasana malam yang dingin terasa hangat karena sentuhan kasih sayang di antara mereka.
Angelo hanya tersenyum, senyum yang masih menyimpan sedikit keraguan dan kesedihan, namun juga menunjukkan secercah harapan. Ia belum memberikan jawaban pasti akan ajakan Maximillian untuk hidup bersama, untuk membangun keluarga bahagia yang dulu pernah ia rasakan sebelum kehancuran yang mengerikan membuat hatinya gelap mata. Masa lalu masih menghantuinya, namun cahaya harapan mulai menyinari jalan hidupnya yang kelam.
pdhl aku ikutn smngt jmbak tu pelakor,kn pgn ikutn jg sm angelo.....
ayo dong double up.....🤗🤗🤗
Akhrnya...ngekor aja kmna induknya prgi.....
tp yg pst saat ini mreka sdh bhgia....
lgian,brsa bgt jd krban pdhl dia yg jd trsngka....yg slingkuh kn dia,tp janet yg d tduh....dsr gila....
Angelo mau jg nkah sm max.....aws aja kl max ky sng mntan yg bjingn....
Laahhh.....janet mlh ktmu mntan...bkln gelut ga y????🤔🤔🤔
tmbh lg trauma msa lalu,pst bkin dia mkin down....mga aja max bsa bkin dia lbh smngt.....
lgian,udh ada ank sndri knp mlah adopsi????sukur2 kl ga iri pas udh dwsa,kl iri kn mlah bhya....