Di tengah hiruk pikuk kota Jakarta, jauh di balik gemerlap gedung pencakar langit dan pusat perbelanjaan, tersimpan sebuah dunia rahasia. Dunia yang dihuni oleh sindikat tersembunyi dan organisasi rahasia yang beroperasi di bawah permukaan masyarakat.
Di antara semua itu, hiduplah Revan Anggara. Seorang pemuda lulusan Universitas Harvard yang menguasai berbagai bahasa asing, mahir dalam seni bela diri, dan memiliki beragam keterampilan praktis lainnya. Namun ia memilih jalan hidup yang tidak biasa, yaitu menjadi penjual sate ayam di jalanan.
Di sisi lain kota, ada Nayla Prameswari. Seorang CEO cantik yang memimpin perusahaan Techno Nusantara, sebuah perusahaan raksasa di bidang teknologi dengan omset miliaran rupiah. Kecantikan dan pembawaannya yang dingin, dikenal luas dan tak tertandingi di kota Jakarta.
Takdir mempertemukan mereka dalam sebuah malam yang penuh dengan alkohol, dan entah bagaimana mereka terikat dalam pernikahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon J Star, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Melamar Pekerjaan
"Kenapa?" Setelah hening yang cukup lama, dengan wajah datarnya, Nayla akhirnya mengeluarkan satu kata itu.
"Apanya yang kenapa?" tanya Revan balik.
Nayla melemparkan blazer yang ada di tangannya ke arah Revan. Ia ingin bertanya mengapa Revan tiba-tiba peduli dan menyelimutinya, serta mengantarkan makanan untuknya. Tetapi ketika kata-kata itu sampai di tenggorokan, ia merasa sedikit terlalu malu untuk mengucapkannya, dan hanya bisa berkata, "Kenapa tidak membangunkanku?"
"Kamu bicara apa? Aku tidak tahu apa-apa," Revan berpura-pura dengan wajah polos.
Nayla mengerutkan keningnya, dalam hati bergumam betapa pria ini masih saja seorang bajingan. "Apa kamu tidak tahu, kalau aku sedang terburu-buru? Karena kamu melihatku tidur, seharusnya membangunkanku. Bagaimana kalau itu menunda pekerjaanku!"
"Sudah kubilang aku tidak tahu apa yang kamu bicarakan," Revan mengeluarkan sebatang rokok, dan sibuk menyalakannya sendiri. Ia berniat membawa rahasia kecil itu sampai mati.
Merasa tak berdaya, Nayla tidak membahasnya lebih lanjut, dan hanya berkata dengan dingin, "Tanpa izinku, kamu tidak boleh masuk ke ruang kerja dan kamar tidurku. Kalau tidak, aku akan menyuruhmu pindah."
"Haha..." Revan tertawa. "Pindah? Aku tidak pernah bilang ingin pindah ke sini. Kamulah yang membuatku pindah. Kenapa sekarang seolah-olah aku yang memohon padamu untuk diizinkan tinggal? Hei, istriku tersayang, kata-katamu itu cukup membingungkan."
"Kamu..." Nayla ingin membantah, tetapi ketika teringat memang dialah yang meminta Revan pindah. Ia bahkan menyiapkan kamar dan membeli semua kebutuhan sehari-hari untuknya. Karena tidak bisa berkata apa-apa lagi, ia hanya bisa menatap Revan dengan marah. "Aku tidak akan berdebat dengan bajingan sepertimu. Ingat, mulai besok cari pekerjaan yang bagus!" Setelah berkata begitu, sambil meninggalkan jejak aroma parfumnya, ia sekali lagi naik ke lantai atas.
Di tengah tangga, ia mendengar Revan berkata dengan hangat dari ruang tamu, "Jangan lupa makan."
Langkah kaki Nayla terhenti, sebuah kehangatan misterius mengalir ke dalam hatinya. Ia menoleh dan menatap punggung pria yang sedang merokok sambil menonton TV itu, sedikit terpesona. Selama bertahun-tahun, selain Bu Rini yang membesarkannya, serta ibu dan neneknya yang telah lama tiada, benar-benar tidak ada orang lain yang memberinya kehangatan keluarga seperti ini, perhatian yang tulus, dan terlebih lagi dari seorang pria. Perasaan ini sangat asing baginya.
