NovelToon NovelToon
THE SMILING KILLER : Faces Of Mercy

THE SMILING KILLER : Faces Of Mercy

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Action
Popularitas:518
Nilai: 5
Nama Author: Firmanshxx969

Di tengah gemerlap kota, kegelapan purba bangkit.

​Satu per satu, para elite yang telah "bertobat" ditemukan tewas dalam ritual penyiksaan yang mengerikan. Mantan preman, pengusaha licik, semua yang kini dermawan, tubuhnya dipajang sebagai altar dosa masa lalu mereka.

​Sang pembunuh tidak meninggalkan sidik jari. Hanya sebuah teka-teki teologis: ayat-ayat Alkitab tentang murka dan penghakiman yang ditulis dengan darah.

​Media menjulukinya: "Sang Hakim".

​Ajun Komisaris Polisi (AKP) Daniel Tirtayasa, detektif veteran yang hidupnya ditopang oleh iman, ditugaskan memburu bayangan ini.

​Namun, perburuan kali ini berbeda. Sang Hakim tidak hanya membunuh; ia berkhotbah dengan pisau bedah, memutarbalikkan setiap ayat suci yang Daniel pegang teguh. Setiap TKP adalah kapel penghujatan yang menantang eksistensi pengampunan.

​Kini, perburuan ini menjadi personal.

​Mampukah Daniel menangkap Sang Hakim sebelum imannya sendiri hancur berkeping-keping?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firmanshxx969, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 25

Dua belas hari tersisa.

Jam itu terus berdetak di dalam kepala AKP Daniel Tirtayasa. Tapi pagi ini, bukan ancaman Jenderal Hartono yang membuatnya sesak napas. Bukan pula gambar jendela kamar Nadia yang terus berulang.

Itu adalah buku bersampul biru tua yang tergeletak di meja ruang kerjanya. The Scales of Nemesis.

Daniel tidak tidur. Dia telah membaca buku itu. Dia melahap Bab 3, "Keadilan sebagai Koreksi". Dia menelan Bab 7, "Hipokrisi Pengampunan".

Dan dia membencinya. Dia benci betapa logisnya argumen itu terasa. Dia benci betapa rapi, dingin, dan persuasifnya kata-kata itu. Dia mual secara fisik. Kata-kata itu, yang ditulis oleh seorang filsuf Jerman yang telah lama mati, terasa identik dengan suara Sang Hakim di kepalanya.

Suara Samuel.

Pikirannya adalah medan perang. Tidak, itu bukan pertempuran. Itu adalah demam. Di satu sisi, ada imannya seumur hidup: "Kasih karunia, pengampunan, serahkan penghakiman pada Tuhan." Suara itu kini terasa lemah, jauh, seperti gema yang tipis. Di sisi lain, ada argumen baru yang beracun dan berdenyut-denyut ini: "Di mana keadilan bagi korban? Di mana keseimbangan? Pengampunan tanpa koreksi adalah penghinaan."

Suara digital itu...

"...Gem-ba-la?"

Doa paginya yang putus asa...

"Jangan-jangan Engkau diam karena Engkau setuju dengannya?"

Beban itu kini terlalu berat untuk ditanggung sendirian. Tembok di dalam rumahnya (dengan Sarah) sudah terlalu tinggi, dibangun dari kebisuan dan ketakutan. Tembok di kantornya (kecurigaan pada Samuel) membuatnya terisolasi.

Dia hancur. Dan dia lari ke satu-satunya tempat perlindungan yang tersisa.

Pastoran Gereja Katedral terasa seperti dunia lain, sebuah anomali di tengah kota. Di luar, Jakarta berteriak dengan klakson dan panas yang menekan. Tapi di dalam ruang kerja Romo Benyamin, udaranya sejuk, dan satu-satunya suara adalah detak pelan jam kakek di sudut.

Kedamaian itu terasa seperti sebuah tuduhan.

