"Aku hamil, Fir, tapi Daniel tidak menginginkannya,"
Saat sahabatnya itu mengungkapkan alasannya yang menghindarinya bahkan telah mengisolasikan dirinya selama dua bulan belakangan ini, membuatnya terpukul. Namun respon Firhan bahkan mengejutkan Nesya. Firhan, Mahasiswa S2, tampan, mapan dan berdarah konglomerat, bersedia menikahi Nesya, seorang mahasiswi miskin dan yatim-piatu yang harus berhenti kuliah karena kehamilannya. Nesya hamil di luar nikah setelah sekelompok preman yang memperkosanya secara bergiliran di hadapan pacarnya, Daniel, saat mereka pulang dari kuliah malam.
Di tengah keputus-asaan Nesya karena masalah yang dihadapinya itu, Firhan tetap menikahinya meski gadis itu terpaksa menikah dan tidak mencintai sahabatnya itu, namun keputusan gegabah Firhan malah membawa masalah yang lebih besar. Dari mulai masalah dengan ayahnya, dengan Dian, sahabat Nesya, bahkan dengan Daniel, mantan kekasih Nesya yang menolak keras untuk mempertahankan janin gadis itu.
Apa yang terjadi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moira Ninochka Margo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DUAPULUH LIMA Tak terduga II — Firhan Nesya
Pintu kamar tidur utama terbuka perlahan. "Ya ampun!" Pekikku setelah membuka pintu dan terkejut. Begitu mengetahui siapa, helaan napas legaku terdengar. Benar-benar mengagetkan. "Apa yang kalian lakukan di sini?" Lanjutku sambil memandang tajam sosok di seberang pintu. Rupanya mereka telah berdiri menunggu di depan pintu. Mungkin sejak tadi.
"Ma-maaf, Tuan, kami tidak bermaksud mengagetkan anda." Tukas pelayan yang berdiri paling depan di antara mereka. Ya, mereka adalah satu pelayan dan empat bodyguard dan semuanya adalah lelaki.
"Lupakan! Ada apa kemari?" Tanyaku memandang mereka.
"Nona Isti meminta saya untuk menanyakan persiapan nyonya Nesya," jelas sang pelayan menunduk memberitahu.
"Dan para bodyguard ini?"
"Atas permintaan Tuan besar,"
"Oh, ayah. Beritahu mereka, semuanya aman,"
"Baik, Tuan. Kalau begitu saya permisi dulu. Dan Mereka, harus berjaga di sini, Tuan," tukas sang pelayan yang membicarakan tentang para bodyguard di belakangnya ini.
Aku mengangguk. Sang pelayan lalu bergegas pergi. Sedangkan empat bodyguard, menunggu di depan pintu untuk berjaga, sesuai perintah dari ayah. Jangan heran, ayah memang seperti itu. Walaupun kita semua sedang di rumah, tapi jika dia merasa tidak aman, maka semuanya harus di jaga dengan ketat. Terlebih, hari ini adalah pesta yang akan mengundang tamu luar, meski dari awal sebenarnya hanya kerabat dan keluarga besar yang datang. Sejujurnya aku masih belum tahu rencana ayah bagaimana, tapi informasi tetiba itu cukup membuat aku penasaran. Masalahnya dia jarang memberikan rencana secara tiba-tiba seperti ini, apalagi tidak pernah membicarakan pada kami sebelumnya.
Aku melangkah keluar dengan tenang, memberi waktu bagi Nesya untuk berganti pakaian dan menerima pelayanan dari para perias yang akan disiapkan. Cahaya hangat dari chandelier lorong memantul di permukaan dinding marmer, membuat siluet tubuhku tampak semakin kokoh dan berwibawa.
Begitu kaki menjejak karpet koridor, mataku menangkap sosok Pria tinggi bertubuh besar—berotot, yang berdiri rapi di ujung lorong. Dia seperti biasa memakai pakaian lengkap dan formal.
Sekretarisku.
Aku tidak menyangka pria itu sudah menunggu di luar kamar—dengan tablet digital di tangan dan ekspresi profesional yang tak tergoyahkan.
“Maaf jika saya mengejutkan Anda, Tuan,” ucap pria itu ringan, namun tegas.
