Evelyn, penulis webtoon yang tertutup dan kesepian, tiba-tiba terjebak dalam dunia ciptaannya sendiri yang berjudul Kesatria Cinta. Tapi alih-alih menjadi tokoh utama yang memesona, ia justru bangun sebagai Olivia, karakter pendukung yang dilupakan: gadis gemuk berbobot 90kg, berkacamata bulat, dan wajah penuh bintik.
Saat membuka mata, Olivia berdiri di atas atap sekolah dengan wajah berantakan, baju basah oleh susu, dan tatapan penuh ejekan dari siswa di bawah. Evelyn kini harus bertahan dalam naskahnya sendiri, menghindari tragedi yang ia tulis, dan mungkin… menemukan cinta yang bahkan tak pernah ia harapkan.
Apakah ia bisa mengubah akhir cerita sebagai Olivia? Atau justru terjebak dalam kisah yang ia ciptakan sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anastasia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 23.pagi pertama.
Pintu kamar Oliv tertutup, menyisakan Owen yang berdiri kikuk di dapur sambil menatap telur gosongnya. Dari balik pintu, terdengar suara Mama Oliv yang pelan tapi tegas, bercampur dengan nada berat Erik yang jelas-jelas tidak suka.
Oliv menarik napas panjang, lalu menatap ibunya dan kakaknya. “Baik, sebelum Mama atau Kak Erik salah paham… aku jelasin dulu.”
Erik bersedekap, matanya menyipit. “Silakan. Karena dari yang kulihat, seorang anak laki-laki asing lagi masak sama kamu di dapur, malam-malam, tanpa penjelasan apa-apa. Itu aneh, Oliv.”
Mama Oliv menatap putrinya dengan lebih lembut, tapi jelas ingin tahu. “Dia siapa sebenarnya, Liv? Dan kenapa dia ada di sini?”
Oliv menghela napas. “Dia Owen. Teman sekelas aku di sekolah. Sebenarnya… dia tinggal di sini karena ayahnya mengusir dia dari rumah.”
Erik mengangkat alis. “Mengusir? Anak kaya yang biasanya bawa supir pribadi ke sekolah? Jangan bercanda, Liv.”
“Aku nggak bercanda, Kak,” Oliv menatap serius. “Ayahnya sengaja bikin dia belajar hidup mandiri, dan… dia nitipin Owen ke aku buat sementara waktu. Aku nggak bisa nolak, ini permintaan langsung dari ayahnya.”
"Ini bukan sifatmu, pasti kamu mendapatkan untung dari Owen tinggal disini, sekarang katakan, kalau tidak mau aku usir dirinya dari rumah ini"
"Kakak ku memang pintar!, sebenarnya ayah Owen menawari uang gajinya lebih besar dari aku kerja di rumah makan"
"Mama tidak masalah, tapi kalian tidak ada hubungan khusus bukan? "
"Tentu saja tidak, dan itu tak akan! " Jawab tegas Oliv.
Mama Oliv terdiam sejenak, merenung. “Jadi ayahnya tahu Owen ada di sini? Ini bukan kamu yang sembunyi-sembunyi kan, Liv?”
“Tidak, Ma,” Oliv menggeleng cepat. “Ayahnya yang bawa Owen ke sini. Dia bilang, ‘tolong ajarin anak saya hidup sederhana.’ Ya… ini bagian dari itu.”
Erik menghela napas berat, wajahnya tetap tegang. “Dan selama dia di sini, dia akan sekamar sama siapa? Atau… dia tidur di mana?”
“Dia tidur di kamar Mark. Mark kan lagi di asrama, jadi kamarnya kosong.” Oliv menjawab cepat. “Dia nggak ganggu siapa pun, cuma… ya, agak banyak ngomel soal kipas angin dan makanan sederhana.”