Bau buku-buku tua, kayu jati yang dipoles, dan teh melati yang samar menggantung di udara. Biasanya, aroma ini menenangkan Daniel. Hari ini, dia merasa seperti monster yang baru saja masuk ke kamar bayi. Dia merasa kotor, seolah bau kopi basi dan keringat dinginnya yang penuh paranoia mengkontaminasi ruangan yang suci ini.

Romo Benyamin, pria berusia enam puluhan dengan mata yang teduh dan senyum yang tulus, telah menjadi pembimbing spiritual Daniel sejak lama. Dialah yang mendengar pengakuan Daniel saat ia pertama kali menjadi detektif, saat ia bergulat dengan kegelapan yang ia lihat setiap hari.

"Daniel," sapa Romo Benyamin, suaranya hangat. "Kau tampak... bukan hanya lelah, Nak. Kau tampak terluka."

Daniel duduk di kursi berlengan yang empuk di seberang meja Romo. Dia tidak datang sebagai Ajun Komisaris Polisi. Dia datang sebagai seorang pria yang jiwanya sedang terkoyak.

"Saya... saya tidak tahu harus mulai dari mana, Romo," suara Daniel serak. Dia menatap tangannya sendiri, tangan yang terasa kotor dan asing.

"Mulailah dari tempat yang paling sakit," kata Romo Benyamin lembut.

Daniel menarik napas yang bergetar. Dia tidak bisa menceritakan tentang Satgasus. Dia tidak bisa menyebut nama Samuel. Dia tidak bisa menceritakan tentang video Nadia. Tapi dia bisa menceritakan inti dari racun yang menggerogotinya.

"Romo," kata Daniel pelan. "Kita selalu berbicara tentang pengampunan. Tentang kasih karunia. Bahwa Tuhan mengampuni pendosa terbesar sekalipun."

"Itu adalah inti dari iman kita, Nak," kata Romo, mengangguk, matanya penuh perhatian.

"Lukas Santoso," kata Daniel, akhirnya menyebut nama itu. "Dia seorang preman. Dia menghancurkan hidup. Dia membuat orang cacat. Lalu dia bertobat. Dia membangun yayasan. Dia diampuni. Oleh masyarakat, oleh gereja... oleh Tuhan."

"Sebuah kisah penebusan yang indah," kata Romo.

"Indah?" Suara Daniel sedikit bergetar, ada nada pahit yang baru di sana. Nada yang tidak pernah Romo dengar sebelumnya. "Bagaimana dengan pedagang yang dia buat cacat? Bagaimana dengan putra pedagang itu, yang harus putus sekolah dan menjual asongan? Di mana penebusan mereka?"

Romo Benyamin terdiam, mengenali badai di dalam diri Daniel.

"Riana Wulandari," lanjut Daniel, matanya kini menatap tajam pada Romo. "Dia menipu ratusan orang miskin. Uang pensiun mereka. Lalu dia kabur, ganti nama, jadi dermawan sukses. Dia diampuni. Dia dipuji. Bagaimana dengan Bu Tarsih, si penjual jamu, yang meninggal dalam kemiskinan?"

Daniel mencondongkan tubuhnya ke depan. Ini dia. Pertanyaan beracun itu. Pertanyaan yang ditanamkan oleh Sang Hakim, yang disiram oleh buku filsafat Samuel.

"Romo... jika 'penebusan' dan 'kasih karunia' berarti menghapus semua konsekuensi duniawi... jika seorang pendosa bisa 'dibersihkan' hanya dengan kata-kata dan donasi... di mana letak keadilan bagi para korban?"

Pertanyaan itu menggantung di ruangan yang sunyi itu. Ini bukan lagi pertanyaan Daniel, si polisi. Ini adalah argumen Sang Hakim, yang diucapkan dengan mulut si Gembala.

Romo Benyamin menatap Daniel lama. Matanya tidak menghakimi. Matanya dipenuhi kesedihan yang mendalam.

"Daniel," katanya pelan. "Kau sedang memikul beban yang sangat berat. Kau melihat terlalu banyak kegelapan."

"Saya butuh jawaban, Romo. Bukan penghiburan."

