Teruntuk semua perempuan di luar sana yang masih berjuang untuk bahagia dengan caranya masing-masing.
Ini tentang Bara Wirya. Seorang wartawan kriminalitas yang sedang mengulik kehidupan Dijah yang mengganggu pikirannya.
***
"Kamu ini tau apa sih? Memangnya sudah pernah beli beras yang hampir seperempatnya berisi batu dan padi? Pernah mulung gelas air mineral cuma untuk beli permen anak? Kalo nggak pernah, nggak usah ngeributin pekerjaan aku. Yang penting aku nggak pernah gedor pintu tetangga sambil bawa piring buat minta nasi."
Bara melepaskan cengkeraman tangannya di lengan Dijah dan melepaskan wanita itu untuk kembali masuk ke sebuah cafe remang-remang yang memutar musik remix.
Bara menghela nafas keras. Mau marah pun ia tak bisa. Dijah bukan siapa-siapanya. Cuma seorang janda beranak satu yang ditemuinya di Kantor Polisi usai menerima kekerasan dari seorang mantan suami.
Originally Story By : juskelapa
Instagram : @juskelapaofficial
Contact : uwicuwi@gmail.com
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23. Percakapan Panjang
Jangan lupa dilike kalau suka,
kalau nggak suka, like juga ya..
Catatan dari penulis :
Jangan mengaitkan adegan dengan unsur SARA. Nilai dari segi manusiawi setiap insan yang tak sempurna.
Selamat membaca XD
************
Telinga Bara masih mendengarkan Tini yang sedang bersenandung dari kamarnya di tengah malam itu. Tapi mulutnya masih sibuk meraup seluruh bibir Dijah masuk ke dalam ciumannya.
Haruskah Bara mengakui bahwa dia sudah lama tak merasakan ciuman senikmat dan... sepanas ini?
Seharian itu terasa sangat lama baginya. Duduk menunggu dan memperhatikan Dijah yang berjalan dengan sepatu hak tinggi dan pakaian ketat serta sesekali digoda oleh beberapa lelaki.
Dijah mengatakan bahwa ia tadi lapar dan mengantuk. Tapi perempuan itu kini memejamkan mata dan membalas ciuman terburu-buru darinya.
Bara telah mengunci tubuh Dijah di antara kedua pahanya. Ia tak pernah merasa seyakin itu pada tindakannya. Bara telah membiarkan dirinya masuk dan terlibat dalam hidup Dijah. Ia tak bisa membiarkan wanita itu pergi lagi.
Jika pandangan pertama seorang laki-laki lain pada wanitanya adalah di saat sang wanita tampil begitu cantik, berbeda dengan Bara.
Ia bertemu dengan Dijah saat pelipis dan hidungnya mengeluarkan darah. Meski melontarkan kata-kata kasar, tapi pancaran ketakutan tak bisa disembunyikan oleh wanita itu. Dijah juga takut. Ia hanya sedang berusaha kuat dan menghibur dirinya sendiri.
Cengkeram Dijah semakin kuat pada kemejanya. Dan tangan wanita itu secara alami telah turun membelai paha Bara yang terbalut jeans. Debaran itu semakin kuat sampai Bara merasa harus mengangkat tubuh wanita itu untuk menindihnya.
Bara menyelipkan kedua tangannya di bawah lengan Dijah dan menarik wanita itu ke atas ranjang. Bibir mereka belum saling melepaskan. Bara hanya sesekali berpindah untuk jedanya menarik nafas.
Dijah mengenakan sebuah daster batik dengan panjang hampir sebetis. Dan daster itu tipis tentu saja. Tangan Bara tak mungkin hanya diam tergeletak tak berguna. Sudah pasti dia memanfaatkannya.
Bara membelai kedua pinggang Dijah yang dilihatnya tadi begitu mempesona dibalik pakaian ketatnya. Kemudian tangannya turun dan mulai menjelajah.
Oh, bolehkah malam ini ia meminta pada Dijah agar diperlakukan sebagai seorang pria dewasa? Mereka berdua telah dewasa, tak mungkin kegiatan mereka di sebuah ruangan tertutup hanya saling pandang atau bermain monopoli.
Bara menarik daster tipis Dijah dan mulai meremas bokong wanita itu di atas pakaian dalamnya. Bagian tubuh Bara yang lain turut gelisah seiring suara derit ranjang kayu kecil Dijah yang gelisah menopang dua tubuh manusia sekaligus.