Mama Oliv akhirnya tersenyum tipis, meski matanya tetap waspada. “Kalau begitu… pastikan anak itu ngerti aturan rumah kita. Tidak ada kelakuan aneh, tidak ada kebiasaan mewah. Semua makan sama-sama, kerja sama, dan bayar listrik kalau dia bikin pemakaian nambah.”
Oliv mengangguk. “Iya, Ma. Dia udah kubilangin. Dia cuma… butuh adaptasi.”
Erik masih belum sepenuhnya yakin. “Kalau dia macam-macam, Liv, aku nggak segan suruh dia keluar. Paham?”
Oliv menatap kakaknya dengan kesal. “Paham, Kak. Tapi dia bukan tipe yang begitu. Percayalah, Owen bahkan panik lihat api kompor membesar, apalagi kalau disuruh cari gara-gara.”
Mama Oliv akhirnya menepuk bahu putrinya. “Baiklah. Tapi Mama mau kenal lebih baik dengan anak itu besok. Untuk malam ini… pastikan dia nggak bikin masalah. Sekarang ayo keluar, dia pasti lagi bingung sendirian.”
Mereka bertiga keluar dari kamar, dan menemukan Owen sedang berdiri kikuk di dapur sambil memandangi telur gosongnya seperti karya seni yang gagal. Begitu melihat mereka, Owen berdiri tegak seolah bersiap menghadapi interogasi.
“Eh… jadi… aku diusir sekarang, atau masih boleh makan telur gosongku?” Owen mencoba bercanda, meski nadanya ragu.
Mama Oliv tersenyum tipis. “Kamu boleh makan, Nak. Tapi besok pagi, kita bicara lebih banyak soal aturan rumah ini.”
Erik hanya mendengus dan berjalan ke kamarnya, masih menatap Owen sekilas dengan tatapan waspada.
Oliv berusaha menahan tawa, lalu berbisik pada Owen sambil menyodorkan piring. “Santai saja. Kalau kamu nggak bikin masalah, Mama bakal suka sama kamu. Kak Erik? Yah… butuh waktu lama.”
Owen mendecak kecil, menerima piringnya. “Waktu lama? Semoga nggak sampai aku harus lulus dulu baru dia percaya aku bukan pencuri dapur.”
Oliv terkekeh pelan. “Tergantung seberapa sering kamu bikin telur gosong.”
Malam itu, suasana perlahan mencair, meski udara masih penuh rasa canggung. Tapi bagi Owen, itu adalah malam pertama dari hidup barunya yang di mana ia harus bertahan di dunia yang jauh dari kemewahan, bersama keluarga yang jelas-jelas belum sepenuhnya menerimanya.
Malam itu, Owen berbaring gelisah di atas ranjang sempitnya. Kamar kecil itu terasa semakin menyesakkan setiap kali ia menarik napas. Lampu temaram di sudut ruangan hanya membuat bayangan di dinding terlihat lebih panjang dan mencekam.
Suara kipas angin tua yang tergantung di langit-langit berputar lambat, mengeluarkan bunyi berdecit dan berderit seolah akan jatuh kapan saja. Kreek… kreek… wuuung… suara itu terus berulang, menusuk telinga.
“Argh… siapa yang bisa tidur dengan suara ini?” gerutu Owen sambil menutup telinganya dengan bantal. Ia membolak-balikkan tubuhnya, berharap posisi baru bisa membuatnya terlelap, tapi setiap kali kipas berdecit, matanya langsung terbuka lagi.
Sesekali ia menatap pintu kamar, berharap ada yang mendengar keluhannya. “Oliv… apa sudah tidur? ,bukankah dia dulu nona besar,kenapa dia bersikap biasa saja dan nyaman di tempat seperti ini?.Aku saja sangat terganggu! ”desahnya pelan.
Jam dinding berdetak lambat, seolah mengejek betapa panjangnya malam itu. Owen akhirnya duduk di tepi ranjang, menatap kipas yang terus berputar sambil mendesis lirih, “Besok… aku harus minta pindah kamar. Atau setidaknya, matikan benda sialan itu.”