"Baiklah," kata Romo. Dia bersandar. "Jawabannya adalah bahwa kau dan aku... kita tidak bisa memahami pikiran Tuhan. Keadilan kita adalah keadilan manusia: mata ganti mata. Itu terbatas. Itu didorong oleh amarah."

Dia melanjutkan, "Keadlilan Tuhan adalah kasih karunia. Itu tidak logis bagi kita. Itu tidak adil bagi kita. Iman kita mengajarkan bahwa tidak ada yang layak diampuni. Namun, kita semua diampuni. Lukas, Riana... kau, aku."

"Lalu bagaimana dengan para korban?" desak Daniel.

"Kita," kata Romo. "Tugas kitalah untuk merawat para korban. Tugas kitalah untuk menegakkan hukum duniawi. Tapi penghakiman jiwa... itu bukan milik kita. Itu milik Tuhan. Saat kita mencoba mengambil alih peran itu saat kita memutuskan siapa yang layak dan tidak layak diampuni saat itulah kita berhenti menjadi Gembala, dan mulai menjadi iblis."

Itu adalah jawaban yang sempurna.

Jawaban teologis yang benar.

Jawaban yang penuh kasih.

Dan Daniel Tirtayasa duduk di sana, dan dia merasakan mual yang hebat naik ke tenggorokannya.

Kata-kata Romo Benyamin ("kasih karunia", "bukan milik kita") terasa hampa. Lemah. Seperti perisai kertas yang mencoba menghentikan peluru baja.

Karena saat Romo berbicara tentang "kasih karunia" Tuhan untuk Riana Wulandari, pikiran Daniel dipenuhi oleh wajah Bu Tarsih yang kurus dan putus asa. Saat Romo berbicara tentang "pengampunan" untuk Lukas Santoso, Daniel melihat putra pedagang yang menjual asongan di lampu merah.

Bagi mereka, "kasih karunia" terasa seperti sebuah penghinaan.

Argumen tandingan dari buku Samuel... keadilan retributif... keseimbangan kosmis... bahwa memaafkan kebohongan adalah penghinaan terhadap kebenaran...

Argumen Sang Hakim... terasa kuat.

Terasa adil bagi Bu Tarsih.

Terasa logis.

Dia datang ke sini mencari penawar racun. Tapi dia baru saja sadar bahwa racun itu terasa lebih masuk akal daripada obatnya.

Dia berdiri, kakinya terasa berat. "Terima kasih atas waktu Anda, Romo."

Romo Benyamin juga berdiri, wajahnya penuh kekhawatiran yang tulus. "Daniel, jangan biarkan kebencian pada serigala mengubahmu menjadi serigala juga. Bicaralah padaku."

"Saya harus pergi," kata Daniel kaku. "Saya... saya punya kasus."

Dia berjalan keluar dari ruangan yang hangat dan damai itu, kembali ke panas Jakarta yang brutal. Saat dia masuk ke dalam Fortuner-nya, dia tidak merasa tercerahkan. Dia merasa lebih tersesat.

Dia menyalakan mobil. Ultimatum 12 hari dari Jenderal Hartono terasa tidak penting. Perang psikologis dengan Sang Hakim kini telah mencapai puncaknya.

Sang Hakim tidak hanya mengancam keluarganya. Dia tidak hanya membunuh para korban.

Dia telah berhasil.

Dia telah mengubah Daniel Tirtayasa dari seorang pemburu menjadi seorang murid yang ragu.

Dan di dalam mobil yang sunyi itu, Daniel menatap tangannya di setir. Untuk sepersekian detik, dia tidak melihat tangan seorang Gembala. Dia melihat tangan seorang Hakim.

Kengeriannya bukanlah bahwa dia setuju dengan pembunuhan itu.

Kengeriannya adalah, untuk pertama kalinya, dia mengerti... dan setuju... dengan alasannya.

1
Haruhi Fujioka
Wow, endingnya bikin terharu.
Si Hibernasi: mampir kak, judulnya Iblis penyerap darah, mungkin saja suka🙏
total 1 replies
Gohan
Ceritanya bikin merinding. 👻
naotaku12
Dapet pelajaran berharga. 🧐📝
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!