"Jah..." panggil Bara melepaskan ciumannya.
"Hmm..." Dijah menatapnya dengan wajah sendu dan rambut acak-acakan.
"Boleh Jah?" tanya Bara hati-hati. Nafasnya sudah terengah-engah.
Dijah hanya menatapnya kemudian membenamkan wajahnya ke leher Bara.
"Aku mau ke Belanda seminggu, ada kerjaan. Aku nggak bisa ke sini. Kamu nggak apa-apa kan?"
"Nggak apa-apa" jawab Dijah dengan suara teredam. Wanita itu masih menelungkup di atas tubuhnya. Belahan Dada Dijah yang penuh terlihat jelas dari sudut pandang Bara.
Harus sampai kapan pula ia merasa terus berdebar seperti itu. Menunggu sampai menikah sepertinya masih lama. Dan keberadaan Fredy tadi turut mengguncang naluri lelakinya.
"Jah..." Bara menggulingkan tubuh Wanita itu ke sisi kanannya bersisian langsung dengan dinding.
"Kamu mau apa?"
"Aku mau, itu. Boleh?"
"Kamu bilang kamu belum pernah. Harusnya kamu nggak gini-gini ke aku. Kalau memang mau yang bener, beri untuk isterimu aja." Dijah menatap mata Bara seolah menantang pria itu.
"Aku belum bisa ngomong banyak soal itu. Kalo emang bisa aku pasti lakuin secepatnya. Dikit aja..." ujar Bara yang sepertinya sudah sangat terdesak oleh keinginannya merasakan tubuh Dijah dengan arti kata yang sebenarnya.
"Kalau aku bilang nggak boleh? Kamu tetep?" tanya Dijah menggeser letak kepalanya untuk menatap Bara.
"Aku berenti kalo kamu nggak mau."
"Aku merasa sedang dilecehkan,"
"Nggak gitu Dijah... Aku nggak sedang melecehkan kamu. Aku juga gini nggak ke sembarang orang. Arti kasarnya aja, aku bisa dapetin di luar sana. Aku juga jujur ke kamu... Aku memang belum pernah. Aku nggak mau sembarangan ke wanita karena aku juga punya adik perempuan, aku punya seorang ibu. Aku ingin mereka dihargai."
"Lantas yang kamu buat ini? Menghargai aku?" tanya Dijah.
"Kamu nolak aku?"
"Aku cuma nanya,"
"Aku cuma sedang jatuh cinta. Di umurku ciuman aja rasanya nggak cukup. Ngeliatin kamu setengah harian udah mau bikin aku gila. Tapi untuk ngelarang kamu, aku juga nggak bisa."
"Terlalu cepat. Kamu buru-buru. Perasaan kamu itu cuma kasian." Dijah kembali memaksa Bara untuk mengatakan hal yang sebenarnya tak ingin ia dengar. Dijah sedang ingin mengasihani dirinya sendiri dan mencegahnya untuk terlalu jatuh pada sosok Bara.
Dijah ingin Bara mengatakan dengan tegas, bahwa lelaki itu hanya menginginkan kehangatan tubuhnya sesaat. Mungkin Dijah akan lebih memahaminya. Dijah maklum. Karena begitulah laki-laki yang mencoba mendekatinya selama ini. Tak ada yang pakai embel-embel sayang ataupun cinta.
Bara saja... hanya mengatakan suka padanya. Selain mengatakan bahwa ia adalah pacarnya, Bara belum mengatakan apa-apa.
"Awalnya Jah, awalnya aku kasihan. Aku kasihan sama kamu. Kamu pasti takut, sakit, dan benci dengan hal yang kamu jalani. Tapi aku suka Dijah yang kuat, yang percaya diri, Dijah yang sebenarnya juga pasti pengen disayang-sayang. Iya 'kan? Kamu pengen kan disayang? Kamu suka meluk aku kan? Suka dijemput? Kamu suka kalo aku nanya udah makan atau belum? Kamu suka dicium? Kamu pasti suka makanya kamu nggak nolak aku. Iya 'kan Jah?" Bara mengusap pipi Dijah seraya menyingkirkan helaian rambut dari wajah wanita itu.
"Aku suka..." jawab Dijah.
"Aku udah sayang kamu Jah..." potong Bara cepat. "Panggil aku 'mas' napa sih Jah.. Tini ada benernya, aku mas-mu."
