Di balik kacamata tebal, kemeja kusut, dan sepatu bolongnya, Raka Arya Pratama terlihat seperti mahasiswa paling cupu di kampus. Ia dijauhi, dibully, bahkan jadi bahan lelucon setiap hari di Universitas Nasional Jakarta. Tidak ada yang mau berteman dengannya. Tidak ada yang peduli pada dirinya.
Tapi tak ada yang tahu, Raka bukanlah mahasiswa biasa.
Di balik penampilan lusuh itu tersembunyi wajah tampan, otak jenius, dan identitas rahasia: anggota Unit Operasi Khusus Cyber Nusantara,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dekan
Di dalam UKS, suasana terasa sunyi—hanya terdengar dengusan napas Raka yang tergeletak di ranjang pasien. Sisa muntahnya sudah dibersihkan seadanya, tapi aroma samar masih menyengat. Sementara itu, Cheviolla berdiri di dekat jendela, membelakangi Raka. Tangannya bersedekap, tubuh tegak, dan sikapnya masih sedingin gunung es.
Tanpa menoleh, suara dinginnya terdengar menusuk.
“Kamu baru keluar dari rumah sakit tadi pagi, Raka.”
Raka hanya bisa menunduk, mulutnya diam, seperti anak sekolah yang tertangkap basah bolos.
Masih dengan nada datar, Cheviolla melanjutkan.
“Dan sekarang kamu menabrak Riko di depan semua orang. Kamu muntah ke bajunya, lalu kamu masih juga membiarkan dirimu dipukuli. Tidak melawan sedikit pun.”
Ia menoleh perlahan. Tatapannya tajam, namun bukan karena marah semata—ada kekecewaan samar yang menyusup di balik sorot matanya.
“Ini kejutan yang kamu maksud?”
Raka membuka mulut, ingin menjelaskan, tapi tak ada kata-kata yang keluar. Bahkan napasnya terasa macet di tenggorokan.
Cheviolla melangkah mendekat, tenang dan pelan, lalu berdiri di samping ranjang.
“Aku tidak tahu apa yang kamu rencanakan, dan aku tidak ingin tahu. Tapi kau benar-benar tidak punya rasa takut, ya?”
Raka memberanikan diri mengangkat wajahnya, menatap mata gadis itu. Di balik sikap dinginnya, ia tahu—Cheviolla peduli. Tapi gaya Cheviolla memang bukan yang penuh pelukan dan tangis. Dia bukan tipe yang bertanya ‘kau baik-baik saja?’. Dia tipe yang akan menarik telingamu sambil berkata ‘kau gila’.
“Aku baik-baik aja, Vi. Sungguh.”
“Tidak terlihat seperti orang baik-baik saja,” jawabnya datar. “Kecuali memang kamu punya hobi bikin masalah tiap keluar rumah.”
Cheviolla menarik kursi, duduk di sampingnya. Ia mengambil tisu basah dan mulai mengelap bekas goresan kecil di dahi Raka.
“Lain kali, kalau mau cari perhatian, cukup bilang. Tidak usah sampai buat satu universitas gaduh.”
Raka terkekeh pelan. “Jadi… kamu perhatikan aku juga?”
menurutmu ?
.
.Tiba-tiba, suara berat dari speaker kampus menggema ke seluruh penjuru.
> “Kepada mahasiswa bernama Raka Arya Pratama, harap segera menuju ruang dekan fakultas.”
Raka dan Cheviolla spontan saling melirik. Raka mengerutkan alisnya, sementara Cheviolla tetap tak menunjukkan banyak ekspresi, namun matanya berubah sedikit lebih tajam.
Raka menghela napas dan duduk tegak di ranjang. “Kayaknya tiket pertunjukan belum selesai, ya…”
Cheviolla bangkit dari duduknya. “Mau kutemani?”
Raka menggeleng. “Enggak usah. Kalau aku digantung, tolong kabari ibuku.”
“Kalau kamu digantung, yang pertama kutanya itu kamu digantung karena bodoh atau nekat.”