Alisku sedikit terangkat, tapi tak ada raut marah di wajah. Hanya keheranan yang samar.
“Ada yang penting?” tanyaku singkat.
“Beberapa daftar kehadiran tamu VIP sudah dikonfirmasi ulang. Saya juga menerima kabar bahwa tamu dari Kyoto datang lebih awal.”
Aku memang mengundang rekan bisnis kami dari Jepang. Sebenarnya mereka ada di Indonesia dan besok akan ada meeting bersama, jadi aku pikir sekalian saja.
Aku mengangguk kecil, lalu berjalan melewatinya dengan langkah kalem. “Bagus. Tamu yang lain bagaimana?"
"Beberapa sudah ada yang datang, Tuan—sesuai undangan."
Mereka menuju sebuah ruang ganti pribadi di sisi barat rumah. Di dalamnya, sudah tergantung setelan tuxedo hitam khusus malam itu—rancangan desainer terkenal, dijaga rapi oleh dua pelayan yang bersiaga di luar pintu ruangan. Biasanya mereka membantu bersiap, tapi untuk kali ini aku memintanya hanya berada di luar.
Sembari melepas kancing kemeja, aku menoleh pada sekretaris. “Beritahu adikku untuk segera mengirim tim perias terbaik ke kamar istriku. Nail art, hairdo, semuanya. Aku ingin dia diperlakukan seistimewa mungkin."
"Segera saya sampaikan, Tuan."
"Oh ya, kau bisa pergi sekarang. Pastikan semuanya terkendali dan aman. Jangan lupa berkoordinasi juga dengan sekretarisnya ayah, karena biar bagaimanapun, pemilik acara utama ini adalah ayah. Ah, aku bahkan tidak tahu apa yang di rencanakannya diam-diam."
“Baik, Tuan. Saya pamit.” Sahut pria itu kemudian berlalu setelah menunduk.
Tak butuh waktu lama untukku berganti pakaian. Setelan malam itu jatuh sempurna di tubuhku, menghadirkan aura keagungan yang tak perlu dijelaskan dengan kata-kata.
Dengan napas pelan, aku meninggalkan ruang ganti, lalu melangkah menuju ruang tamu khusus—tempat para tamu VIP yang datang lebih awal sudah berkumpul.
Langkahku mantap di atas lantai marmer yang mengilap, setelan tuxedo malamku berkilau samar di bawah sorotan lampu. Pintu ruangan tamu terbuka otomatis, menampilkan ruang megah dengan sentuhan klasik Eropa—meja-meja kecil berisi hors d'oeuvre, lampu gantung kristal, dan aroma bunga segar yang menyambut hangat.
Beberapa tamu penting, mulai dari investor, kerabat kerajaan, hingga tokoh-tokoh publik, sudah duduk di sana, berbincang santai ditemani alunan musik gesek yang lembut. Mereka adalah tamu ayah, dan tamuku
Aku menyapa satu per satu dengan senyum khas—tenang, ramah, dan penuh kendali. Tanganku menjabat hangat, bahuku sesekali ditepuk pelan oleh tamu yang sudah lama tak bertemu.
“Senang akhirnya bisa kembali ke rumah ini,” ucap salah satu tamu pria, sambil mengamati langit-langit yang megah.
“Dan saya senang bisa menyambut Anda lagi,” jawabnya dengan sopan, lalu menerima segelas minuman manis dari pelayan yang lewat. Aku memang tidak minum yang beralkohol.
Aku tidak duduk lama. Hanya cukup waktu untuk memastikan bahwa para tamu penting merasa dihargai dan nyaman.
Tak semua tamu harus disambut saat lampu pesta menyala terang. Beberapa di antaranya, sudah selayaknya dihargai bahkan sebelum acara dimulai.
Sebelum meninggalkan ruangan, aku memberi isyarat kecil pada pelayan terdekat.
“Pastikan semuanya berjalan mulus nanti. Dan, beri kabar saat istriku siap turun. Aku ingin menyambutnya langsung.”
"Baik, Tuan." Sahut pelayan itu lalu menundukkan kepala.
Aku kemudian berjalan keluar dari ruangan itu perlahan, membiarkan pintu tertutup pelan di belakang punggungku. Tak ada kegugupan dalam langkah—hanya ketenangan, dan sedikit rasa bahagia yang tumbuh pelan-pelan di balik sorot mataku.
