bagaimana jadinya jika seorang gadis desa yang sering dirundung oleh teman sekolahnya memilih untuk mengakhiri hidup? Namun, siapa sangka dari kejadian itu hidupnya berubah drastis hingga bisa membalaskan sakit hatinya kepada semua orang yang dulu melukainya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mas Bri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Masih dalam mode mengumpulkan nyawa, terdengar teriakan dari luar bersamaan dengan bell rumah berbunyi.
“Siapa sih, pagi-pagi bikin onar,” gumam William. Dia meletakkan gadisnya perlahan di atas bantal sofa agar tidak sampai terbangun. Lalu pergi membuka pintu rumah.
“Kok lama sih, Kak? Kakak baru bangun? Ini sudah siang, nggak ke kantor?” Juan memberondongnya dengan banyak pertanyaan.
“Kenapa kamu kesini?” William balik bertanya dengan muka bantalnya.
“Sama Papa suruh berangkat bareng ke kantor. Kak Vano sudah duluan sama Papa.”
Belum juga dipersilahkan, anak kedua dari pasangan Tuan Issac dan Nyonya Maya itu main nyelonong saja. Tanpa permisi dia menyerobot masuk dan menuju ruang tengah. Matanya menangkap siluet wanita yang sedang tidur pulas di atas sofa. Karena penasaran, kakinya melangkah semakin dekat.
“Ayu,” cicitnya pelan.
“Yang sopan kalau ke rumah orang,” sindir William di belakangnya.
“Kenapa dia tidur disini?” tanya sang adik.
Laki-laki tua itu hanya mengangkat kedua bahunya acuh.
Juan duduk di samping Ayu tidur. Dia mengamati setiap inci wajah cantik itu. Hatinya teduh menyaksikan keindahan yang selama ini dia sia-siakan. Ada rasa penyesalan yang begitu dalam. Seandainya dulu dia mau mempertimbangakan perasaannya, mungkin saat ini dia sudah menjadi kekasihnya.
“Jaga matamu!” sarkas laki-laki tua sambil membawa segelas air putih dan duduk diantara keduanya.
“Apa sih, Kak. Siapa juga yang melihat gadis jelek seperti dia,” balas Juan gelagapan. Dia lalu menjauh dari sang kakak.
Apapun akan William lakukan untuk menghalangi setiap laki-laki yang mendekatinya.
“Sudah siang, cepetan mandi.”
“Hari ini tidak ke kantor. Ada janji dengan seseorang.”
“Kenapa nggak bilang dari tadi, Kak. Aku jauh-jauh kesini buat jemput Kakak.”
William beranjak dari duduknya. “Siapa suruh.”
Juan begitu muak melihat kakaknya yang kelewat cuek. Meski begitu dia menyimpan sejuta pesona di mata wanita. Juan memang takut dengan sang kakak yang begitu misterius apalagi saat marah. Dia terlihat begitu menakutkan, makanya selama di bawah pengawasan sang kakak dirinya tidak berani berbuat hal aneh-aneh.
“Kalau begitu aku juga tidak ke sana,” balas Juan tak mau kalah.
“Enak saja! Kerja yang bener. Baru juga lulus kuliah. Apa kamu tidak malu dengan Mama dan Papa yang menjadi sponsor utama selama ini, hem? Kamu terlalu di manjakan,” ujar William geram.
Di saat kakak beradik itu sedang serius berdebat, ada seorang gadis cantik yang terbangun dari tidurnya. Matanya masih terpejam namun tubuhnya sudah bergerak kesana-kemari, menggeliat hingga menampakkan perut ratanya yang putih bersih.
Jangan ditanya lagi bagaimana ekspresi keduanya melihat hal bening di depan matanya. Menyadari sang adik ikut menikmati, William langsung menutup mata adiknya dengan bantal yang ada di sampingnya.
“Anak kecil dilarang menonton hal dewasa,” ujar William dengan mata yang tetap tertuju pada perut rata.
Ayu baru menyadari kalau ada seseorang yang memperhatikannya langsung pergi sambil meminta maaf. Dia tidak menyangka saat membuka matanya banyak orang yang memperhatikannya. “Memalukan sekali,” lirihnya lalu memasuki kamarnya.
.
.
.
Karena kejadian pagi tadi, Juan akhirnya tidak jadi pergi ke kantor. Dia memilih tinggal di rumah sang kakak sambil mencuri-curi pandang pelayan cantiknya.
Kali ini Juan berinisiatif untuk mendekati mantan teman kelasnya. Kebetulan sang kakak sedang ada rapat online jadi dia bisa leluasa mendekatinya.
“Ay,” panggil laki-laki tampan seumurannya.
Saat ini Ayu sedang sibuk memasak untuk dua majikannya yang sudah kelaparan. Padahal Juan sudah makan sebelum menuju rumah kakaknya.
Gadis itu hanya meliriknya sekilas. Tangannya masih fokus dengan masakan di atas kompor.
“Kemarin aku buru-buru pulang untuk ketemu sama kamu. Tapi kata Mama kamu pulang duluan sama Kak Willi.”
Tidak ada jawaban sama sekali dari lawan bicaranya.
Laki-laki itu semakin mendekat ke arahnya. Berdiri sejajar menghadap seseorang yang sedang fokus memasak.
Tanpa diduga, Juan menarik satu tangan gadis itu dengan tatapan memohon. Namun, sebelum dirinya bicara, suara ponsel dari saku Ayu terdengar begitu nyaring.
Gadis itu langsung melepas genggaman Juan dan melihat siapa yang menelponnya.
Keningnya berkerut melihat layar ponsel yang tidak ada namanya, hanya nomor yang tidak dikenal.
“Hallo,” ucapnya dengan orang di seberang.
Setelah mendengar balasan orang di seberang, ponselnya langsung terjatuh. Tubuhnya bergetar hebat, air mata jatuh seketika.
Juan pun bingung dengan perubahan sikap Ayu. Dia matikan kompor dan mendekap gadis itu yang akan jatuh tersungkur ke lantai.