NovelToon NovelToon
Daisy

Daisy

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Seiring Waktu / Persahabatan / Romansa / Kriminal dan Bidadari / Chicklit
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: Inisabine

Hidup Singgih yang penuh kegelapan di masa lalu tanpa sengaja bertemu dengan Daisy yang memintanya untuk menjadi bodyguard-nya.


Daisy
Penulis: Inisabine
Copyright Oktober 2018

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Inisabine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 24

"Gue lagi sebel nih sama kak Armand." Sofie membuka laptop di atas meja. Matanya melirik ke Daisy yang sedang menggambar dengan pen tablet.

"Kenapa lagi, sih? Palingan kamu yang bikin gara-gara."

"Kayaknya ada penulis baru di kantornya kak Armand." Sofie menyalakan laptop, sementara sebelah tangannya menyangga dagu. "Gue pikir kak Armand suka sama si penulis baru ini. Ternyata hanya teman aja. Alamak. Eh, tapi bukan itu masalahnya."

Sofie membuka kiriman email dari Daisy, lalu mengunduh file episode terbaru Stand By Me―webtun yang sedang dikerjakan Daisy.

"Kak Armand ada projek film baru. Nah, kayaknya sih yang nulis skripnya si penulis baru ini. Ceritanya menarik. Pokoknya gue suka, deh. Gue langsung daftarin diri buat ikutan cast. Dan, gue langsung ditolak. Kesel, nggak?"

File berhasil diunduh, yang kemudian langsung dibuka Sofie untuk membaca panel ceritanya.

"Tawaran film yang lain kan, masih ada." Pandangan Daisy masih tetap berada di depan layar laptop.

"Masih belum ada. Untuk sementara, gue punya banyak waktu luang buat bantuin lo." Pengguliran panelnya terhenti saat menemukan sesuatu yang menarik perhatiannya. "Lo munculin tokoh baru?"

"Biar lebih seru aja."

"Mirip Singgih, ya?" Sofie mengamati reaksi Daisy dari balik laptop.

"Cuma kebetulan."

"Jadi, tokoh yang mirip Athan ini juga kebetulan? Cewek yang namanya Desi ini juga kebetulan?"

"Langsung aja, deh." Daisy paham dengan obrolan yang hendak digiring Sofie.

"Lupain Singgih," tandas Sofie, tak peduli dengan perasaan terluka di hati Daisy. "Dia pergi gitu aja. Nggak ada tanggung jawabnya. Tugasnya ngejaga lo, tapi dia pergi sama mantannya. Wow! Hebat lo, Dai. Lo lagi-lagi jatuh cinta sama orang yang nggak tepat. Mending lo terima perjodohan lo dengan Angga Djubroto, deh."

"Udah, Sof. Cukup. Aku paham maksudmu." Daisy mendesah capek.

"Oke. Berarti gue nggak perlu lagi ngejelasin panjang lebar." Sofie melipat kedua lengan di depan dada. "Sama kakak gue aja gimana?" cetusnya sebuah ide konyol.

"Bercanda?!" Daisy mengangkat wajah.

"Serius." Sofie memberikan ekspresi bahwa ia tidak sedang bercanda. "Kak Armand tipe setia. Memang agak kaku sih kalau urusan cewek, tapi percaya deh hatinya nggak mudah terhasut. Saking percayanya cinta, Kak Armand gue yang gantengnya tiada tara itu sampai beberapa kali ditipu cintanya sendiri. Gue pikir kalian bisa cocok."

"Sof―"

"Yang satu setia, yang satu percaya cinta sejati. Jika kalian bersatu, cinta kalian akan sama-sama kuat."

"Sofiiiee." Daisy memutar bola matanya.

"Gue nggak masalah iparan sama lo. Serius."

Daisy kembali menekuri pekerjaannya. Tak masalah juga jika toh Armand Nugraha, pemilik AN Pictures, menjadi jodohnya kelak. Tapi ada sebuah rahasia yang tak diketahui oleh Sofie tentang yang satu ini.

Suara bel menghentikan kegiatan Daisy dan Sofie secara bersamaan. Sejurus kemudian, Romi Ekadanta menyembul masuk dengan wajah marah.

"Kemasi barang-barangmu!" perintah Romi Ekadanta pada putri bungsunya. "Pulang ke rumah sekarang juga!"

"Papa?" Daisy beranjak berdiri. "Ada apa?" gusarnya saat melihat wajah ayahnya yang nyaris meledak.

Suara hardikan keras dari Romi Ekadanta berhasil membuat Sofie melipir pergi dari tempat, dan menuju ke tempat Gendis yang berdiri di ambang pintu.

"Ada apa?" bisik Sofie, jelas ketakutan.

"Nggak tahu." Gendis hanya menggerakan bibir tanpa suara.

Sofie dan Gendis melempar pandang ke arah dua pengawal Romi Ekadanta yang menunggu tak jauh dari mereka berdiri. Hanya dengan melihatnya saja mereka sudah dapat menyimpulkan bahwa ada sesuatu yang besar sedang terjadi. Keduanya pun tak ingin menguping, tentunya, tapi suara keras Romi Ekadanta memaksa telinga mereka untuk mendengar.

"Pah, ada apa ini?"

"Berani-beraninya kamu membiarkan pembunuh itu tinggal di sini?" wajah murka Romi Ekadanta bagai letusan gunung merapi. Menakutkan.

Sofie dan Gendis kembali saling melempar pandang. Saling menduga siapa pembunuh yang dimaksud.

"Da―dari mana Papa―"

"Tahu?" Romi tak bisa menahan amarahnya.