"Aku belum bisa," sahut Dijah.
"Kenapa?" tanya Bara.
"Aku juga nggak bisa bilang. Tapi setidaknya aku manggil nggak pake situ lagi 'kan udah lebih enak."
Bara bangkit dari ranjang dan mulai membuka kancing kemejanya satu persatu. Mata Dijah hanya terpaku menatap tanpa mampu bertanya lagi.
Dijah mengira bahwa Bara hanya sekedar melepaskan kemejanya saja, tapi ternyata pria itu melepaskan kancing jeans dan menarik resletingnya turun.
Dijah ingin bertanya apa yang sedang dilakukan oleh pria itu, tapi ia seperti tak kuasa mencegahnya. Dia hanya terpaku menikmati pemandangan Bara yang sedang menarik turun celana jeans yang membalut ketat paha dan kakinya yang panjang.
Pemandangan yang bahkan tak pernah dinikmatinya. Pernikahan selama 6 bulan tak menghadirkan memori yang cukup indah untuk dikenang. Malam ini ia melihat seorang lelaki yang dibiarkannya mengaduk-aduk hati dan harinya.
Bara mencampakkan pakaiannya dan naik ke atas ranjang dengan sebuah boxer ketat yang menonjolkan lekuk kemaskulinan.
Bara lelaki dewasa berusia 28 tahun. Ia tak pernah telanjang di depan wanita manapun meski bagian kelelakiannya itu sering diraba dari balik jeans saat ia berciuman dengan pacarnya.
Sekarang, hal itu sepertinya tak cukup. Hampir dua tahun ia tak memiliki kekasih tetap. Hal berhubungan dengan soal sentuhan yang dilakukannya terakhir kali adalah saat ia menerima ciuman Joana. Dan sebelumnya, ia berciuman dengan adik kelasnya di kampus sambil meraba dan meremas dada wanita itu.
Adik kelasnya itu berusia 25 tahun. Dijah bahkan lebih muda. 'Hanya' perkara status dan kehadiran seorang anak saja pikir Bara.
Bara langsung mencium Dijah dan menindih tubuh wanita itu. Bara mengangkat daster Dijah dan meloloskannya melewati kepala. Tak perlu persetujuan dari Dijah, tangan Bara sudah melepaskan pengait di balik punggung wanita itu.
"Ini mau apa?" tanya Dijah lemah seakan pasrah. Bara sudah menarik lepas branya dan mencampakkannya ke bawah ranjang.
"Sebentar aja," ucap Bara. Ia langsung mencium puncak dada yang sejak tadi telah dipikirkannya. Dijah mengerang dan memeluk kepalanya.
Bara sudah terburu-buru. Dia sudah lama tidak... Bisa-bisa sebentar lagi dia akan keluar pikirnya. Keluar di mana? Pikirannya masih melayang dan tangannya semakin berani melucuti.
"Jah..." gumam Bara. Dijah tak sempat menyahutinya karena sibuk merintih halus.
Bara merentangkan tangan Dijah dan terus berdecak menciumi dada wanita itu. Tak sempat lagi pikir Bara, ia sudah benar-benar berada di ujung hasratnya.
"Nggak boleh ini..." gumam Dijah.
"Emang nggak boleh, tapi kalo kamu mau..." ucap Bara menarik pakaian dalam terakhir itu turun dan meloloskannya dari kaki Dijah. Dijah bangkit untuk melihat apa yang sedang dilakukan Bara.
"Jangan..." kata Dijah. Bara sedang duduk menguliti tubuh polosnya dengan pandangan takjub. Tatapan mata Bara terhenti pada bagian terakhir yang dilucutinya.
Pria itu menarik nafas panjang kemudian kembali menindih tanpa melepaskan pakaian dalamnya. Memeluk Dijah dengan erat. Meletakkan ciumannya di mana-mana. Meninggalkan bercak merah dan rasa perih karena sesapan dan gigitan yang terlalu kuat. Sampai pada akhirnya, Bara melepaskannya sendirian. Dijah yang sedikit berharap Bara akan memaksanya ternyata tak terpenuhi.
Meski Dijah sudah merasa gelisah, Bara tak menyentuhnya di bagian bawah sana. Haruskah dia bersyukur atau malah mengumpat bahwa Bara egois?
To Be Continued.....