Malam ini bukan sekadar pesta.
Firhan sudah punya rencana. Malam ini … adalah malam di mana dia akan memperlihatkan kepada dunia siapa wanita yang aku cintai dan banggakan.
...* * *...
Sementara itu, di kamar Firhan.
Suamiku telah berlalu, setelah memekik seperti terkejut. Entah dia sedang melihat apa tadi. Terserah saja. Aku sangat malas mencari tahu.
Setelah menanggalkan pakaianku, aku lalu mandi. Selang tak beberapa lama, aku selesai dan keluar dari kamar mandi. Masih memakai jubah mandi, aku lalu kembali melihat ke arah gantungan baju yang berisi gaun malam untuk pesta malam ini. Setelah pandanganku kembali jatuh pada deretan gaun yang tergantung tak jauh dari tempat tidur, mataku tertahan pada satu—gaun yang tak terlalu mencolok di antara yang lain. Justru karena kesederhanaannya itulah aku memilihnya.
Gaun malam itu berwarna silver ivory satin, memancarkan kilau lembut saat terkena cahaya lampu. Panjangnya menjuntai hingga ke lantai, mengikuti setiap gerak tubuh dengan lekuk yang lembut dan penuh keanggunan. Kainnya membentuk siluet tubuh dengan motif menyerupai pola akar yang menjalar halus, seolah tumbuh dan hidup di atas permukaannya. Bahunya terbuka, mengekspos kulit dengan elegan, namun dilengkapi lengan renda yang membentuk kelopak bunga mekar di bagian atas lengan—berwarna dark blue, seakan melilit dan merangkul dada dalam pelukan misterius.
Yang paling memikat, adalah detail satin yang menyatu dari lengan hingga ke bagian dada, membentuk garis utuh yang berakhir menjadi ekor gaun seperti jubah. Tak terlalu panjang, namun cukup untuk memberi kesan mengembang dan menyapu lantai seperti perisai anggun, dimulai dari pinggul hingga belakang tumit. Dan untuk melindungi bagian dada atas dan bahu yang terbuka, terdapat pula jubah tambahan, ringan dan menyatu sempurna, dengan warna serupa—menambah kesan tenang namun tetap mewah.
Tok Tok Tok! Ketukan pintu terdengar tetiba.
"Masuklah!" sahutku mempersilakan dengan nyaris teriak.
Ketika pintu terbuka, kepala Isti muncul dengan senyuman lebar dan antusiasnya yang membuatku tersenyum.
"Kak, maaf aku mengganggumu. Jadi, Isti membawa perias dan yang lainnya untuk membantu kakak malam ini," jelas Isti tersenyum sambil memberitahu ketika masuk yang diikuti enam pelayan perempuan.
"Ya, Firhan sudah memberitahu, Sayang."
"Baiklah, Kak. Isti pamit, ya. Selamat bersenang-senang!" Sahutnya kemudian berlalu. Belum-belum aku menjawab dia sudah pergi.
Sejenak aku terperanjat lalu melirik mereka satu persatu dengan seulas senyum kaku.
"Baiklah, kita mulai sekarang!" pintaku memulai.
"Baik, Nyonya. Silakan duduk." Pinta salah satu dari mereka.
Entah sejak kapan, kursi tunggal sekaligus meja rias telah berada di ruangan ini. Aku lalu duduk setelah mereka mempersilakan. Mereka lalu mulai meriasku dengan make up. Tangan-tangan cekatan itu perlahan memoles wajahku, dengan lembut, tanpa tergesa-gesa bahkan sangat tenang. Keheningan ini membuatku sangat nyaman.
Butuh waktu dua jam dan semuanya hampir selesai. Satu persatu ritsleting dan pengait dibantu oleh tangan-tangan cekatan. Seorang penata rias membetulkan bagian bahu gaunku, memastikan renda bunga biru itu jatuh di posisi yang pas, sementara pelayan lain memegang bagian bawah gaun agar tidak terseret terlalu jauh saat aku melangkah ke depan cermin besar.