Owen tak beberapa lama kemudian, langsung tertidur pulas. Mungkin ia sudah kecapean berkeluh kesah sendiri, dan sudah mulai terbiasa hidup seperti Oliv.
Sebelum matahari menampakkan sinarnya, Oliv mengetuk pintu kamar Owen terus-menerus.
Tok..
"Omelet.., cepat bangun. Kita harus ke sekolah kalau tidak bus kita akan ketinggalan! "
"Owen.. ! " Panggil Oliv berulang kali.
Owen yang masih terlelap tidur, ia tidak mendengarkan panggilan Oliv. Merasa tidak ada jawaban dari Owen, Oliv membuka kamar Owen dengan paksa.
Oliv melihat Owen yang masih tertidur lelap, ia berjalan kearah Owen yang tertidur. "Dasar tuan muda!, katanya kamarnya kumuh, kekecilan tapi lihat ia tidur dengan lelapnya"
Oliv lalu berjalan kearah Owen, ia bermaksud membangunkan dirinya, tapi tanpa sengaja kaki Oliv tersandung selimut yang ada di lantai.
Bruk!
Tubuhnya terjatuh tepat di atas Owen. Owen yang tidur tanpa selimut hanya memakai kaos oblong dan boxer,karena tadi malam ia kepanasan.
Owen terbangun seketika, matanya terbuka lebar, napasnya tertahan saat menyadari ada sesuatu yang berat berada tepat dibagian perutnya, dan itu adalah Oliv yang tidak sengaja terjatuh diatas tubuhnya.
"…Oliv?" suaranya pelan, hampir berbisik, matanya bertemu dengan mata Oliv yang juga terkejut.
Oliv pun tersenyum canggung. "Maaf, aku benar-benar tidak sengaja! "
"Apa ini cara baru mengodaku? "
"Kamu salah paham!, aku hanya ingin membangunkan mu"
"Terus, jika kamu masih di atas ku. Apa aku bisa bangun? "
Oliv yang sadar kalau dirinya masih diatas tubuh Owen. "Kau benar.. " Ucapnya yang gugup.
Oliv, dengan pipi yang memerah, berusaha bangun, tapi tangannya justru menyentuh paha Owen untuk menopang diri. Sentuhan itu membuat Owen terdiam, matanya menatap lekat.
"A-aku… tidak sengaja," bisik Oliv, suaranya nyaris tak terdengar.
Owen menahan napas sejenak, menatap mata Oliv yang terlihat bergetar. “Kalau begini caramu membangunkanku…aku tidak keberatan” ucapnya setengah bercanda, tapi suaranya terdengar lembut dan jujur.
Untuk sesaat, keduanya terperangkap dalam keheningan yang terasa berbeda,bukan canggung, tapi hangat, seperti ada sesuatu yang tak perlu diucapkan.
Erik yang juga bangun tidur melihat Oliv saudaranya berada di kamar Owen, ia segera menegur Oliv.
"Apa yang kamu lakukan di kamar pria pagi-pagi buta ini? "
Oliv dan Owen lalu melihat kearah Erik yang berdiri didepan pintu Owen, Oliv lalu berjalan kearah kakaknya.
"Kalian tidak tidur sekamarkan? " Tanya kesal Erik.
"Tidak kak, kalau tidak percaya tanya mama. Aku hanya membangunkan Owen saja, sudah..kita sarapan dulu saja! "Sambil menarik tangan Erik untuk ikut dengan nya.
Owen memandang Oliv dengan senyum. " Tidak ada salahnya aku tinggal disini. Terima kasih ayah! "
Dari arah dapur Oliv berteriak memanggil Owen untuk segera bangun, dan Owen menjawabnya dengan berteriak sambil senyum manisnya tidak lepas darinya.