Dibuang oleh ibu, dipertemukan oleh takdir, dan diakhiri oleh waktu.
Hidup Angkasa mungkin singkat,
tapi cintanya… abadi dalam setiap detak jantung yang ia tinggalkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kencan
Lila menatapnya, mencoba memecahkan teka-teki di balik kalimat yang indah namun penuh firasat itu. Sayap yang lain. Sayap siapa? Udara di antara mereka terasa berat, sarat dengan makna yang tak terucap. Ketakutan yang baru mulai mencekiknya, lebih dingin dan lebih tajam dari sebelumnya. Ini bukan lagi tentang menyerah. Ini tentang sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih besar dan lebih final.
“Berbeda… bagaimana, Mas?” bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar.
“Apa yang kamu rencanakan?”
Angkasa tidak langsung menjawab. Ia menarik napas dalam-dalam, tatapannya beralih dari wajah Lila ke arah tirai yang memisahkan mereka dengan Gilang. Kelembutan yang tak terhingga memenuhi matanya, sebuah ekspresi cinta yang melampaui romansa, sebuah pengorbanan yang mulai terbentuk.
“Perjuanganku,” katanya pelan, kembali menatap Lila, matanya mengunci pandangan wanita itu dengan intensitas yang membuat dunia seakan berhenti berputar.
“Bukan lagi tentang menambal sayapku sendiri yang sudah robek.”
“Lalu… tentang apa?” desak Lila, hatinya serasa diremas.
Angkasa tersenyum, senyum paling tulus dan paling menyakitkan yang pernah Lila lihat.
“Ini tentang memastikan… ada sayap lain yang bisa terbang.” Ia melepaskan genggaman tangannya sejenak, lalu dengan gerakan yang tak terduga, ia menunjuk ke arah luar jendela.
“Lihat taman itu, La. Lampunya sudah menyala.”
Lila mengikuti arah telunjuknya, bingung dengan perubahan topik yang tiba-tiba. Taman kecil di tengah kompleks rumah sakit itu bermandikan cahaya kuning temaram dari lampu-lampu taman.
“Iya, memang kenapa?”
“Aku belum pernah ke sana,” kata Angkasa.
“Selama di sini, aku cuma bisa melihatnya dari jendela ini.” Ia kembali menatap Lila, sorot matanya kini berubah, dari seorang filsuf yang pasrah menjadi seorang pria dengan permintaan sederhana.
“Temani aku ke sana, mau?”
Permintaan itu begitu biasa, tetapi dalam konteks mereka, terasa seperti sebuah kemewahan yang mustahil.
“Sekarang? Malam-malam begini? Kamu nggak boleh keluar dari kamar, Mas. Apalagi dengan infus…”
“Aku akan minta izin perawat jaga. Aku cuma mau duduk di sana sebentar. Lima belas menit,” potong Angkasa, nadanya memohon.
“Aku butuh udara segar. Aku butuh… sesuatu yang berbeda dari bau disinfektan ini. Kumohon, La.”
Lila menatap wajah pucat Angkasa, melihat kerinduan yang begitu murni di matanya. Kerinduan akan hal-hal normal yang sering ia lupakan. Bagaimana mungkin ia bisa menolaknya? Sambil menghela napas, ia mengangguk.
“Oke. Aku yang bicara dengan perawat jaga. Tapi janji, hanya sebentar.”
Setengah jam kemudian, setelah perdebatan kecil dengan kepala perawat dan memastikan Angkasa memakai jaket tebal di atas piyamanya, mereka berdua akhirnya berada di sana. Angkasa duduk di bangku kayu yang dingin di bawah pohon kamboja, tiang infusnya berdiri canggung di sampingnya seperti pengawal setia. Lila duduk di sebelahnya, menyampirkan selimut tipis ke pangkuan pria itu.