Kamar ini cukup luas, didominasi warna putih dan gradasi halus abu-abu, dengan pencahayaan yang dibuat hangat. Tirai transparan sedikit bergerak tertiup AC. Meja rias penuh dengan perlengkapan kecantikan, dan suara alat hairdo masih terdengar samar di belakangku.
“Aku rapikan bagian belakangnya, ya, Nyonya,” ujar salah satu dari mereka sambil mengangkat ekor gaun yang menjuntai.
Aku mengangguk pelan dan memperhatikan pantulan diriku di cermin. Gaun itu terlihat pas. Tidak terlalu berlebihan, tapi tetap terlihat mewah. Detail akar yang menyebar di kainnya menambah kesan tegas tapi elegan. Dan jubah di bagian dada membuatku merasa cukup tertutup, nyaman untuk berdiri di hadapan banyak orang nanti.
“Bagian make up tinggal retouch bibir dan under-eye. Rambut sudah hampir selesai,” Sahut penata rambutku sambil menyemprotkan hairspray terakhir.
Beberapa pelayan masuk membawa aksesori dan sepatu. Semuanya bekerja dengan tenang dan teratur, seperti sudah sangat terbiasa dengan persiapan pesta besar seperti ini. Tidak ada yang bersuara keras, hanya bisik-bisik koordinasi dan langkah ringan di lantai berlapis karpet.
Aku menarik napas pelan. Rasanya sedikit gugup, tapi bukan karena pestanya. Lebih kepada momen yang akan datang—meski aku tak tahu, akan terjadi apa nantinya. Tapi pesta ini sungguh mendadak tanpa pembicaraan sebelumnya. Namun, bukan itu yang penting. Yang terpenting adalah ... aku akan turun sebagai istrinya.
...* * *...
Di sisi lain rumah, Firhan berdiri di dekat tangga utama, mengenakan setelan tuxedo malam yang sudah rapi. Satu tangan berada di saku, sementara tangan lainnya menggenggam ponsel—sekadar mengecek waktu, bukan karena tidak sabar. Wajahnya tenang, tapi matanya sesekali melirik ke arah lantai atas. Sedangkan Sekretarisnya seperti biasa dengan tenang berdiri di belakangnya.
Seorang pelayan lelaki mendekat dengan langkah ringan, setelah berbisik pada sekretaris, memberitahu sesuatu jika ada informasi penting.
Setelah pelayan pergi, Sekretaris itu lalu mendekat ke Firhan. “Nyonyanya hampir siap, Tuan,” ucap sekretarisnya pelan.
Ia mengangguk singkat. “Pastikan tak ada yang mengganggunya. Biarkan ia turun saat ia benar-benar siap.”
"Tentu, Tuan." Sahut Sekretaris meyakinkan, lalu tubuhnya mundur ke belakang kembali. Hanya sekali menelpon, ia lalu mengkoordinasikan semua perintah Firhan.
Dari kejauhan, terdengar suara musik yang mulai dimainkan—pertanda para tamu sudah mulai memenuhi halaman belakang. Pesta memang dipindahkan ke tempat itu, yang sebelumnya di dalam rumah—Tapi ia belum beranjak.
Tangga marmer yang menjulang di depannya tampak bersih mengilap. Karpet lembut berwarna gading membentang dari atas hingga ke bawah, seolah menunggu satu langkah penting yang akan menjadi sorotan malam ini.
Ia menarik napas pelan.
Ini bukan sekadar pesta.
Ini malam ketika ia akan menunjukkan siapa wanita di sisinya—bukan hanya sebagai istri, tapi sebagai pendamping yang ia banggakan di hadapan semua orang.
Dan ketika suara langkah halus mulai terdengar dari atas, ia langsung menoleh. Sekilas, pelayan yang berdiri di sisi kiri tangga buru-buru mundur, memberi ruang.
Ia tidak berkata apa-apa. Hanya berdiri di sana, menunggu.
Dengan ekspresi yang berbeda dari biasanya—lebih lembut, dan ada senyum kecil yang muncul tanpa dipaksa.
...* * *...
Pintu besar kamar utama terbuka sedikit, lalu perlahan-lahan bergerak lebih lebar, diikuti langkah ringan seorang pelayan wanita yang menunduk sopan dari balik pintu.