Raka tertawa pendek, lalu bangkit. Ia merapikan jaket lusuhnya dan berjalan pelan ke luar UKS, menyusuri lorong kampus menuju lantai atas tempat ruang dekan berada.
---
Begitu sampai di depan ruang dekan, Raka mengetuk pelan. Suara dari dalam menyuruhnya masuk.
Pintu terbuka, dan di dalam ruangan itu sudah duduk dua sosok yang tidak asing — Riko dan salah satu temannya, keduanya masih mengenakan pakaian yang basah dan lusuh akibat insiden tadi. Wajah Riko terlihat masam, matanya penuh amarah yang tertahan. Sementara sang dekan, pria berkacamata dengan wajah tenang dan elegan, sedang membaca berkas di tangannya.
Dekan meletakkan berkasnya, menatap Raka dari atas kacamatanya.
“Silakan duduk, Raka.”
Raka menurut. Ia duduk di kursi yang tersedia, berseberangan dengan Riko dan temannya.
“Sudah saya dengar kejadian di halaman tadi,” ujar sang dekan, suaranya tenang namun mengandung tekanan. “Kebetulan ada cukup banyak saksi mata, juga… rekaman dari kamera CCTV fakultas.”
Riko langsung angkat suara. “Pak Dekan, dia sengaja menabrak kami! Lihat saja video-nya, jelas-jelas dia mempercepat langkah waktu kami lewat!”
Raka tidak menjawab. Ia hanya menatap dekan dengan ekspresi datar, lalu menunduk sedikit, tenang.
Dekan menatap keduanya, lalu menoleh ke arah Raka.
“Kamu mau mengatakan sesuatu, Raka?”
Raka mengangkat wajahnya. Senyum tipis terbentuk di sudut bibirnya.
“Tidak banyak, Pak. Saya hanya ingin bilang, saya tidak bermaksud melukai siapa pun. Tapi kalau saya salah… saya siap menerima konsekuensi.”
Riko mengepalkan tinjunya, tapi dekan mengangkat tangan untuk menghentikannya.
“Cukup. Saya akan meminta tim kami meninjau ulang semua rekaman dan kesaksian.” Ia menatap keduanya. “Namun untuk sementara waktu, kalian bertiga tidak boleh saling berinteraksi di lingkungan kampus. Raka, kamu bisa kembali ke kelasmu.”
Riko hendak memprotes, tapi sang dekan memberi tatapan tegas. Ia terdiam.
Raka berdiri, memberi hormat kecil. “Terima kasih, Pak.”
Saat ia berbalik dan keluar dari ruang dekan, wajahnya tetap tenang. Tapi dalam hatinya…
‘Selesai satu babak. Sekarang waktunya kembali ke naskah utama.’
Dan di luar ruangan, Cheviolla sudah menunggunya sambil menyilangkan tangan
.
Kembali ke lapangan kampus, Riko berjalan cepat sambil mengganti kemeja yang basah, wajahnya merah padam karena menahan malu dan amarah. Temannya menyusul dari belakang sambil membawa jaket.
“Bro, sabar, sabar dulu, video itu udah viral…”
“Justru karena viral, aku nggak bisa sabar! Itu anak harus ditendang dari kampus!”
---
Sementara itu, Raka duduk kembali di taman kampus, ditemani Cheviolla yang diam menatap layar ponselnya.
“Viral, ya?” tanya Raka ringan.
Cheviolla tak menjawab, hanya mengangguk kecil.
Raka bersandar di bangku. “Kalau tahu bakal seterkenal ini, tadi aku pakai parfum dulu.”
Cheviolla menoleh. “Kalau tahu kamu bakal setolol ini, tadi kupukul pakai papan pengumuman.”
Raka tertawa kecil. “Kamu sayang, ya?”
Cheviolla tidak menjawab, namun wajahnya memerah, cukup menjawab pertanyaan itu, membuat raka tersenyum.
.
"oh iya hari jumat sore kamu bisa ikut aku ke surabaya?
" aku pernah bercerita tentang nebek sebelum, kita berangkat jumat sore, balik jakarta lagi minggu pagi.
.
Tapi kalo kamu gabisa, ya lain kali saja.
"emm baiklah aku bisa..