Sekali lagi, ia teringat bagaimana Revan melindunginya di siang hari dan bagaimana ia mengusir ayahnya yang menyebalkan itu dari rumah untuk melampiaskan amarahnya. Ia tidak bisa menahan perasaan sedikit malu.
Faktanya, saat Revan menyelimutinya dengan blazer tadi, Nayla sudah terbangun. Tetapi dengan karakternya yang dingin sejak lahir, ia tidak tahu bagaimana harus mengekspresikan perasaannya, dan juga tidak berani membuka mata untuk menghadapi adegan itu. Itulah mengapa ia hanya bisa terus berpura-pura tidur.
Sekarang mendengar Revan mengingatkannya untuk makan, ia merasa sedikit tersentuh, tetapi wajahnya tetap sedingin es. Ia membalas dengan satu kalimat, "Aku tidak butuh perhatianmu," lalu dengan cepat kembali ke ruang kerjanya.
Bu Rini yang baru saja keluar dari dapur dan menyaksikan adegan ini, membuatnya tersenyum puas.
***
Terletak di kawasan pusat bisnis Jakarta, kantor pusat PT. Techno Nusantara adalah sebuah menara pencakar langit setinggi lebih dari empat puluh lantai. Kata "Nusantara" dalam namanya bukanlah bualan, mengingat perusahaan ini telah melebarkan sayapnya di tiga pasar utama yaitu Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang. PT. Techno Nusantara bahkan telah menjadi salah satu dari 10 perusahaan teknologi dan perangkat lunak teratas di Indonesia.
Seluruh gedung PT. Techno Nusantara itu tampak seperti sebuah kristal obsidian yang ramping dan elegan. Garis-garisnya yang mulus serta dekorasi interiornya yang minimalis namun canggih membuat siapa pun yang memasuki gedung merasa lebih bersemangat dan segar.
Udara di dalamnya dipenuhi aroma kopi premium yang samar, dan berbagai instalasi seni digital serta tanaman hijau ditempatkan secara menarik di seluruh penjuru gedung, membawa keindahan alam ke dalam dekorasi bernuansa monokrom yang futuristik.
Namun yang membuat Kantor Pusat PT. Techno Nusantara terkenal bukanlah gaya dekorasinya yang unik, melainkan banyaknya talenta digital brilian yang lalu-lalang dengan busana kerja profesional.
Sebagai bagian dari industri teknologi dan inovasi, sudah sewajarnya para pekerjanya adalah talenta-talenta terbaik. Namun yang lebih menarik adalah, karena PT. Techno Nusantara sangat memperhatikan citra perusahaan dalam perekrutannya, semua kariyawan yang masuk ke perusahaan ini adalah para profesional perkotaan yang cerdas dan berpenampilan menarik. Bahkan yang terendah pun adalah wanita dan pria yang rapi dan menyenangkan. Adapun para pimpinan dan eksekutifnya, mereka bisa membuat jutaan orang berangan-angan.
Akibatnya, banyak pria lajang perkotaan yang sering berkeliling di luar gedung PT. Techno Nusantara, masing-masing berharap bisa menggaet salah satu wanita atau pria hebat di dalamnya. Satu-satunya masalah adalah, mereka yang berhasil bisa dihitung dengan jari.
Dengan lingkungan seperti itu, bisa masuk ke PT. Techno Nusantara telah menjadi pilihan utama bagi banyak sekali pria. Bisa dibayangkan, sejak PT. Techno Nusantara merilis iklan lowongan untuk divisi Hubungan Masyarakat (Humas), berapa banyak pria yang memutar otak untuk mencoba melamar!
Oleh karena itu, untuk perekrutan di PT. Techno Nusantara, mereka membuat beberapa persyaratan khusus yang hanya berlaku untuk pria:
Pertama, pelamar pria harus memiliki gelar sarjana S1 atau lebih tinggi dari 10 universitas top dunia di bidang Teknik Komputer atau Ilmu Data.
Kedua, pelamar pria harus menguasai setidaknya dua bahasa pemrograman dan dua bahasa asing.