“Nyonya sudah siap,” kata salah satu pelayan perempuan dengan nada rendah, namun cukup terdengar oleh para bodyguard yang sedari tadi berjaga di koridor dan depan pintu.
Tak lama, seorang wanita muncul dari balik bayangan kamar. Langkahnya pelan namun anggun, seolah udara di sekitarnya menahan napas hanya untuk menyaksikan kehadirannya.
Gaun malam berwarna silver ivory satin dengan aksen lembut dark blue memeluk tubuh rampingnya sempurna. Rambutnya disanggul modern klasik, ditata naik sebagian, disisakan beberapa helaian di sisi wajah untuk memberi kesan lembut dan dihiasi pin berlian yang memantulkan cahaya dengan cara paling elegan. Kukunya yang dipoles sempurna tampak bersinar, dan riasan wajah—make up tidak mencolok, hanya menonjolkan kecantikan alami yang elegan. Di kedua pergelangan tangannya tergantung perhiasan tipis yang berkilau saat terkena cahaya gantung.
Pelayan perempuan di sampingnya memegang ekor gaunnya, memastikan tak satu helai pun menyeret lantai sembarangan.
Ya, wanita beruntung itu adalah aku. Siapa yang menyangka, gadis miskin yang dulunya hanya mengurus diri sendiri, kini di urus oleh banyak pelayan di sini, bahkan diperlakukan seperti princess.
Di ujung tangga marmer berbalut karpet gading, suamiku sudah berdiri menunggu. Firhan sempat menoleh ke jam tangan mewah di pergelangan kirinya—bukan untuk mengecek waktu, tapi hanya sekadar refleks. Ketika matanya menatap ke atas ... lelaki itu terdiam.
Terlihat seolah, sesaat, pesta dan semua detail penting di pikirannya terasa menghilang. Yang tersisa hanyalah pemandangan di hadapannya—wanita yang menjadi pusat dunianya malam ini. Tatapannya bahkan membuatku merona.
Aku tersenyum lebar namun kikuk memandangnya di kejauhan.
Tapi kenapa matanya berbinar dan seperti ingin menangis gitu?
Langkahku pelan tapi mantap. Tumit berbalut heels berwarna perak menyentuh satu persatu anak tangga, nyaris tanpa suara. Gaun satin itu mengikuti gerak tubuh dengan anggun, dan ekor gaunnya yang menjuntai memberi kesan seperti aliran air yang tenang.
Firhan melangkah maju, perlahan menaiki beberapa anak tangga untuk menyambutku. Kami saling pandang beberapa detik sebelum akhirnya ia mengulurkan tangan, saat kami bertemu di tengah.
“Indah sekali.... "ucapnya pelan dengan raut wajah haru dan airmata menggantung di pelupuk mata. Tak sekadar pujian—melainkan kekaguman yang tulus.
Aku menatapnya sejenak, alisku berkerut tapi raut wajah harunya menular kepadaku hingga pun membuatku nyaris menetaskan airmata. Senyum kecil muncul di sudut bibirku “Kau juga ... tampak seperti pria yang ingin aku nikahi dua kali.”
Dia tergelak sambil menyeka dengan jari di sudut matanya.
Mereka saling bertukar pandang sejenak. Tak perlu banyak kata. Hanya ada pemahaman yang dalam, sebuah koneksi yang tak butuh penjelasan.
Firhan menggenggam tanganku erat dengan hangat, kokoh. “Aku ingin kau turun bersamaku. Hari ini ... semua mata akan memandangmu. Dan aku ingin dunia tahu, aku laki-laki paling beruntung malam ini,"
Aaaa kenapa dia manis sekali?!
Dia sekilas mengusap airmataku juga dengan jari di sudut mata, lalu kami berdua kembali tersenyum setelah sejenak saling berpandangan.
"Jangan menangis. Tersenyumlah. Ini hari kita. Aku ingin kamu bahagia. Karena kamu ratunya di sini. Nanti riasanmu juga rusak."
Aku tersenyum dalam anggukan pelan.
Dia menuntunku menuruni tangga megah, melangkah bersama, meninggalkan tangga, melewati beberapa ruangan besar menuju halaman belakang—ruangan utama pesta, karena digelar secara outdoor.
...* * * *...
aku mau tau kelanjutannya!:?
mampir juga yuk ke karya ku:)