Udara malam terasa sejuk, membawa aroma tanah basah sehabis disiram dan wangi samar bunga-bunga. Jauh dari dengung mesin monitor dan langkah kaki yang tergesa di koridor, di sini hanya ada suara jangkrik dan desau angin di dedaunan.
“Ternyata udaranya beda, ya,” gumam Angkasa, memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam.
“Beda gimana?” tanya Lila lembut.
“Di sini… udaranya terasa hidup. Di dalam sana, udaranya cuma membuatmu bertahan hidup,” jawabnya.
Angkasa membuka mata, menatap Lila yang diterangi cahaya lampu taman. Wajah lelah wanita itu tampak lebih lembut, lebih damai di sini.
“Terima kasih sudah membawaku ke sini.”
“Aku nggak melakukan apa-apa,” balas Lila.
“Kamu melakukan segalanya,” sanggah Angkasa pelan.
“Kamu di sini.”
Keheningan yang nyaman menyelimuti mereka. Mereka tidak perlu bicara. Cukup dengan duduk berdampingan, merasakan kehadiran satu sama lain, itu sudah menjadi sebuah percakapan.
“Kita ini aneh, ya,” celetuk Angkasa tiba-tiba, memecah keheningan.
“Kencan pertama malah di taman rumah sakit, lengkap dengan tiang infus.”
Lila tertawa kecil, suara tawanya terdengar seperti musik di telinga Angkasa.
“Siapa bilang ini kencan?”
“Oh, jadi bukan?” goda Angkasa, senyumnya kini lebih lebar.
“Padahal aku sudah menyiapkan kalimat-kalimat paling romantis di kepalaku.”
“Oh, ya? Coba aku mau dengar,” tantang Lila, ikut bermain dalam sandiwara ringan mereka.
Angkasa berdeham, memasang ekspresi serius yang dibuat-buat.
“Lila, kehadiranmu di hidupku bagaikan transfusi trombosit di saat kritis…”
Lila langsung memukul lengannya pelan.
“Itu gombalan terburuk yang pernah aku dengar! Kamu benar-benar sudah terlalu lama di rumah sakit.”
Mereka tertawa bersama, tawa yang lepas dan tulus. Untuk beberapa menit yang berharga, mereka lupa di mana mereka berada. Mereka lupa akan penyakit, akan vonis, akan waktu yang terus berjalan. Mereka hanya dua orang yang menemukan kebahagiaan di tempat yang paling tidak terduga.
Setelah tawa mereka reda, Angkasa menatap Lila dengan sorot mata yang kembali dalam. Kali ini, tidak ada lagi teka-teki, hanya ada kejujuran yang telanjang.
“La,” panggilnya lembut.
“Hmm?”
“Waktu itu, aku bertanya padamu, ‘kita’ itu apa,” kata Angkasa, suaranya kini sedikit bergetar.
“Aku belum sempat mendengar jawabanmu. Tapi sekarang, aku nggak butuh jawabanmu lagi.”
Lila mengerutkan kening. “Kenapa?”
“Karena aku sudah tahu jawabanku sendiri,” lanjutnya. “Bagiku, ‘kita’ adalah alasan. Alasan untuk mau membuka mata di pagi hari, bahkan ketika seluruh tubuhku terasa sakit. Alasan untuk mau berjuang, meskipun aku tahu perjuangan seperti apa yang menanti di depan. ‘Kita’ adalah rumah yang aku bilang waktu itu. Rumah yang baunya seperti teh melatimu, yang suaranya adalah napasmu, dan rasanya sehangat genggaman tanganmu.”
Jantung Lila berdebar begitu kencang, seolah ingin melompat keluar dari dadanya. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.
Angkasa mengulurkan tangan, menyentuh pipi Lila dengan punggung jemarinya yang dingin.
“Aku nggak punya banyak hal untuk ditawarkan, La. Aku nggak punya masa depan yang panjang, nggak punya harta, bahkan tubuhku sendiri terus-menerus mengkhianatiku. Aku cuma punya sisa waktu yang entah berapa lama lagi. Dan aku tahu, sangat egois kalau aku memintamu untuk menghabiskannya bersamaku.”
