Dasha Graves, seorang ibu tunggal yang tinggal di Italia, berjuang membesarkan dua anak kembarnya, Leo dan Lea. Setelah hidup sederhana bekerja di kafe sahabatnya, Levi, Dasha memutuskan kembali ke Roma untuk mencari pekerjaan demi masa depan anak-anaknya. Tanpa disangka, ia diterima di perusahaan besar dan atasannya adalah Issa Sheffield, ayah biologis dari anak-anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melon Milk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25
Dasha berusaha menenangkan diri. Ia tidak ingin anak-anak melihat matanya yang sembab, itu hanya akan menimbulkan kesan buruk tentang ayah mereka. Lagi pula, lelaki itu satu-satunya yang bersamanya saat ini.
Ia menarik napas dalam-dalam, lalu berbalik menatap Issa yang berdiri di belakangnya.
“Aku tahu ini mungkin terdengar berani, tapi… bisakah kau berpura-pura di depan anak-anak bahwa kita baik-baik saja? Hanya demi mereka,” ucapnya pelan, tersenyum getir sebelum melangkah menuju rumah.
Begitu mereka masuk, tampak Leo dan Lea sedang bermain catur di sofa. Poppy duduk di samping mereka dengan senyum lembut.
“Grandma?” tanya Issa dengan nada terkejut, baru menyadari kehadirannya.
Kedua anak itu berhenti bermain dan menoleh ke arah pintu, tempat Dasha dan Issa berdiri.
“Grandma?” bisik Lea, matanya tertuju pada sosok pria itu.
Leo ikut menatap, diam-diam menelusuri wajah Issa seolah berusaha mengenalinya.
“Aku ke dapur dulu. Malisa sedang menyiapkan makan. Kalian butuh waktu berempat,” ujar Poppy lembut sebelum meninggalkan ruangan.
Kini hanya mereka berempat di ruang tamu. Dasha berbisik agar Issa mendekat ke anak-anak.
Issa tampak gugup. Tanpa sadar, ia sempat menggenggam lengan Dasha. Meski masih ada kemarahan di antara mereka, rasa canggung jauh lebih kuat.
“Ehm… Lea, Leo,” panggil Dasha pelan. “Kalian tahu siapa dia, kan?” tanyanya ragu.
“Dia… pria di foto itu. Benar, Mima?” tanya Leo sambil terus menatap Issa.
Dasha mengangguk. Issa menatap balik, masih diliputi kebingungan dan emosi yang campur aduk.
“Apa dia sungguh nyata?!” seru Lea tiba-tiba. Air matanya mulai menggenang.
Issa panik, tak tahu harus berkata apa. Ia hanya sempat berucap, “Aku nyata.”
Dalam keadaan lain, mungkin Dasha akan tertawa mendengarnya. Tapi kali ini tidak.
“Papa!” Lea berteriak dan langsung berlari ke arah Issa, melompat ke pelukannya sambil menangis keras.
Issa hampir kehilangan keseimbangan, tapi berhasil menahan tubuh kecil itu. Ia sempat ragu, lalu menuruti kata hatinya, membalas pelukan itu dengan erat.
Dasha menatap dengan mata berkaca-kaca, menyaksikan setetes air mata jatuh dari mata kanan Issa.
Leo masih berdiri memandangi mereka. Dasha mendekatinya pelan.
“Leo, kamu tidak ingin mendekat ke papa mu?” bisiknya.
Anak itu tampak ragu. Tapi setelah Dasha mengangguk meyakinkan, ia perlahan melangkah maju.
Melihat itu, Issa berlutut sambil tetap menggendong Lea yang enggan melepaskannya.
“Papa, kenapa lama sekali?” tanya Leo polos. “Apa Papa benar-benar sayang sama kami? Sayang sama Mima juga? Kalau iya, kenapa tidak mencari kami? Apa kami tidak cukup berarti? Kenapa, Papa?”
Air matanya pun jatuh.
Dasha tertegun. Kata-kata itu menampar hatinya. Ia sadar betapa egois dirinya selama ini, terlalu sibuk dengan rasa sakit sendiri, tanpa memikirkan luka anak-anak dan Issa.
“Maaf… semua salahku,” suaranya pecah.
“Papa kalian tidak salah. Aku yang egois. Jangan salahkan dia.”
Lututnya lemas, membuatnya duduk di sofa sambil terus menangis.
“Aku minta maaf karena terlalu lama,” ucap Issa pelan, matanya basah. “Aku mencintai kalian berdua. Andaikan aku bisa bertemu lebih cepat… Tuhan tahu, aku rela melakukan apa saja agar kalian tahu betapa aku menyayangi kalian. Jangan pernah merasa tidak berharga. Karena sekarang dan selamanya, kalianlah yang paling berarti bagiku.”
“Maaf, Papa,” ucap Leo lirih. “Kami cuma sedih karena Papa tidak bersama kami. Maaf kalau aku banyak bertanya. Jangan marah ya?”
Issa menggeleng lembut. “Tentu tidak. Papa tidak akan marah. Boleh Papa minta pelukan juga?”
Tanpa menunggu lagi, Leo langsung memeluk ayahnya erat sambil menangis di bahunya.