"Papa menyelidikinya?" air muka Daisy di antara gusar dan kecewa.

"Papa membiarkanmu tinggal di sini karena katamu di sini dekat dengan kantormu. Tapi kamu malah membiarkan penjahat itu tinggal di sini. Kamu nggak berpikir atau apa? Orang itu bisa mengambil barang-barang di apartemenmu, menculikmu, bahkan―"

"―dan nggak terjadi kan, Pah?"

"Rencananya gagal, makanya penjahat itu kabur. Bersyukur Papa tahu lebih cepat. Dan, bisa-bisanya juga kamu pacaran sama... kamu udah nggak waras?"

Terhenyak Daisy. Tak ada yang tahu tentang pacaran pura-pura mereka, kecuali―

"Siapa yang bilang? Rolan Hanggono?"

"Papa nggak habis pikir sama kamu. Kamu mengabaikan pria sebaik Rolan dan lebih memilih si penjahat itu!"

"Baik?" Daisy menyugar rambut ke belakang sembari tertawa pahit. "Rolan sudah menyakitiku, Pah. Gara-gara dia persahabatanku hampir hancur. Dan, Papa lebih percaya omong kosongnya?"

"Tapi kamu lebih mengecewakan Papa. Sekarang pulang. Jangan buat Papa menyeretmu!"

"Aku akan pulang setelah pekerjaanku selesai."

"Pekerjaanmu bisa dikerjakan di rumah. Kalau perlu nggak usah kerja sekalian. Papa masih sanggup membiayai hidupmu."

"Pah, aku harus bertanggung jawab dengan pekerjaanku."

Pengabaian dari Daisy membuat Romi Ekadanta meradang marah. Ia menyuruh kedua pengawalnya untuk membawa paksa Daisy. Kedua sisi lengan Daisy diangkat paksa oleh masing-masing pengawal. Tubuh kecil Daisy begitu mudah diangkat.

Sofie dan Gendis terlihat khawatir, tapi keduanya tidak berada dalam situasi yang memungkinkan untuk menolong Daisy. Keduanya saling merapatkan tubuh saat Romi Ekadanta hendak menuju ke arah mereka. Keduanya seakan kehabisan napas saat tahu-tahu Romi Ekadanta berhenti di depan mereka. Tangan Gendis berpegangan―tanpa sadar mencengkeram kuat―di lengan Sofie.

"Mulai sekarang jangan hubungi Daisy," kata Romi yang lebih terdengar seperti nada ancaman.

Sofie dan Gendis mengangguk bersamaan. Kaku. Takut. Mereka kembali bernapas normal setelah rombongan Romi Ekadanta keluar.

"Apa yang terjadi?" Sofie bingung. Raut ketakutannya masih membekas. "Apa tadi maksudnya... Daisy tinggal sama pembunuh? Siapa memangnya?"

"...Singgih."

"Nggak mungkin." Sofie menggeleng pilon.

"Sejak awal aku udah curiga sama dia." Gendis meraih ponsel di tas, lalu menekan nomor seseorang.

"Telepon siapa?"

"Azka." Gendis menggigiti ibu jarinya yang bebas dengan gusar. "Akhir-akhir ini dia sibuk banget, sampai nolak aku segala. Maksudku―aku minta dia buat menyelidiki Singgih, tapi bilangnya dia lagi ngerjain proyek supermahal."

Telepon masih tersambung. Gendis mondar-mandir gelisah. Kepalanya terangkat saat sambungan teleponnya terhubung.

"Azka, please, bantuin aku."

"Bantu apa? Kalau tentang Singgih, sori, gue nggak bisa."

"Nyawa Daisy sedang dalam bahaya."

"Daisy kenapa?" suara Azka di seberang terdengar panik.

"Tadi papanya Daisy datang dan ngamuk-ngamuk." Cerita Gendis seperti dikejar maling. "Papanya Daisy bilang kalau Singgih... pembunuh? Itu benar?"

Hening di seberang. Tak ada sahutan dari Azka.

"Az? Azka?" Gendis menyugar rambutnya kalut. "Aku nggak akan mungkin membiarkan Daisy tinggal bersama dengan―" suaranya tertahan di tenggorokan.

"Singgih...," suara keraguan Azka bergaung di seberang. "Dia, mantan napi."

Gendis membekap mulut kaget.

"Kenapa?" Sofie yang melihat air muka Gendis berubah pucat bertanya panik dalam gerakan bibir.

Gendis coba menenangkan diri dari keterkejutan, dan kembali bicara pada Azka. "Jadi, Daisy udah tahu?" seakan mengetahui jawabannya, ia pun bertanya kalut, "Dan, dia masih membiarkan Singgih berada di dekatnya?"

"Tapi ada kemungkinan dia nggak bersalah." Azka menambahi.

Gendis kehabisan kata-kata. Satu kata pun tak sanggup keluar dari tenggorokannya. "Nanti... kuhubungi lagi."

Sambungan telepon ditutup Gendis dengan wajah makin kalut.

"Kenapa, Dis?" Sofie langsung menyambar panik bercampur khawatir.

 Gendis menatap Sofie dengan wajah frustrasi, capek, dan tahu-tahu air mata mendesak untuk keluar dari pelupuk matanya.

"Lebih baik pernikahanku batal daripada harus menghadapi ini..."

    *

1
elica
wahhh keren bangettt🤩🤩
mampir di ceritaku juga dong kak🤩✨
elica
hai kak aku mampirrr🤩✨
Inisabine: Haii, makasih udah mampir 😚✨
total 1 replies
US
smg aksyen baku hantam /Good//Good/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!