Ia berhenti sejenak, mengambil napas yang terasa berat.
“Tapi aku harus mengatakannya, setidaknya sekali. Biar semesta dengar. Biar kamu tahu.” Tatapannya mengunci mata Lila, menenggelamkan wanita itu dalam lautan emosi yang jujur dan tak terbendung.
“Aku cinta kamu, Lila. Aku sangat, sangat mencintaimu.”
Akhirnya. Kata-kata itu terucap. Tiga kata yang mereka berdua hindari, tiga kata yang terasa seperti janji sekaligus kutukan. Air mata Lila akhirnya jatuh, mengalir hangat di pipinya, membasahi jemari Angkasa.
Ia tidak bisa berkata-kata. Ia hanya bisa mengangguk, isakannya tertahan di tenggorokan.
“Nggak apa-apa kalau kamu nggak bisa…”
“Aku juga,” potong Lila cepat, suaranya serak karena tangis.
“Aku juga cinta kamu, Mas Angkasa. Sejak kapan aku juga nggak tahu, tapi rasanya sudah lama sekali. Dan kamu salah. Kamu nggak egois.”
Ia meraih tangan Angkasa yang ada di pipinya, menggenggamnya erat dan menempelkannya lebih dalam.
“Yang egois itu aku, kalau aku menolak kebahagiaan ini hanya karena aku takut akan rasa sakit nanti. Aku nggak peduli kita punya waktu berapa lama. Sehari, seminggu, sebulan… aku mau semuanya bersamamu.”
Di bawah cahaya lampu taman yang temaram, di tengah keheningan malam rumah sakit, dua jiwa yang terluka itu akhirnya menemukan keutuhan di dalam satu sama lain. Angkasa mendekatkan wajahnya, dan Lila menyambutnya.
Ciuman mereka bukanlah ciuman yang penuh gairah, melainkan ciuman yang lembut, penuh rasa terima kasih, kepasrahan, dan cinta yang begitu dalam hingga terasa menyakitkan. Momen itu sempurna. Momen itu milik mereka.
Tiba-tiba, kesempurnaan itu direnggut oleh getar ponsel di saku jaket Lila.
Awalnya ia mengabaikannya, tetapi ponsel itu terus bergetar tanpa henti. Dengan enggan, ia melepaskan ciuman mereka.
“Sebentar,” bisiknya.
Ia melihat layar ponselnya. Nama salah satu perawat jaga dari bangsal anak. Firasat buruk langsung menjalari tubuhnya.
“Halo, Sus? Ada apa?” jawab Lila, mencoba menjaga suaranya tetap tenang.
Angkasa hanya memperhatikannya, melihat bagaimana raut wajah damai Lila perlahan berubah menjadi topeng kekhawatiran, lalu kepanikan murni.
“Apa? Kapan? Saturasi oksigennya berapa?” Suara Lila meninggi, tangannya yang bebas mencengkeram ujung bangku.
“Dokter jaga sudah di sana? Sudah coba pasang ventilator?”
Jeda sejenak. Lila hanya mendengarkan, matanya terbelalak ngeri.
“Ya, Tuhan…,” bisiknya lirih.
“La, ada apa?” tanya Angkasa cemas, bangkit dari duduknya.
“Gilang?”
Lila menurunkan ponselnya perlahan, tangannya gemetar hebat. Wajahnya sepucat kelopak kamboja yang jatuh di tanah. Ia menatap Angkasa, matanya kosong, seolah jiwanya baru saja direnggut paksa dari tubuhnya.
“Gilang…,” ulangnya dengan suara pecah.
“Kondisinya anjlok drastis.”
Ia menelan ludah, bibirnya bergetar saat mengucapkan kalimat berikutnya, kalimat yang meruntuhkan dunia mereka yang baru saja terbangun.
“Dokter bilang… jantungnya…”