Dengan persyaratan seperti itu, para pria yang ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk keinginan pribadi mereka semua ketakutan. Jika ada pria yang memenuhi persyaratan ini, mengapa ia harus repot-repot melamar menjadi staf Humas di PT. Techno Nusantara!? Bahkan jika mereka bukan eksekutif tingkat atas, mereka akan menjadi elit di perusahaan mana pun. Wanita cantik mungkin penting, tetapi jika seseorang sudah kaya dan punya posisi, apakah ia masih akan kekurangan wanita cantik?!
Pada akhirnya, di hari PT. Techno Nusantara mengadakan wawancara akhir, di antara puluhan orang yang datang, jumlah pria yang tersisa kurang dari sepuluh. Dan di antara para pria ini, masing-masing mengenakan barang-barang bermerek dari ujung rambut sampai ujung kaki, dengan ekspresi arogan seolah-olah mereka tak tertandingi di dunia. Mereka jelas tidak menganggap serius pekerjaan ini, meyakini dalam hati bahwa "akulah yang terbaik di dunia". Mereka adalah anak-anak sultan manja yang tujuan utamanya melamar kerja hanyalah untuk mencari sensasi dan wanita karena bosan.
Saat ini masih ada lima menit sebelum dua tes terakhir dimulai. Yang pertama adalah tes tertulis, dan yang kedua adalah menjawab pertanyaan penguji. Dari tiga puluhan orang yang tersisa di aula, sebagian besar wanita tampak gugup, sementara tujuh atau delapan pria yang tersisa tampak santai dan riang.
Berdiri di aula berbentuk kipas yang luas, di sisi Revan duduk seorang pria gemuk dengan kepala berminyak dan wajah genit, berkacamata tipis, dan seluruh pakaiannya bermerek Armani.
"Hei Bro, lo ngincer kembang yang mana nih?" si Gembul mendekat dan berkata dengan senyum mesum.
Revan bertanya dengan ragu, "Maksud lo ngincer kembang yang mana?"
"Masih pura-pura!" si Gembul tersenyum nakal dan berkata, "Bro, lo nggak usah sok dingin gitu deh. Gue duluan deh, gue ngincer Kepala Divisi Humas, si cantik Monita. Oke, sekarang giliran lo!"
Revan terdiam mendengar kejujuran si Gembul, dan berkata, "Aku di sini cuma buat kerja. Aku sudah punya istri."
"Halah! Siapa yang percaya cerita palsu kayak gitu!" si Gembul menatap Revan dengan tatapan yang sangat meremehkan. "Orang jujur nggak akan bohong. Coba liat, abang-abang lain yang duduk di sini, mana yang bukan karena punya duit tapi bingung mau habisin di mana, jadi datang ke sini buat cari cewek? Lo pakai kemeja CK (Calvin Klein) edisi terbaru musim panas ini buat ngelamar jadi staf Humas rendahan. Lo pikir gue yang bego apa lo yang bego? Pake ngaku punya istri segala. Kalau lo bilang punya sepuluh simpanan gue percaya, tapi siapa coba yang kurang kerjaan nikah buat ngurusin diri sendiri?"
Revan terperangah. Ia diam-diam menggelengkan kepalanya, menghela napas, dan berkata, "Kenapa negara ini jadi lebih terbuka daripada di luar negeri ya? Apa dunia sudah berubah begitu cepat? Mungkinkah aku sudah menjadi pria baik-baik di generasi ini?" dan ia tidak lagi memperhatikan ocehan tak berdasar si Gembul.
Tepat pada saat itu, pintu aula didorong terbuka. Seorang wanita dengan busana kerja hitam yang pas di badan, kemeja seputih salju, dan rambut disanggul rapi berjalan masuk dengan perlahan. Di belakangnya mengikuti empat staf wanita cantik yang membawa berkas-berkas.
"Itu dia, itu dia! Ternyata Monita sendiri yang ngawasin tesnya." si Gembul di sebelahnya mulai bertingkah seolah baru saja menelan ekstasi. Ia begitu bersemangat sampai-sampai mulai menggeser-geser pantatnya di kursi, kedua matanya yang seperti serigala menatap tajam pada wanita berseragam bernama Monita itu. Bukan hanya si Gembul yang bersemangat, pria-pria lain juga menunjukkan tatapan sungguh-sungguh. Mereka jelas memandang bunga yang lembut ini sebagai mangsa mereka!